Kalender Liturgi

Selasa, 24 Februari 2009

Dei Verbum

Dei Verbum
PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

KONSTITUSI DOGMATIS TENTANG WAHYU ILAHI

PENDAHULUAN

1. Sambil mendengarkan SABDA ALLAH dengan khidmat dan mewartakannya penuh kepercayaan, Konsili suci mematuhi amanat S. YOHANES: Kami mewartakan kepadamu hidup kekal, yang ada pada Bapa dan telah nampak kepada kami: Yang kami lihat dan kami dengar, itulah yang kami wartakan kepadamu, supaya kamupun beroleh persekutuan kita bersama Bapa dan Putera-Nya Yesus kristus (1Yoh1:2-3). Maka dari itu, sambil mengikuti jejak Konsili Trente dan Konsili Vatikan I, Konsili ini bermaksud menyajikan ajaran yang asli tentang wahyu ilahi dan bagaimana itu diteruskan, supaya dengan mendengarkan pewartaan keselamatan seluruh dunia mengimaninya, dengan beriman berharap, dan dengan berharap mencintainya1.

BAB SATU
TENTANG WAHYU SENDIRI
2. (Hakekat wahyu)
Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef1:9); berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef2:18 ; 2Ptr1:4). Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel33:11 ; Yoh15:14-15), dan bergaul dengan mereka (lih. Bar3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka didalamnya. Tata perwahyuan itu terlaksana melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya. Tetapi melalui wahyu itu kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus menandai pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu2.

3. (Persiapan wahyu ilahi)
Allah, yang menciptakan segala sesuatu melalui sabda-Nya (lih. Yoh 1:3), serta melestarikannya, dalam makhluk-makhluk senantiasa memberikan kesaksian tentang diri-Nya kepada manusia (lih. Rom1:19-20). Lagi pula karena Ia bermaksud membuka jalan menuju keselamatan di sorga, Ia sejak awal mula telah menampakkan Diri kepada manusia pertama. Setelah mereka jatuh, dengan menjanjikan penebusan Ia mengangkat mereka untuk mengharapkan keselamatan (lih. Kej3:15). Tiada putus-putusnya Ia memelihara umat manusia, untuk mengurniakan hidup kekal kepada semua, yang mencari keselamatan dan bertekun melakukan apa yang baik (lih. Rom2:6-7). Adapun pada saat yang ditentukan Ia memanggil Abraham untuk menjadikannya bangsa yang besar (lih. Kej12:2). Sesudah para Bapa bangsa Ia membina bangsa itu dengan perantaraan Musa serta para Nabi, supaya mereka mengakui Diri-Nya sebagai satu-satunya Allah yang hidup dan benar, bapa Penyelenggara dan hakim yang adil, dan supaya mereka mendambakan Penebus yang dijanjikan. Dengan demikian berabad-abad lamanya Ia menyiapkan jalan bagi Injil.

4. (Kristus kepenuhan wahyu)
Setelah berulang kali dan dengan berbagai cara Allah bersabda dengan perantaraan para Nabi, "akhirnya pada zaman sekarang Ia bersabda kepada kita dalam Putera" (Ibr1:1-2). Sebab Ia mengutus Putera-Nya, yakni sabda kekal, yang menyinari semua orang, supaya tinggal ditengah umat manusia dan menceritakan kepada mereka hidup Allah yang terdalam (lih. Yoh1:1-18).

Maka Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai "manusia kepada manusia"3, "menyampaikan sabda Allah" (Yoh3:34), dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya (lih. Yoh5:36 ; Yoh17:4). Oleh karena itu Dia – barang siapa melihat Dia, melihat Bapa juga (lih. Yoh14:9) – dengan segenap kehadiran dan penampilan-Nya, dengan sabda maupun karya-Nya, dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizatnya, namun terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari maut, akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran, menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya, dan meneguhkan dengan kesaksian ilahi, bahwa Allah menyertai kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan dosa serta maut, dan untuk membangkitkan kita bagi hidup kekal.

Adapun tata keselamatan kristiani, sebagai perjanjian baru dan tetap, tidak pernah akan lampau; dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya (lih. 1Tim6:14 dan Tit2:13).

5. (Menerima wahyu dan iman)
Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan "ketaatan iman" (Rom16:26 ; lih. Rom1:5 ; 2Cor10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan "kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan"4, dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan "pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran"5. Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya.

6. (Kebenaran-kebenaran yang diwahyukan)
Dengan wahyu ilahi Allah telah mau menampakkan dan membuka diri-Nya sendiri serta keputusan kehendak-Nya yang abadi tentang keselamatan manusia, yakni "untuk mengikutsertakan manusia dalam harta-harta ilahi, yang sama sekali melampaui daya tangkap akalbudi insani"6.

Konsili suci mengakui bahwa "Allah, awal dan tujuan segalan sesuatu, dapat diketahui dengan pasti dengan kodrati nalar manusia dari apa yang diciptakan" (lih. Rom1:20). Tetapi Konsili mengajarkan juga bahwa berkat wahyu Allah itulah "segala, yang dalam hal-hal ilahi sebetulnya tidak mustahil diketahui oleh akalbudi manusia, dalam keadaan umat manusia sekarang dapat diketahui oleh semua dengan mudah, dengan kepastian yang teguh dan tanpa tercampuri kekeliruan mana pun juga"7.

BAB DUA
MENERUSKAN WAHYU ILAHI
7. (Para Rasul dan pengganti mereka sebagai pewarta Injil)
Dalam kebaikan-Nya Allah telah menetapkan, bahwa apa yang diwahyukan-Nya demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh untuk selamanya dan diteruskan kepada segala keturunannya. Maka Kristus Tuhan, yang menjadi kepenuhan seluruh wahyu Allah yang Mahatinggi (lih. 2Kor1:30 ; 2Kor3:16 ; 2Kor4:6), memerintahkan kepada para Rasul, supaya Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para Nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan-Nya dengan mulut-nya sendiri, mereka wartakan pada semua orang, sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan serta sumber ajaran kesusilaan8, dan dengan demikian dibagikan kurnia-kurnia ilahi kepada mereka. Perintah itu dilaksanakan dengan setia oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang telah mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari. Perintah Tuhan dijalankan pula oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan9.

Adapun supaya Injil senantiasa terpelihara secara utuh dan hidup dalam Gereja, para Rasul meninggalkan Uskup-uskup sebagai pengganti mereka, yang "mereka serahi kedudukan mereka untuk mengajar"10.

Maka dari itu Tradisi suci dan Kitab suci perjanjian Lama maupun Baru bagaikan cermin bagi Gereja yang mengembara didunia, untuk memandang Allah yang menganugerahinya segala sesuatu, hingga tiba saatnya gereja dihantar untuk menghadap Allah tatap muka, sebagaimana ada-Nya (lih. 1Yoh3:2).

8. (Tradisi suci)
Oleh karena itu pewartaan para Rasul, yang secara istimewa diungkapkan dalam kitab-kitab yang diilhami, harus dilestarikan sampai kepenuhan zaman melalui penggantian-penggantian yang tiada putusnya. Maka para Rasul, seraya meneruskan apa yang telah mereka terima sendiri, mengingatkan kaum beriman, supaya mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran warisan, yang telah mereka terima entah secara lisan entah secara tertulis (lih. 2Tes2:15), dan supaya mereka berjuang untuk membela iman yang sekali untuk selamanya diteruskan kepada mereka (lih. Yud 3)11. Adapun apa yang telah diteruskan oleh para Rasul mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya.

Tradisi yang berasal dari para rasul itu berkat bantuan Roh Kudus berkembang dalam Gereja12: sebab berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata yang diturunkan, baik karena kaum beriman, yang menyimpannya dalam hati (lih. Luk 2:19 dan 51), merenungkan serta mempelajarinya, maupun karena mereka menyelami secara mendalam pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup menerima kurnia kebenaran yang pasti. Sebab dalam perkembangan sejarah gereja tiada hentinya menuju kepenuhan kebenaran ilahi, sampai terpenuhilah padanya sabda Allah.

Ungkapan-ungkapan para Bapa suci memberi kesaksian akan kehadiran Tradisi itu pun Gereja mengenal kanon Kitab-kitab suci selengkapnya, dan dalam Tradisi itu Kitab suci sendiri dimengerti secara lebih mendalam dan tiada hentinya dihadirkan secara aktif. Demikianlah Allah, yang dulu telah bersabda, tiada hentinya berwawancara dengan Mempelai Putera-Nya yang terkasih. Dan Roh Kudus, yang menyebabkan suara Injil yang hidup bergema dalam Gereja, dan melalui gereja dalam dunia, menghantarkan Umat beriman menuju segala kebenaran, dan menyebabkan sabda kristus menetap dalam diri mereka secara melimpah (lih. Kol 3:16).

9. (Hubungan antara Tradisi dan Kitab suci)
Jadi Tradisi suci dan Kitab suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama. . Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi. Sedangkan oleh Tradisi suci sabda Allah, yang oleh kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. Dengan demikian gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui kitab suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun Kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita-rasa kesalehan dan hormat yang sama13.

10. (Hubungan keduanya dengan seluruh Gereja dan magisterium)
Tradisi suci dan Kitab suci merupakan satu perbendaharaan keramat sabda Allah yang dipercayakan kepada gereja. Dengan berpegang teguh padanya seluruh Umat suci bersatu dengan para Gembala dan mereka dan tetap bertekun dalam ajaran para Rasul dan persekutuan, dalam pemecahan roti dan doa-doa (lih. Kis 2:42 yun). Dengan demikian dalam mempertahankan, melaksanakan dan mengakui iman yang diturunkan itu timbullah kerukunan yang khas antara para Uskup dan kaum beriman14.

Adapun tugas untuk menafsirkan secara otentik sabda Allah yang tertulis dan diturunkan itu15 dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup16, yang kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus. Wewenang Mengajar itu tidak berada diatas sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan khidmat, dipeliharanya dengan suci dan diterangkannya dengan setia; dan itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk diimani sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah.

Maka jelaslah tradisi suci, Kitab suci dan Wewenang Mengajar Gereja, menurut rencana Allah yang mahabijaksana, saling berhubungan dan berpadu sedemikian rupa, sehingga yang satu tidak dapat ada tanpa kedua lainnya, dan semuanya bersama-sama, masing-masing dengan caranya sendiri, dibawah gerakan satu Roh Kudus, membantu secara berdaya guna bagi keselamatan jiwa-jiwa.

BAB TIGA
ILHAM ILAHI KITAB SUCI DAN PENAFSIRAN
11. (Fakta ilham dan kebenaran Kitab suci)
Yang diwahyukan oleh Allah dan yang termuat serta tersedia dalam Kitab suci telah ditulis dengan ilham Roh Kudus. Sebab Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang Kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis dengan ilham Roh Kudus (lih. Yoh20:31 ; 2Tim3:16 ; 2Ptr1:19-21 ; 2Ptr3:15-16), dan mempunyai Allah sebagai pengarangnya, serta dalam keadaannya demikian itu diserahkan kepada Gereja17. Tetapi dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang, yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri18, supaya – sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka19, - semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh20.

Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita21. Oleh karena itu "seluruh Alkitab diilhami oleh Allah dan berguna untuk mengajar, meyakinkan, menegur dan mendidik dalam kebenaran: supaya manusia (hamba) Allah menjadi sempurna, siap sedia bagi segala pekerjaan yang baik" (2Tim3:16-17 yun).

12. (Bagaimana Kitab suci harus ditafsirkan)
Adapun karena Allah dalam Kitab suci bersabda melalui manusia secara manusia22, maka untuk menangkap apa yang oleh Allah akan disampaikan kepada kita penafsir Kitab suci harus menyelidiki dengan cermat, apa yang sebenarnya mau disampaikan oleh para penulis suci, dan apa yang mau ditampakkan oleh Allah dengan kata-kata mereka.

Untuk menemukan maksud para pengarang suci antara lain perlu diperhatikan juga "jenis-jenis sastra". Sebab dengan cara yang berbeda-beda kebenaran dikemukakan dan diungkapkan dalam nas-nas yang dengan aneka cara bersifat historis, atau profetis, atau poetis, atau dengan jenis sastra lainnya. Selanjutnya penafsiran harus mencari arti, yang hendak diungkapkan dan ternyata jadi diungkapkan oleh pengarang suci dalam keadaan tertentu, sesuai dengan situasi jamannya dan kebudayaannya, melalui jenis-jenis sastra yang ketika itu digunakan23. Sebab untuk mengerti dengan seksama apa yang oleh pengarang suci hendak dinyatakan dengan tulisannya, perlu benar-benar diperhatikan baik cara-cara yang lazim dipakai oleh orang-orang pada zaman pengarang itu dalam merasa, berbicara atau bercerita, maupun juga cara-cara yang pada zaman itu biasanya dipakai dalam pergaulan antar manusia24.

Akan tetapi Kitab suci ditulis dalam Roh Kudus dan harus dibaca dan ditafsirkan Roh itu juga25. Maka untuk menggali dengan tepat arti nas-nas suci, perhatian yang sama besarnya harus diberikan kepada isi dan kesatuan seluruh Alkitab, dengan mengindahkan Tradisi hidup seluruh Gereja serta analogi iman. Merupakan kewajiban para ahli Kitab suci: berusaha menurut norma-norma itu untuk semakin mendalam memahami dan menerangkan arti Kitab suci, supaya seolah-oleh berkat penyelidikan yang disiapkan keputusan Gereja menjadi lebih masak. Sebab akhirnya semua yang menyangkut cara menafsirkan Alkitab itu berada dibawah keputusan Gereja, yang menunaikan tugas serta pelayanan memelihara dan menafsirkan sabda allah26.

13. (Turunnya Allah)
Jadi dalam Kitab suci – sementara kebenaran dan kesucian Allah tetap dipertahankan – nampaklah "turunnya" Kebijaksanaan yang menakjubkan, "supaya kita mengenal kebaikan Allah yang tak terperikan, dan betapa Ia melunakkan bahasa-Nya, dengan memperhatikan serta mengindahkan kodrat kita."27 Sebab sabda Allah, yang diungkapkan dengan bahasa manusia, telah menyerupai pembicaraan manusiawi, seperti dulu Sabda Bapa yang kekal, dengan mengenakan daging kelemahan manusiawi, telah menjadi serupa dengan manusia.

BAB EMPAT
PERJANJIAN LAMA
14. (Sejarah keselamatan dalam kitab-kitab Perjanjian Lama)
Allah yang mahakasih dengan penuh perhatian merencanakan dan menyiapkan keselamatan segenap umat manusia. Dalam pada itu Ia dengan penyelenggaraan yang istimewa memilih bagi diri-Nya suatu bangsa, untuk diserahi janji-janji-Nya. Sebab setelah mengadakan perjanjian dengan Abraham (lih. Kej15:18) dan dengan bangsa Israel melalui Musa (lih. Kel24:8), dengan sabda maupun karya-Nya Ia mewahyukan Diri kepada umat yang diperoleh-Nya sebagai satu-satunya Allah yang benar dan hidup sedemikian rupa, sehingga Israel mengalami bagaimanakah Allah bergaul dengan manusia. Dan ketika Allah bersabda melalui para Nabi, Israel semakin mendalam dan terang memahami itu, dan semakin meluas menunjukkannya diantara para bangsa (lih. Mzm21:28-29 ; Mzm95:1-3 ; Yes2:1-4 ; Yer3:17). Adapun tata keselamatan, yang diramalkan, diceritakan dan diterangkan oleh para pengarang suci, sebagai sabda Allah yang benar terdapat dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama. Maka dari itu kitab-kitab itu, yang diilhami oleh Allah, tetap mempunyai nilai abadi: "Sebab apapun yang tertulis, ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita karena kesabaran dan penghiburan Kitab suci mempunyai pengharapan" (Rom15:4).

15. (Arti Perjanjian Lama untuk Umat kristiani)
Tata keselamatan Perjanjian Lama terutama dimaksudkan untuk meyiapkan kedatangan Kristus Penebus seluruh dunia serta Kerajaan al Masih, mewartakannya dengan nubuat-nubuat (lih. Luk24:44 ; Yoh5:39 ; 1Ptr1:10), dan menandakannya dengan pelbagai lambang (lih. 1Kor10:11). Kitab-kitab perjanjian Lama, sesuai dengan keadaan umat manusia sebelum zaman pemulihan keselamatan oleh Kristus, mengungkapkan kepada semua orang pengertian tentang Allah dan manusia serta cara-cara Allah yang adil dan rahim bergaul dengan manusia. Meskipun juga mencantumkan hal-hal yang tidak sempurna dan bersifat sementara, kitab-kitab itu memaparkan cara pendidikan ilahi yang sejati28. Maka kitab-kitab itu, yang mengungkapkan kesadaran hidup akan Allah, yang mencantumkan ajaran-ajaran yang luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan tentang perihidup manusia, pun juga perbendaharaan doa-doa yang menakjubkan, akhirnya secara terselubung mengemban keselamatan kita, kitab-kitab itu harus diterima dengan khidmat oleh Umat beriman kristiani.

16. (Kesatuan antara kedua Perjanjian)
Allah, pengilham dan pengarang kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Baru, dalam kebijaksanaan-Nya mengatur (Kitab suci) sedemikian rupa, sehingga Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Lama terbuka dalam Perjanjian Baru29. Sebab meskipun Kristus mengadakan Perjanjian yang Baru dalam darah-Nya (lih. Luk 22:20; 1Kor 11:25), namun Kitab-kitab Perjanjian Lama seutuhnya ditampung dalam pewartaan Injil30, dan dalam Perjanjian Baru memperoleh dan memperlihatkan maknanya yang penuh (lih. Mat5:17 ; Luk24:27 ; Rom16:25-26 ; 2Kor3:14-16) dan sebaliknya juga menyinari dan menjelaskan Perjanjian Baru.

BAB LIMA
PERJANJIAN BARU
17. (Keluhuran Perjanjian Baru)
Sabda Allah, yang merupakan kekuatan Allah demi keselamatan semua orang yang beriman (lih. Rom1:16), dalam Kitab-kitab Perjanjian Baru disajikan secara istimewa dan memperlihatkan daya kekuatannya. Sebab setelah genap waktunya (lih. Gal4:4), Sabda yang menjadi daging dan diam di antara kita penuh rahmat dan kebenaran (lih. Yoh1:14). Kristus mendirikan Kerajaan Allah di dunia, dengan karya dan sabda-Nya menampakkan Bapa-Nya dan Diri-Nya sendiri, dengan wafat, kebangkitan serta kenaikan-Nya penuh kemuliaan, pun dengan mengutus Roh Kudus menyelesaikan karya-Nya. Setelah ditinggikan dari bumi Ia menarik semua orang kepada diri-Nya (lih. Yoh12:32, yun). Dialah satu-satunya, yang mempunyai sabda kehidupan kekal (lih. Yoh6:68). Adapun rahasia itu tidak dinyatakan kepada angkatan-angkatan lain, seperti sekarang telah diwahyukan dalam Roh Kudus kepada para Rasul-Nya yang suci serta para Nabi (lih. Ef3:4-6, yun), supaya mereka mewartakan Injil, membangkitkan iman akan Yesus Kristus dan Tuhan, dan menghimpun Gereja. Tentang peristiwa-peristiwa itu dalam kitab-kitab Perjanjian Baru terdapat kesaksian kekal dan ilahi.

18. (Asal-usul Injil dari para Rasul)
Semua orang tahu, bahwa diantara semua kitab, juga yang termasuk Perjanjian Baru, Injillah yang sewajarnya menduduki tempat istimewa. Sebab Injil merupakan kesaksian utama tentang hidup dan ajaran Sabda yang menjadi daging, Penyelamat kita.

Selalu dan di mana-mana Gereja mempertahankan dan tetap berpandangan, bahwa keempat Injil berasal dari para rasul. Sebab apa yang atas perintah Kristus diwartakan oleh para rasul, kemudian dengan ilham Roh ilahi diteruskan secara tertulis kepada kita oleh mereka dan orang-orang kerasulan, sebagai dasar iman, yakni Injil dalam keempat bentuknya menurut Mateus, Markus, Lukas dan Yohanes31.

19. (Sifat historis Injil)
Bunda Gereja yang kudus dimasa lampau mempertahankan dan tetap setia berpegang teguh pada pandangan, bahwa keempat Injil tersebut, yang sifat historisnya diakui tanpa ragu-ragu, dengan setia meneruskan apa yang oleh Yesus Putera Allah selama hidupnya diantara manusia sungguh telah dikerjakan dan diajarkan demi keselamatan kekal mereka, sampai hari Ia diangkat (lih. Kis1:1-2). Sesudah kenaikan Tuhan para Rasul meneruskan kepada para pendengar mereka apa yang dikatakan dan dijalankan oleh Yesus sendiri, dengan pengertian yang lebih penuh, yang mereka peroleh 32 karena di didik oleh peristiwa-peristiwa mulia Kristus dan oleh terang Roh kebenaran33. Adapun cara penulis suci mengarang keempat Injil dan memilih berbagai dari sekian banyak hal yang telah diturunkan secara lisan atau tertulis; beberapa hal mereka susun secara agak sintetis, atau mereka uraikan dengan memperhatikan keadaan Gereja-gereja; akhirnya dengan tetap mempertahankan bentuk pewartaan, namun sedemikian rupa, sehingga mereka selalu menyampaikan kepada kita kebenaran yang murni tentang Yesus34. Sebab mereka menulis, entah berdasarkan ingatan dan kenangan mereka sendiri, entah berdasarkan kesaksian mereka "yang dari semula menjadi saksi mata dan pelayan sabda", dengan maksud supaya kita mengenal "kebenaran" kata-kata yang diajarkan kepada kita (lih. Luk1:2-4).

20. (Kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya)
Kecuali memuat keempat Injil kanon Perjanjian Baru juga mencantumkan surat-surat S. Paulus serta tulisan para Rasul lainnya yang dikarang dengan ilham Roh Kudus. Menurut rencana Allah yang bijaksana dalam tulisan-tulisan itu diteguhkan mengenai segala sesuatu mengenai Kristus Tuhan, ajaran-Nya yang sejati semakin jelas, diwartakan daya kekuatan karya ilahi Kristus yang menyelamatkan, dikisahkan awal mula Gereja dan penyebarannya yang mengagumkan, dan dinubuatkan penyelesaiannya dalam kemuliaan.

Sebab Tuhan Yesus menyertai para Rasul-Nya seperti telah dijanjikan-Nya(lih. Mat 28:20), dan Ia mengutus Roh Pembantu kepada mereka, untuk membimbing mereka memasuki kepenuhan kebenaran (lih. Yoh16:13).

BAB ENAM
KITAB SUCI DALAM KEHIDUPAN GEREJA
21. (Gereja menghormati kitab-kitab suci)
Kitab-kitab ilahi seperti juga Tubuh Tuhan sendiri selalu dihormati oleh Gereja, yang – terutama dalam Liturgi suci – tiada hentinya menyambut roti kehidupan dari meja sabda Allah maupun Tubuh Kristus, dan menyajikannya kepada Umat beriman. Kitab-kitab itu bersama dengan Tradisi suci selalu dipandang dan tetap dipandang sebagai norma imannya yang tinggi. Sebab kitab-kitab itu diilhami oleh Allah dan sekali untuk selamanya telah dituliskan, serta tanpa perubahan manapun menyampaikan sabda Allah sendiri, lagi pula mendengarkan suara Roh Kudus dalam sabda para Nabi dan para Rasul. Jadi semua pewartaan dalam Gereja seperti juga agama kristiani sendiri harus dipupuk dan diatur oleh Kitab suci. Sebab dalam kitab-kitab suci Bapa yang ada di sorga penuh cinta kasih menjumpai para putera-Nya dan berwawancara dengan mereka. Adapun demikian besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putera-puteri Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani. Oleh karena itu bagi Kitab suci berlakulah secara istimewa kata-kata: "Memang sabda Allah penuh kehidupan dan kekuatan" (Ibr4:12), "yang berkuasa membangun dan mengurniakan warisan diantara semua para kudus" (Kis 20:32; lih. 1Tes 2:13).

22. (Dianjurkan terjemahan-terjemahan yang tepat)
Bagi kaum beriman kristisni jalan menuju Kitab suci harus terbuka lebar-lebar. Oleh karena itu sejak semula Gereja mengambil alih terjemahan Yunani Perjanjian Lama yang amat kuno, yang disebut "septuaginta". Gereja selalu menghormati juga terjemahan-terjemahan lain ke dalam bahasa Timur dan Latin, terutama yang disebut "Vulgata". Tetapi karena sabda Allah harus tersedia pada segala zaman, Gereja dengan perhatian keibuannya mengusahakan, supaya dibuat terjemahan-terjemahan yang sesuai dan cermat ke dalam pelbagai bahasa, terutama berdasarkan teks asli Kitab suci. Bila terjemahan-terjemahan itu – sekiranya ada kesempatan baik dan Pimpinan Gereja menyetujuinya – diselenggarakan atas usaha bersama dengan saudara-saudari terpisah, maka terjemahan-terjemahan itu dapat digunakan oleh semua orang kristiani.

23. (Tugas kerasulan para ahli katolik)
Mempelai Sabda yang menjadi daging, yakni Gereja, dengan bimbingan Roh Kudus berusaha memperoleh pengertian yang semakin mendalam tentang Kitab suci, supaya tiada hentinya menyediakan santapan sabda-sabda ilahi bagi para puteranya. Oleh karena itu Gereja dengan tepat pula memajukan usaha mempelajari para Bapa Gereja yang suci dari Timur maupun Barat serta liturgi-liturgi suci. Para ahli Kitab suci katolik dan ahli teologi lainnya dalam kerja sama yang erat harus berusaha, supaya mereka dibawah pengawasan Wewenang Mengajar yang suci dan dengan upaya-upaya yang tepat menyelidiki dan menguraikan Kitab suci sedemikian rupa, sehingga sebanyak mungkin pelayan sabda ilahi dengan hasil yang baik dapat menyajikan santapan Kitab suci kepada Umat Allah, untuk menerangi budi, meneguhkan kehendak, dan mengobarkan hati sesama untuk mengasihi Allah35. Konsili suci mendorong para putera Gereja, para ahli Kitab suci, supaya mereka dengan tenaga yang selalu segar dan dengan sanagt tekun meneruskan karya yang telah dimulai dengan baik, menurut kehendak Gereja36.

24. (Pentingnya Kitab suci bagi teologi)
Teologi suci bertumpu pada sabda Allah yang tertulis, bersama dengan Tradisi suci, sebagai landasan yang tetap. Disitulah teologi amat sangat diteguhkan dan selalu diremajakan, dengan menyelidiki dalam terang iman segala kebenaran yang tersimpan dalam rahasia Kristus. Adapun Kitab suci mengemban sabda Allah, dan karena diilhami memang sungguh-sungguh sabda Allah. Maka dari itu pelajaran Kitab suci hendaklah bagaikan jiwa Teologi suci37. Namun dengan sabda Alkitab juga pelayanan sabda, yakni pewartaan pastoral, ketekese dan semua pelajaran kristiani – diantaranya homili liturgis harus sungguh diistimewakan – mendapat bahan yang sehat dan berkembang dengan suci.

25. (Dianjurkan pembacaan Kitab suci)
Oleh sebab itu semua rohaniwan, terutama para imam Kristus serta lain-lainnya, yang sebagai diakon atau katekis secara sah menunaikan pelayanan sabda, perlu berpegang teguh pada Alkitab dengan membacanya dengan asyik dan mempelajarinya dengan saksama. Maksudnya jangan sampai ada seorang pun diantara mereka yang menjadi "pewarta lahiriah dan hampa sabda Allah, tetapi tidak mendengarkannya sendiri dalam batin"38. Padahal ia wajib menyampaikan kepada kaum beriman yang dipercayakan kepadanya kekayaan sabda Allah yang melimpah, khususnya dalam Liturgi suci. Begitu pula Konsili suci mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman, terutama para religius, supaya dengan sering kali membaca kitab-kitab ilahi memperoleh "pengertian yang mulia akan Yesus Kristus" (Flp3:8). "Sebab tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus"39. Maka hendaklah mereka dengan suka hati menghadapi nas yang suci sendiri, entah melalui liturgi suci yang sarat dengan sabda-sabda ilahi, entah melalui bacaan yang saleh, entah melalui lembaga-lembaga yang cocok untuk itu serta bantuan-bantuan lain, yang berkat persetujuan dan usaha para Gembala Gereja dewasa ini tersebar dimana-mana dengan amat baik. Namun hendaklah mereka ingat, bahwa doa harus menyertai pembacaan Kitab suci, supaya terwujudlah wawancara antara Allah dan manusia. Sebab "kita berbicara dengan-Nya bila berdoa; kita mendengarkan-Nya bila membaca amanat-amanat ilahi"40.

Adalah tugas para uskup, "yang mengemban ajaran para Rasul"41, untuk membina dengan baik Umat beriman yang dipercayakan kepada mereka, supaya dengan tepat menggunakan kitab-kitab ilahi, terutama Perjanjian Baru dan lebih khusus lagi Injil-Injil, dengan menyediakan terjemahan-terjemahan Kitab suci. Terjemahan-terjemahan itu hendaklah dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang diperlukan dan sungguh memadai, supaya putera-puteri Gereja dengan aman dan berguna memakai Kitab suci, dan diresapi dengan semangatnya.

Selain itu hendaknya diusahakan terbitan-terbitan Kitab suci, dibubuhi dengan catatan-catatan yang sesuai, supaya digunakan juga oleh mereka yang bukan kristiani, dan yang cocok dengan keadaan mereka. Hendaknya para Gembala jiwa, serta Umat kristiani dalam keadaan mana pun juga, berusaha untuk dengan pelbagai cara menyebarluaskan terbitan-terbitan itu dengan bijaksana.

26. (Akhir kata)
Maka semoga dengan demikian melalui pembacaan dan studi Kitab suci "sabda Allah berjalan terus dan dimuliakan" (2Tes3:1), perbendaharaan wahyu yang dipercayakan kepada Gereja semakin memenuhi hati orang-orang. Seperti hidup Gereja berkembang karena Umat sering dan dengan rajin menghadiri misteri Ekaristi, begitu pula boleh diharapkan dorongan baru dalam hidup rohani karena sabda Allah yang "tinggal selama-lamanya" (Yes40:8; lih. 1Ptr1:23-2) semakin dihormati.

Semua itu dan setiap hal yang dinyatakan dalam Konstitusi ini berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun kami, atas kekuasaan Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 18 bulan November tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja katolik


------------------------------

Kembali ke Bagian Atas

1 Lih. S. AGUSTINUS, Tentang mengajar agama kepada mereka yang serba tidak tahu, bab IV, 8: PL 40:316.
2 Lih. Mat11:27 ; Yoh1:14 dan Yoh1:17 ; Yoh14:6 ; Yoh17:1-3 ; 2Kor3:16 dan 2Kor4:6 ; Ef1:3-14.
3 Surat kepada Diognetus, bab VII, 4: FUNK, Patres Apostolici, I, hlm. 403.
4 KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 3 tentang iman: DENZ 1789 (3008).
5 KONSILI ORANGE II, kanon 7: DENZ. 180 (377); KONSILI VATIKAN I, dalam Konstitusi itu juga: DENZ. 1791 (3010).
6 KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatik tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu: DENZ. 1786 (3005).
7 KONSILI VATIKAN I, dalam bab yang sama: DENZ. 1785 dan 1786 (3004 dan 3005).
8 Lih. Mat 28:19-20 dan Mrk 16:15. KONSILI TRENTE, Sidang IV, dekrit tentang Kanon Kitab suci: DENZ 783 (1591).
9 Lih. KONSILI TRENTE, teks yang sama; KONSILI VATIKAN I, Sidang III, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu, DENZ. 1787 (3006).
10 S. IRENIUS, Melawan bidaah-bidaah, III,3,1: PG 7,848; HARVEY, 2, hlm. 9.
11 Lih. KONSILI NISEA II: DENZ. 303 (602). KONSILI KONSTANTINOPEL IV, Sidang X, kanon 1: DENZ. 336 (650-652).
12 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 4 tentang iman dan akalbudi: DENZ. 1800 (3020).
13 Lih. KONSILI TRENTE, Sidang IV, dalam teks yang sama: DENZ. 783 (1501).
14 Lih. PIUS XII, Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus, 1 November 1950: AAS 42 (1950) 756; bandingkan dengan ungkapan S. SIPRIANUS, Surat 66,8: HARTEL, III, B, hlm. 733: Gereja ialah umat yang bersatu dengan Imam dan kawanan yang menganut Gembalanya.
15 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 3 tentang iman: DENZ. 1792 (3011).
16 Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani Generis, 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) 568-569: DENZ. 2314 (3886).
17 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu: DENZ. 1787 (3006). Komisi Kitab suci, Dekrit 18 Juni 1915: DENZ. 2180 (3629); Enchiridion Biblicum 420. S.S.C.S. OFFICII (Kongregasi Ofisi), surat 22 Desember 1923: Ench. Bibl. 449.
18 Lih. PIUS XII, Ensiklik Divino afflante Spiritu, 30 September 1943: AAS 35 (1943) hlm. 314; Ench. Bibl. 556.
19 Dalam dan melalui manusia: lih. Ibr 1:1 dan 4:7 (dalam); 2Sam 23:2; Mat 1:22 dan beberapa ditempat lain (melalui); KONSILI VATIKAN I: Skema tentang ajaran katolik, catatan 9: Coll. Lac. VII, 522.
20 LEO XIII, Ensiklik Providentissimus Deus, 18 November 1893: DENZ. 1952 (3293); Ench. Bibl. 125.
21 Lih. S. AGUSTINUS, Gen. Ad Litt. 2,9,20: PL 34, 270-271; Surat 82,3: PL 33,277: CSEL. 34,2 hlm. 354. S. TOMAS, Tentang kebenaran, soal 12 art. 2 C. KONSILI TRENTE, Sidang IV tentang kitab-kitab kanonik: DENZ. 783 (1501). LEO XIII, Ensiklik Providentissimus Deus, Ench. Bibl. 121, 124, 126-127. PIUS XII, Ensiklik Divino afflante: Ench. Bibl. 539.
22 S. AGUSTINUS, Tentang kota Allah, XVII,6,2: PL 41,537: CSEL XL, 2,228.
23 S. AGUSTINUS, Tentang ajaran kristiani, III, 18,26: PL 34, 75-76.
24 PIUS XII, ditempat yang telah dikutib: DENZ. 2294 (3829-3830); Ench. Bibl. 557-562.
25 Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Spiritus Paraclitus, 15 September 1920: Ench. Bibl. 469. S. HIRONIMUS, Tentang Gal 5:19-21: PL 26,417A.
26 Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu: DENZ. 1788 (3007).
27 S. YOHANES KRISOSTOMUS, Tentang Kej 3,8 (homili 17,1): PG 53,134: Melunakkan dalam bahasa Yunani synkatabasis.
28 PIUS XI, Ensiklik Mit brenneder Sorge, 14 Maret 1937: AAS 29 (1937) hlm. 151.
29 S. AGUSTINUS, Quaest. In Hept. 2,73: PL 34,623.
30 S. IRENIUS, melawan bidaah-bidaah, III,21,3: PG 7,950; (=25,1: HARVEY 2, hlm. 115). S. SIRILUS dari Yerusalem, Katekese 4,35: PG 33,497. TEODORUS dari Mopsuesta, Tentang Zef 1:4-6: PG 66,425D-435A.
31 Lih. S. IRENIUS, Melawan bidaah-bidaah, III,11,8: PG 7:885; terb. SAGNARD, hlm. 194.
32 Yoh 2:22; 12:16; lih. 14:26; 16:12-13; 7:39.
33 Lih. Yoh 14:26; 16:13.
34 Lih. Instruksi Sancta Mater Ecclesia, yang dikeluarkan oleh panitia Kepausan untuk memajukan studi Kitab suci: AAS 56 (1964) hlm. 715.
35 Lih. PIUS XII, Ensiklik Divino afflante: Ench. Bibl. 551, 552, 567. KOMISI KEPAUSAN UNTUK KITAB SUCI, Instruksi tentang cara yang tepat untuk mengajarkan Kitab suci di seminari-seminari bagi calon imam dan di kolese-kolese para religius, 13 Mei 1950: AAS 42 (1950) hlm. 495-505.
36 Lih. PIUS XII, kutipan yang sama: Ench. Bibl. 569.
37 Lih. LEO XIII, Ensiklik Providentissimus: Ench. Bibl. 114; BENEDIKTUS XV, Ensiklik Spiritus Paraclitus: Ench. Bibl. 483.
38 S. AGUSTINUS, Kotbah 179,1: PL 38,966.
39 S. HIRONIMUS, Komentar pada Yesaya, Pendahuluan: PL 24,17. Lih. BENEDIKTUS XV, Ensiklik Spiritus Paraclitus: Ench. Bibl. 475-480. PIUS XII, Ensiklik Divino afflante: Ench. Bibl. 544.
40 S. AMBROSIUS, Tentang tugas-tugas para pelayan I, 20,88: PL 1650.
41 S. IRENIUS, Melawan bidaah-bidaah, IV,32,1: PG 7,1071 )= 49,2) HARVEY, 2, hlm. 255.

Selasa, 03 Februari 2009

arsipLAMA2

SUATU KETIKA TEMBOK – TEMBOK HARUS DIRUNTUHKAN

Setelah Perang Dunia Kedua banyak negara di Asia membebaskan diri dari penjajah dan menjadi negara merdeka. Perjuangan ini dilaksanakan oleh gerakan masa yang hampir selalu diawali oleh kelompok-kelompok atau perkumpulan agama.

Yang dimaksudkan dengan agama, dalam pembicaraan ini, tidak dipandang dari sudut ajaran-ajarannya ataupun dari bentuk kelembagaannya, melainkan dilihat sebagai suatu sistem sosial (bdk., Maduro, hal .7). Dalam sistem sosial ini makna dan nilai-nilai hidup manusia dipakai sebagai titik acuan untuk seluruh kenyataan. Oleh karena itu agama diharapkan memberikan pesan mengungkapkan makna hidup manusia, dan memberikan cara serta sarana mengintegrasikan pesan itu dalam hidup sehari-hari (bdk., Maduro, hal. 41-43). Pembicaraan ini akan dibatasi mulai sekitar permulaan abad ini sampai dengan kemerdekaan.

Gelombang Pertama

Pada jaman kolonial ini bangsa yang dijajah tidak diakui haknya dan sahnya sebagai suatu bangsa. Melalui sistem pendidikan diperkenalkan nilai-nilai asing yang memuat pola pikir masyarakat ‘disesuaikan’ dengan pola pikir penjajah, bahkan seperti di Filipina masyarakat tercerabut dari akar budaya setempat. Agama yang dianut penduduk merasa tertanam oleh kehadiran agama lain yang dibawa oleh penjajah. Keterasingan penduduk dari sesuatu yang sangat berarti bagi eksistensi mereka melahirkan krisis jati diri.

Kenyataan pahit ini menimbulkan reaksi terhadap segala sesuatu yag berbau asing. Agama mengambil peran penting dalam gelombang reaksi anti penjajahan. Bersama dengan budaya, agama membuka mata banyak pemuda dan membangun ‘rasa senasib’. Kelompok-kelompok atau organisasi kecil, yang pada awalnya berorientasi keagamaan ini, perlahan-lahan berkembang menjadi gerakan pemuda yang berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, misalkan: kelompok Arya Samadjh dan Brahma Samadjh berkembang menjadi gerakan pemuda yang secara radikal memperjuangkan kemerdekaan India, Persatuan Pemuda Buddhist berkembang menjadi gerakan pemuda nasiaonalis Burma (bdk., Mehden, hal. 154), atau Boedi Oetomo yang semula Persatuan Dokter Jawa (bdk., van Niel, hal. 70-102 dan 145-165) dan Sarekat Islam yang semula merupakan persatuan para pedagang Islam (bdk., Larson, hal. 40-77) yang kemudian menjadi pelopor-pelopor gerakan kemerdekaan Indonesia.

Peran pokok agama dalam gerakan ini menciptakan identitas bersama, khususnya membantu pengembangan keyakinan dan nilai-nilai yang dianut bersama dan memberikan perasaan solidaritas sosial. Konsep-konsep umum tentang sesuatu yang diinginkan dan kriteria untuk menentukan tindakan yang akan diambil itu ditegaskan di dalam norma-norma, yang memperlihatkan hak dan kewajiban untuk mewujudkan nilai-nilai itu. Simbol-simbol pada seni, upacara dan mitos sangat jelas mengungkapkan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut masyarakat (bdk., Gremillion, hal. 157-158; 160-161). Dengan simbol-simbol seperti bendera, lagu kebangsaan dan cerita kepahlawanan nilai-nilai yang abstrak ini menjadi hangat bagi masyarakat. Dengan kata lain nilai, norma dan simbol digunakan untuk mengesahkan masa lampau, menerangkan perilaku masa kini dan menyeleksi pilihan-pilihan di masa depan. Oleh karena melakukan hal tersebut maka ketiganya memberikan makna, solidaritas dan identitas bersama (bdk., Alwi, hal. 49-50). Termasuk di dalamnya usaha merumuskan hubungan antara segala sesuatu yang asli dan lokal dengan hal-hal asing yang datang dari luar.

Pengalaman bersama sebagai bangsa terjajah dan agama serta budaya memperkuat perasaan solidaritas internal. Solidaritas ini mendorong timbulnya harapan akan kemerdekaan yang diartikulasikan dalam kerangka sosial dan dunia saat ini, dan bukan dalam pengertian individualistik, ritualistik maupun dunia yang akan datang.

Gelombang Kedua

Setelah kemerdekaan setiap bangsa mengharapkan kemajuan, yang digambarkan dengan jalan-jalan lebar dan mulus, harga sandang dan pangan murah, gedung-gedung yang megah mencuat ke langit ataupun peningkatan Gross National Product. Gambaran ini sangat dipengaruhi oleh pandangan tentang model pembangunan tertentu, yakni pembangunan yang mengutamakan perkembangan ekonomi. Pada masa ini strategi penciptaan identitas bersama lebih mementingkan proses “kesamaan dalam keanekaragaman”. Loyalitas pada agama, suku maupun daerah hidup berdampingan dengan loyalitas bangsa. Dalam ekspresi budaya para pemimpin nasional terus menerus menekankan pentingnya kesatuan berdasarkan kesepakatan akan tujuan akhir bersama bukan pada keseragaman, sebab masyarakat lebih memiliki keanekaragaman daripada persamaan kepentingan. Maka kelompok agama dan primordial lainnya diusahakan untuk mendapat peluang ambil bagian dalam organisasi dan aktif melalui struktur perwakilan (Mehden, hal. 173-174).

Harapan dan strategi di atas kerap kali harus bertabrakan dengan kenyataan maupun pengalaman yang mencabik-cabik kesatuan, misalkan pemberontakan suku atau agama, munculnya jurang kaya – miskin atau sistem yang ditiru dari bekas negara penjajah ternyata tidak selalu tepat dan bermanfaat. Di dalam kenyataan ini mengapa agama lebih sering tidak mampu memberikan penjelasan (menyampaikan pesan) yang memuaskan.

Pertama, ajaran agama kurang dapat mengikuti perubahan-perubahan yang cepat dalam masyarakat, sehinga cenderung memihak kelompok yang mapan. Maka dari itu agama lebih berbicara tentang hal-hal di masa mendatang karena tidak menangkap signal-signal yang terpancar dari bawah (bdk., Maduro, hal. 122-125). Dengan dalih demi memajukan kehidupan beragama dan untuk mempertahankan kebudayaan asli, maka kelompok-kelompok agama mendapat banyak bantuan dari pemerintah, misalkan untuk upacara-upacara, membangun atau memperbaiki rumah ibadat dan sebagainya (bdk., Mehden, hal. 115-128). Maka gejolak penganut agama dari lapisan bawah kerap kali dianggap suara dari padang gurun.

Kedua, gagasan mengenai kemajuan dan bagaimana mencapainya sangat dipengaruhi oleh filsafat sekular. Di satu pihak ideologi dan filsafat ini memiliki hubungan dengan sistem yang berlaku dalam masyarakat, sedangkan para pemimpin merupakan bagian dari sistem dan memperoleh keuntungan dari sistem yang berlaku. Di lain pihak filsafat ini lebih mampu memberikan tanggapan mengenai permasalahan kongkret dalam masyarakat, memberi tawaran-tawaran jalan keluar yang lebih masuk akal. Oleh karena itu masyarakat lebih senang menoleh kepada filsafat sekular daripada kepada agama.

Ketiga, banyak pemimpin nasional berbicara atas nama agama hanya di bibir saja, bahkan kerap kali mereka memanipulasi agama demi tujuan yang menguntungkan mereka, misalnya demi persatuan nasional, untuk mengesahkan pemerintah (legitimasi) dan sebagainya (bdk., Mehden, hal. 160-163). Perilaku mereka ini dilatarbelakngi pendidikan dan pengalaman mereka yang pada hakikatnya sekular, di samping itu penghayatan agama mereka tidak berkembang sejalan dengan perkembangan intelektualitas mereka. Mereka menganggap agama bukan sebagai sesuatu yang mampu menjelaskan tentang perubahan yang terjadi, agama tak relevan dan pasif. Mereka menggambarkan agama sebagai “ruang khusus dan indah dalam suatu bangunan yang harus dipelihara”. Mereka sendiri tetap di luar dan tak mau masuk ke dalamnya, sebab mereka tahu dalam ruangan itu senantiasa ada tuntutan terhadap siapa-siapa yang masuk ke dalamnya. Risiko ini terlalu berat dan membahayakan kedudukan yang telah memberikan keuntungan, ini ciri utama kaum elite sekular yang mewarisi kekuasaan (bdk., Mehden, hal. 173). Unsur-unsur radikal dalam agama boleh tetap dalam ruangan itu, boleh dikagumi, sering dikramatkan, sehingga agama menjadi lumpuh karena kehilangan elan yang merupakan ciri dasar kemunculan agama-agama itu.

Pada gelombang kedua ini, agama mendapat saingan dari berbagai ideologi, misalkan komunisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme yang kadang-kadang muncul dengan sifat-sifatnya yang konservatif, lieberal maupun radikal. Dalam kondisi diatas, agama sering mengadakan kolaborasi dengan kaum konservatif dan dengan tegas menentang kelompok radikal (kasus khusus di Indonesia dengan Nasakom. Lihat, Mehden, hal. 160-163). Kelompok liberal pada umumnya sedikit jumlahnya, terdiri dari kaum terpelajar. Di lain pihak kelompok radikal sering mempraktekkan apa yang disebut “agama politik”, yakni praksis mempergunakan gagasan dari agama yang dirumuskan dalam simbol-simbol, misalnya slogan, lagu perjuangan maupun poster. Simbol-simbol ini akan memberi pengaruh kuat pada kesempatan hari besar umum, upacara nasional maupun acara-acara khusus, sebab pada kesempatan ini ditegaskan kembali nilai-nilai kelompok dominan.

Meskipun perkembangan nilai-nilai sekular pesat tetapi tidak sepenuhnya dapat meniadakan nilai-nilai sakral. Di satu pihak upacara-upacara politik dilaksanakan untuk melestarikan solidaritas dalam masyarakat, di lain pihak struktur-struktur agama dipakai untuk pelbagai fungsi, antara lain dalam pendidikan dan pengeramatan peristiwa-peristiwa atau tempat-tempat bersejarah. Agama politik ini juga menetapkan: sifat-sifat pribadi yang nasionalis, bentuk umum masyarakat ideal, tujuan moral yang harus diraih dan aturan perilaku serta mendorong keterlibatan total pada organisasi. Maka dari itu perubahan sosial lebih diarahkan untuk melawan rejim yang berkuasa, yang dalam kacamata rakyat telah mengingkari tujuan dan kesepakatan bersama.

Gelombang Ketiga

Usaha merevisi praksis kehidupan bernegara ternyata tidak selalu menghasilkan perubahan sasial yang diharapkan, bahkan kerap kali rejim yang berkuasa menjadi lebih otoriter, sebab merasa terganggu oleh gagasan-gagasan tentang kemajuan dari bawah. Di satu pihak para pemimpin mengusahakan kemajuan dengan membangun sistem komunikasi modern, proyek-proyek yang lebih berorientasi eksport, dan segala usaha yang membutuhkan biaya dan modal yang luar biasa besarnya. Sementara itu rakyat mengalami infrastruktur transportasi yang maju tetapi sistemnya tetap sama, sarana pendidikan yang meningkat tetapi pelaku pendidikan tetap dalam mentalitas paternalistik. Kesenjangan ini tetap semakin membuat cemas apabila “biaya modernisasi” tidak hanya menyangkut hal material tetapi juga dengan pengorbanan banyak hal yang non-material, yaitu keadilan, kebebasan, hak asasi maupun kedamaian. Keadaan ini semakin mencekam karena sudah dilihat oleh banyak orang akhirnya manusia sendiri, khususnya mereka yang di bawah, akan dikorbankan atas nama modernisasi.

Pada masa ini identitas bersama diperjuangkan melalui starategi asimilasi (proses persamaan). Strategi ini menekankan agar seluruh rakyat hanya mengakui satu sumber identitas bersama, yaitu Negara. Nilai lain yang berkaitan dengan unsur primordial harus dihilangkan. Pemimpin yang dominan menerapkan ideologi monistik. Dia menganggap dirinya sebagai penerima wahyu kepemimpinan. Maka, hanya dialah yang berhak dan mampu menentukan kehendak rakyat dan kepentingan umum yang harus dikejar oleh setiap orang. Untuk itu setiap konflik harus dicegah, setiap warga negara saling terkait (kohesi), harus mengutamakan kerjasama dan kesepahaman dengan pemimpin nasional. Bila ada orang atau kelompok yang memiliki sistem sosial yang berbeda dari sistem sosial yang dimiliki kelompok elite, harus ditindas bahkan dimusnahkan (bdk., George & Wilding, hal. 3-4).

Pemimpin nasional sebenarnya juga melihat kesenjangan dalam masyarakat dan ingin memecahkannya, namun mereka melakukan setengah hari sehingga muncul pemecahan kompromistis yang menyenangkan mereka dan yang membiarkan status quo. Di satu pihak mereka tidak dapat menerima terjadinya penindasan dan pemiskinan masal sebagai biaya status mereka yang khusus, sebab hal ini bertentangan dengan moralitas dan prinsip-prinsip politik yang berulang kali mereka nyatakan di depan umum. Namun, mereka menolak pemecahan yang radikal sebab hal itu dianggap terlalu ekstrim, padahal sebenarnya perubahan yang radikal itu mengancam status khusus mereka. Sikap ini melahirkan ideologi “menyalahkan korban” di tengah masyarakat. Ideologi ini dimanifestasikan dengan perbuatan murah hati kepada korban, mengutuk tekanan sosial dan lingkungan yang menyebabkan adanya korban itu serta menolak pengaruh kekuatan sosial yang menimbulkan korban terus menerus. Untuk membenarkan perbuatan itu maka dirancang tindakan sosial untuk mengubah korban, akan tetapi bukan mengubah masyarakat itu sendiri (bdk., George & Wilding, hal. 10).

Dalam kondisi ini reaksi yang muncul dalam masyarakat adalah “religiositas revivalism” (penyegaran agama). Gerakan ini mendorong kearah ‘penemuan kembali’ nilai-nilai dasar yang terkandung dalam agama untuk ditafsirkan kembali secara lebih masuk akal dalam konteks kehidupan masyarakat. Sifat gerakan ini ada dua, yaitu mengarah ke belakang, biasanya sangat reaksioner dan restorasionis, ingin mengembalikan tata masyarakat masa lalu tanpa memperhatikan perubahan yang telah terjadi; dan mengarah kedepan, biasanya sangat radikal dan trasformatif, ingin membangun tipe masyarakat baru dan sistem politik yang belum ada sebelumnya (bdk., Filbeck, hal. 137-170).

Dalam dua dekade terakhir ini ada dua contoh yang menarik. Pertama, revolusi Iran yang ingin membangun masyarakat Islam yang baru. Cukup lama Shah menjalankan pemerintahan yang represif dan otoriter. Shah dan konco-konconya menguasai hampir seluruh sendi bernegara Iran, dan membangun Iran secara modern dengan gaya Barat tanpa memperhatikan ‘sentimen’ rakyat. Rakyat yang secara umum masih terbelakang dan penganut aliran Syiah ini terkoyak luar dalam. Reaksi pertama muncul dari kalangan intelektual yang dipelopori oleh Ali Sariyathi. Gagasannya mengenai perubahan sosial sangat mempengaruhi kaum muda. Ancaman ini dirasakan sangat mengganggu oleh rejim Shah, sehingga ia dibunuh oleh Savak (polisi rahasia) tahun 1978. Dengan kepergiannya kelompok mullah (elite agama di Iran) menggerakkan kaum muda yang haus perubahan itu. Khomeini, yang mengendalikan gerakan ini dari luar negeri, berhasil memompa semangat revolusi luar biasa, dan akhirnya berhasil menggulingkan Shah. Khomeini, pemegang puncak kepemimpinan negara, berusaha membangun reruntuhan yang ditinggalkan Shah itu dengan bekal semangat revolusioner yang diramu dengan agama. Trend revolusi bergeser dari kaum intelektual ke kaum Mullah. Usaha kompromi dengan mengangkat Bani Sadr sebagai presiden pertama setelah revolusi, akhirnya gagal dan Bani Sadr diusir ke luar negeri. Makin lama jelas revolusi ini mementingkan kedahsyatan semangat dan mengabaikan ideologi serta infrastruktur intelektual. Akibatnya revolusi yang semula bermaksud mengatur kembali masyarakat Iran, kini telah beralih dengan proyek ambisius, yaitu membangun masyarakat dunia berdasar Islam. Revolusi ini akhirnya berkembang tanpa kontrol. Hal ini kentara bagaimana pemimpin revolusi itu melaksanakan kekuasaan yang dipegangnya. Revolusi Iran contoh klasik sebagai revolusi dengan semangat besar tetapi mengabaikan isi (bdk., Mehden, hal. 197-198).

Kedua, revolusi Filipina yang menghendaki perubahan agar masyarakat diatur lebih manusiawi. Pada awal periode kedua ketika cita-cita kesejahteraan umum makin jauh dari harapan, Marcos menggaet ‘crony’ (teman) dan memberikan banyak fasilitas, mengangkat banyak prawira tinggi dari suku (Ilocano) dan mulai menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara sistematis. Bahkan ‘the Iron Butterfly’, Imelda Marcos dan anak-anaknya makin merajalela lepas dari kontrol Marcos. Penderitaan dan kemiskinan ini melahirkan dua bentuk reaksi: pertama, gerakan bersenjata komunis dan kedua, gerakan yang mengambil inspirasi dari agama.

Di banyak barrio (dusun), khususnya yang terpencil, rakyat terjebak diantara kelompok yang berperang: New People Army (tentara komunis) melawan pasukan pemerintah. Lebih kerap lagi mereka harus dikorbankan demi perjuangan kedua belah pihak. Oleh karena itu pemimpin agama mulai membentuk kelompok yang dilatih untuk melayani pewartaan Injil. Kelompok-kelompok kecil di dusun-dusun itu berkumpul secara rutin dan mendalami Alkitab: mereka berlatih bersama mengartikan sabda dalam Alkitab itu pada situasi dan kondisi konkret dusun mereka dengan segala permasalahannya. Peristiwa-peristiwa besar dalam Perjanjian Lama ataupun hidup Yesus sendiri ditafsirkan kembali secara lebih rasional (bdk., Lamb, hal. 1-2; Bauckman, hal. 3-19). Kelompok-kelompok ini semakin berkembang ke seluruh Filipina.

Penafsiran ini juga memanfaatkan ilmu-ilmu profan, misalkan: sejarah, politik, antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Kisah exodus (Keluaran) ditafsirkan bahwa Alah telah mengambil keputusan ‘politis’ untuk membebaskan umatNya dari penindasan di Mesir. Dan untuk menikmati kemerdekaannya, umat harus mengadakan perjalanan penuh risiko di padang gurun. Pengalaman umat ini tidak hanya terjadi di suatu tempat dan pada suatu waktu saja, melainkan juga terjadi di sepanjang sejarah umat manusia (bdk., Cosmao, hal. 87-90), termasuk dalam sejarah rakyat Filipina. Dengan demikian, rakyat diajak menempatkan diri sebagai umat Allah, yang diberi kesempatan untuk memperoleh kebebasan dari rejim penindas, meski kadangkala harus dengan mempertaruhkan diri. Ekaristi biasanya diikuti dengan khusuk penuh haru atas pengorbanan Sang Pahlawan. Kini tanpa mengabaikan kebenaran tersebut pengorbanan Kristus dilihat sebagai kesetiaan terhadap idealisme atau ‘cause’, yakni pembebasan umat manusia. Pembebasan manusia dari dosa yang abstrak ini perlu dipahami sebagai pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan yang setiap hari ada di depan mata mereka. Rakyat akan menikmati pembebasan itu kalau ia sendiri mau ikut dalam gerakan pembebasan diri mereka (bdk, Cosmao, hal. 60-73). Setelah perjalanan yang melelahkan bertahun-tahun dan dengan banyak korban, rakyat semakin terbentuk sikap imannya. Sikap ini, dibarengi dengan semangat Active Non Violence (Tranformasi Tanpa Kekerasan) akhirnya membuahkan hasil. Suatu malam di akhir Februari 1986, People Power memaksa Marcos menyerah. Setelah itu proses transformasi masih berlanjut.

Revolusi Iran lebih menekankan semangat revolusioner, akan tetapi tidak disertai keberanian untuk menerima pembaharuan yang radikal dalam diri sendiri dan dalam sistem masyarakat (bdk., Mehden, hal. 11) yang mengenai baik rakyat maupun pemimpin nasional. Sebaliknya Revolusi Filipina mencoba menafsirkan isi agama dalam realitas hidup. Manafsirkan kembali tidak sama dengan ‘memetri’ yang selalu cenderung konservatif, tetapi sambil tetap mempertahankan inti pokok sebagai sumber inspirasi, maka orientasi lebih diarahkan kepada kenyataan hidup, khususnya rakyat kecil yang tertindas (bdk., Maduro, hal. 106-109).

Menafsirkan kembali juga bukan mencari pembenaran dari kata atau kalimat Alkitab yang diucapkan dalam situasi tertentu. Tetapi kata dan kalimat atau peristiwa dalam Alkitab itu diberi konteks kongkret. Maka, diperlukan sikap kritis tetapi simpatik terhadap Alkitab. Manusia memandang Alkitab sebagai sesuatu yang mempengaruhi seluruh kemanusiaannya, akan tetapi tidak membelenggu. Meski tanpa mengucapkan teks Alkitab namun orang lain akan merasakan getaran pesan Alkitab itu dalam aksi, perilaku dan perbuatan. Dengan kata lain diperlukan sikap kritis agar para penganut agama tertentu dalam memberikan makna baru yang kontekstual (bdk., Gremillion, hal. 161-166).

Di samping itu agama perlu memperhatikan unsur humanisme dari filsafat sekular. Untuk ini diperlukan sikap terbuka seorang dewasa yang mau belajar, yaitu memakai yang baik dan membuang yang tidak bermanfaat. Masih juga baik bila agama cukup terbuka untuk belajar dari pengalaman demokrasi dan lembaga politiknya. Pengintegrasian humanisme dan penafsiran kembali ke dalam pandangan yang menyeluruh mengenai masa depan akan merupakan jawaban yang terbaik oleh agama terhadap tuntutan mutlak jaman baru.

Fajar Baru

Saat ini manusia sedang pada awal suatu fajar baru, yakni masa untuk menemukan kembali yang transenden di dalam pengalaman manusiawi (bdk., Berger, hal. 62-97). Pada masa awal belum tersedia jawaban-jawaban atas semua pertanyaan. Perlu ada pertanyaan bahkan keraguan, tetapi kemudian harus ikut ambil bagian dalam menentukan jawaban, sebab manusia adalah bagian dari pertanyaan itu sendiri. Proses ini memerlukan pendekatan induktif, yakni usaha membuka pengalaman manusiawi dalam tradisi religius. Berbeda dengan pendekatan deduktif, pendekatan induktif memakai titik tolak pengalaman manusiawi. Berbeda dengan pendekatan deduktif, pendekatan induktif yang memperlakukan pengalaman manusiawi itu sebagai pengalaman yang khas, yang menunjuk pada yang adikodrati. Pendekatan ini berusaha menggali apa yang essensial dalam pengalaman. Secara fenomenologis dikupas berbagai pengalaman manusia untuk menemukan tanda-tanda dari transendensi (adikodrati), antara lain pengalaman yang cenderung tertib itu adalah, pengalaman permainan (homo ludens dari Huizinga), pengalaman pengharapan (Ernst Bloch) dan pengalaman situasi terbatas (Karl Jaspers). Pengalaman-pengalaman itu menunjuk kepada sesuatu yang mengatasi pengalaman sehari-hari dan menjadi tanda dari yang adikodrati (bdk., Berger, hal. 99-119).

Tatangan besar pada masa awal seperti ini adalah diperlakukannya komitmen dan ketulusan hati pada manusia. Gustavo Gutierrez, yang melihat kilasan fajar baru itu menyatakan bahwa fajar baru itu akan bersifat spiritual, tetapi berbeda dari yang lama, fajar baru ini akan mengarahkan diri kepada keutuhan eksistensi manusia. Dia mengatakan, “Saat ini kita berada di ujung suatu jaman panjang dalam sejarah. Kita akan segera menyaksikan kelahiran fajar baru. Dengan menandaskan persaudaraan diantara umat manusia, maka akan muncul kemungkinan bagi kita mewartakan Injil yang akan memberi inspirasi dan membuat radikal keterlibatan orang Kristiani dalam sejarah manusia. Hanya dalam sejarah ini anugerah kasih Allah dapat diyakini, dicintai dan diharapkan. Setiap usaha yang menghindarkan diri dari perjuangan melawan keterasingan dan kekerasan, serta menghindarkan diri dari perjuangan demi dunia yang lebih adil dan manusiawi, akan merupakan pengkhianatan terhadap Allah. Mengenal Allah artinya memperjuangkan keadilan, tiada jalan lain untuk menemui Allah kecuali jalan itu”.

man lives on nature

means that nature is his body

with which he must remain ini continuous intercourse

if he is not to die

that man’s physical and spiritual life is linked to nature

means simply that nature is linked itself

for man is a part of nature

(KM)

Solo, pada hari Kesaktian Pancasila 1992

Retype, 29 Januari 2009

Daftar Pustaka

Alwi Aidit & Zainal AKSP (penyunt.)

1989 ELITE DAN MODERNISASI

Yogyakarta : Liberty.

Bauckham, Richard

1989 THE BIBLE IN POLITICS.

London: SPCK.

Berger, Peter L

1991 KABAR ANGIN DARI LANGIT.

Jakarta: LP3ES.

Cosmao, Vincent

1985 CHANGING THE WORLD

Quezon City: Claretian Publications.

George, Vic & Paul Wilding

1992 IDEOLOGI DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL.

Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Gremillion, Joseph & William Ryan (ed.)

1978 WORLD FAITHS AND THE NEW WORLD ORDER.

Washington: Interreligious Peace Colloquium.

Lamb, George L

1982 SOLIDARITY WITH VICTIMS.

New York: Crossroad.

Larson, George D

1990 MASA MENJELANG REVOLUSI.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Maduro, Otto

1982 RELIGION AND SOCIAL CONFLICTS.

New York: Orbis Books.

Mehden, Fred R. von der

1986 RELIGION AND MODERNIZATION IN SOUTHEAST ASIA.

New York: Syracuse University Press.

Neil, Robert van

1984 MUNCULNYA ELITE MODERN INDONESIA

Jakarta: Pustaka Jaya.

arsipLAMA1

BERTOBATLAH DENGAN GEMBIRA


1. B E R T O B A T

Kemenangan Yesus Kristus atas dosa bukanlah harus dinantikan pada akhir jaman. Sekarang ini manusia bias turut serta dalam kemenangan Kristus ata doa itu, yang terus menerus maju menuju kesempurnaanya di akhir jaman. Agar dapat turut serta dalam kemenangan ini dibutuhkan satu syarat: bertobat.

Gagasan mengenai pertobatan sudah berkembang sejak jaman Perjanjian Lama, khususnya dalam ajaran para nabi. Istilah yang dipergunakan oleh para nabi untuk bertobat ialah: berbalik kembali, yakni berbalik kepada situasi yang sebelumnya.

Dari sifatnya, bertobat Nampak sebagai suatu tindakan yang bersifat individual. Akan tetapi panggilan pertobatan ini ditunjukan kepada seluruh bangsa; konteks kebersamaan tidak ditinggalkan, bahkan juga dalam hal pertobatan pribadi. Panggilan pertobatan kepada seluruh bangsa Nampak dalam kitab Hosea. Umat dilukiskan sebagai isteri yang meninggalkan suaminya dan lari mencari kekasih baru. Dan kitab ini sekaligus digambarkan bagaimana hasilnya apabila umat berbalik kembali (Hos. 2). Yeremia menekankan pertobatan individu, yang berisikan pendalaman dan bersifat spiritual. Berulang kali dia berseru kepada Yuda dan Israel agar bertobat. (bdk. Yer. 18:11; 25:5; 35:3,7).

Dengan adanya perkembangan unsure pribadi dalam bertobat, terdapat pula tekanan yang lebih besar pada perubahan yang menyeluruh. Sekali lagi lagi para nabi mewartakan hal ini. Mereka bertambah sadar bahwa ibadah tobat, termasuk semacam laku tapa ; puasa, menaburi diri dengan debu, ratapan umum dan pengakuan dosa tidak dengan sendirinya mencukupi. Semua ini tidak ada gunanyakecuali disertai perubahan hati. Itulah sebabnya para nabi bicara hal hati yang terlibat dalam pertobatan. (Yer. 29:13-14).

Konsep bertobat yang pada pokoknya berbalik kepada Allah mengandaikan adanya tindakan berbalik dari dosa. Maka bicara soal pertobatan tak bias diluar konteks dosa pemberontakan terhadap kasih Allah. Dosa telah membuat penghalang antara manusia dengan Allah. Adanya unusur ganda ini dijelaskan oleh Yesaya (Yes. 52:1-12). Didalam bertobat termasuk meninggalkan dosa yang menyebabkan keterpisahan, tanpa hal ini berbalik kepada Allah adalah mustahil. (Yehez. 14:6; Yes. 59:20).

Gagasan bertobat di atas menekankan: manusia yang mengambil keputusan untuk berbalik kepada Allah dan memperbaharui hiupnya. Bagi orang Kristiani, bertobat merupakan jawaban yang dibuatnya terhadap apa yang dikerjakan Yesus. Oleh karena hal ini merupakan jawaban, maka inisiatif ada di tangan Allah. (Ratapan 5:21). Desakan dari inisiatif ilahi ini diperlukan agar manusia jangan sampai tenggelam dalam samudera keputus-asaan. Sejarah Israel mencata pelbagai kegagalan, yang kemudian menyadarkan perlunya pertolongan Allah. Hal ini tidak menyangkal atau mengabaikan usaha manusia, tetapi justru member motivasi yang lebih tinggi.

Dalam Perjanjian Baru hal pertobatan semakin giat diwartakan. Anugerah rahmat dalam Yesus begitu besar sehingga manusia harus lebih dalam kesadarannya akan pertobatan dan semakin rela berbalik kepada Allah. Oleh karena itu pertobatan yang menyeluruh semakin ditekankan.

Seruan bertobat banyak terdapat dalm injil dan kisah Para Rasul. Yesus sendiri mewartakan pertobatan sebab Kerajaan Allah telah dinyatakan dalam kedatanganNya (Mrk.1:12). Akibatnya, apabila manusia mengenali siapakah sebenarnya Dia itu, orang terdorong untuk mengakui dosanya (Luk. 5:8). Kisah Rasul mencatat hasil pewartaan awal: Kabar Gembira tentang Yesus Kristus. Terus menerus, setelah menjelaskan apa yang dikerjakan Allah melalui Yesus Kristus dan apa yang terjadi dalam umat. (Kis 3:19).

Paulus menyerukan pertobatan kepada Jemaat di Korintu. (II Kor 7:9) dan ayat selanjutnya dia melanjutkan keterlibatan yang menyeluruh dalam pertobatan sejati.

Bertobat dari dosa menjadi langkah pertama pada keselamatan. Hal ini merupakan pengakuan atas kemenangan Kristus terhadap dosa; suatu kemenangan yang akibatnya kini mulai diterapkan masing-masing orang.

Adalah perbuatan manusia yang terdalam bahwa pertobatan melibatkan perubahan cara hidup. Hal ini bias disertai tanda-tanda tobat lahiriah, misalnya puasa, mati raga dan sebagainya. Tetapi tanda-tanda itu tidak bisa menggantikan perubahan cara hidup, bahkan menjadi tidak berguna apabila hati tidak berubah meninggalkan dosa dan berbalik kepada Allah.


2. BERTOBATLAH DENGAN GEMBIRA

Menjadai seorang Katolik berarti percaya kepada Kristus, mau menerima Dia, mau menjadi murid dan pengikutNya. Untuk itu diperlukan syarat yang mutlak, yakni: TOBAT atau didalam bahasa Yunani: METANOIA. Metanoia berarti berbalik meninggalkan doa dan mengarahkan diri serta terbuka kepada Kristus.

Ketika Yohanes Pembabtis muncul untuk mempersiapkan orang-orang Yahudi agar supaya menerima Kristus, ia berseru: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah dekat” (bdk. Mat 3:1-12; Mrk. 1:1-8; Luk. 3:3-9 dan Yoh 1:19-28).

Bahkan mengenai Lukas yang biasanya memberikan tekanan mengenai belas kasihan Allah kepada manusia, mengutip kata-kata Yesus yang keras: “Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian.” (Luk. 13:1-5).

Dalam peristiwa menyelamatkan seseorang, Yesus terlebih dahulu meyakinkan orang itu bahwa dosanya telah diampuni. Hal ini dipergunakan untuk menyatakan cara lain bahwa ’tobat orang itu telah diterima’. Ungkapan di atas dapat dilihat dalam banyak peristiwa penyembuhan, misalnya: penyembuhan orang lumpuh (Mat. 9:1-8; Mrk. 2:1-12 dan Luk. 5:17-26); atau penyembuhan wanita yang sakit leleh darah (Mat. 9:20-22; Mrk 5:25-34 dan Luk. 8:43-48); atau yang secara langsung dalam mengampuni perempuan yang tertangakap basah (Yoh. 7:53; 8:11). Dalam peristiwa-peristiwa demikian lebih dahulu meyakinkan: “Hai saudara, dosamu sudah diampuni.” Perkataan itu artinya sama dengan: “Kamu selamat, sebab kamu telah bertobat.”

Karya Yesus adalah karya penebusan seluruh umat manusia. Hal ini berarti bahwa Yesus sanggup membawa untuk bertobat dari dosa-dosanya. Yesus menawarkan kepada kita jalan untuk melepasakan diri kita sendiri dari belenggu dosa yang melilit dan mencekik kita. Yesus menanyakan: apakah kita sanggup bekerja sama membangun masa depan yang lebih baik. Yesus menawarkan apakah kita mau BERTOBAT.

Dari pengalaman banyak pengertian dan pemahaman yang keliru mengenai makna bertobat. Dan dari pemahaman yang keliru ini timbulah reaksi-reaksi yang salah pula. Bertobat sering diartikan secara sempit, yakni: Bertobat berarti mengakui dosanya. Hal yang alah ini pun masih dipraktekkan secara salah pula, yaitu: menitik beratkan tindakan-tindakan salah di masa lampau, dan berhenti di masa lampau itu. Ditambahkan pula penekanan atau praktek formilnya, yakni mengaku dosa di kamar pengakuan dengan kata-kata klise. Dengan demikian sangat terasa aspek ‘penghakiman’, sehingga orang merasa tidak enak karena dihakimi atau aspek pengampunan kurang dirasakan. Akibatnya: rasa berat karena kesalahan, cacat dan dosa kita ditunjuk. Orang menjadi malu, kehilangan muka dan merasa menjadi hina dan kecil. Orang menjadi muram dan pesimis.

Pengertian salah ini membawa akibat, atau sekurangnya member kesan bahwa Kristus atau agama itu memaksa, mengikat dan menekan. Yesus Kristus membuat kehidupan kita ini menjadi berat dan tertekan. Kristus membuat kita muram, kecut dan pesimis. Kristus menggerogoti kebebasan manusia, terutama kebebasan orang muda. Agama itu mengancam dan mencikik kita dengan peraturan dan larangan. Agama mendikte kita dengan perintahnya.

Benarkah demikian itu? Jikalau Kristus mengajak bertobat sebagai syarat mutlak untuk menjadi muridNya, hal itu mengakibatkan bahwa kita kehilangan kebebasan, kita tetekan dan menjadi pesimis, mengapa semuanya itu tidak kita tinggalkan saja? Kalau agama membawa kita ke arah yang muram, kecut dan terpaksa, mengapa agama tidak kita buang jauh-jauh? Pertanyaan-pertanyaan itu bukan pertanyaan rethoris pemanis. Pertanyaan itu adalah pertanyaan riil yang harus kita jawab engan keputusan kita. Dengan penalaran dan tanggung jawab kita. Kita tidak boleh membonceng dan ikutan-ikutan dengan jawaban orang lain. Kita masing-masing secara pribadi harus menjawab dan mengambil keputusan. Bukankah sebaiknya kita harus bertanya kepada diri kita sendiri berdasarkan praktek dan pengalaman hidup ini?

Jika kita pegang pemahaman bertobat yang benar. Kristus adalah penebus. Kristus membawa kebebasan dalam arti sepenuhnya Kristus membawa kebangkitan. Kristus menawarkan hidup baru yang cerah dan ceria. Kristus membawa optimism. Maka tobat yang dipesankan oleh Kristus harus sejajar dengan seluruh garis penebusan ini. Mungkin akan membantu jikalau kita memperhatikan contoh-contoh ini:

Zakheus (Luk. 19:1-10); adakah tanda bahwa dia menjadi murung setelah bertobat? Apakah ia menjadi tertekan dan kehilangan kebebasannya? Apakah ia menjadi malu dan tidak bahagia hidupnya? Anak yang hilang (Luk.15:11-32); Adakah anak muda itu kembali kepada bapanya dengan menangis meraung-raung karena kesedihan? Apakah ia kehilangan kebebasannya untuk menikmati perempuan lacur dan menghamburkan uang?

Mateus (Mat. 9:9-14; Mrk. 2:13-17 dan Luk 5:27-32); Apakah Mateus menyesali diri setelah meninggalkan kesempatan untuk menggaruk kekayaan sebagai pegawai pajak? Apakah ia tidak mengakui bahwa ia orang berdosa? Adakah ia kehilangan kebebasan, tertekan dan pesimis?

Dengan contoh-contoh di atas, yang diambil dari Injil itu, kita dapat melihat bahwa bertobat yang benar itu mempunyai nada kegembiraan, mempunyai warna cerah dan kebahagiaan. Dari contoh tadi kita pun dapat melihat bahwa: bertobat adalah keputusan dasar untuk menuju perbaikan masa depan; keputusan dasar untuk menuju kepada Allah sendiri dan cirinya optimis.

Agar dapat mengambil keputusan dasar orang perlu mengenal kenyataan masa lamaunya. Mengenal kekeliruannya dan dapat menganalisanya. Untuk mengenal kekeliruaannya tidak perlu mencari kambing hitam dan terlalu banyak mencari excuse. Kambing hitam dan excuse hanya akan menyesatkan perbaikan. Dengan melihat kenyataan kita dapat menentukan pilihan asasi atau dasariah untuk terbuka terus kepada kebaikan. Kita bertobat berarti, hidup kita terbuka secara terus menerus kepada Allah.

Realisasi keputusan dasar ini biasanya berjalan melalui proses, tingkat demi tingkat menuju ke arah yang lebih baik; setapak demi setapak menuju kepada yang lebih tinggi. Orang yang bertekad untuk bertobat berarti sedikit demi sedikit menuju terang sejati. Setapak demi setapak mengarah kepada kebahagiaan sejati.

Kita telah mengatakan ‘ya’ kepada Kristus. Kita percaya kepada Kristus. Kita bergandengan tangan dengan Kristus menuju kepada kebangkitan. Tentulah hal semacam ini akan membawa kecerahan, membawa kebebasan. Tobat membawa senyum menuju hidup baru yang berseri. Maka dari itu sekali lagi: “Bertobatlah, karena Kerajaan Allah sudah dekat.” Dan tobat juga membawa kegembiraan dan kesukaan tidak hanya kepada orang yang bersangkutan saja, akan tetapi juga kegembiraan bagi orang lain, menggembirakan seluruh perhimpunan umat beriman:

” Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena Sembilan puluh Sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.” (Luk. 15:7)


3. PENGAMPUNAN DOSA

Pembersihan diri dari dosa merupakan hal yang penting bagi semua agama. Dalam banyak agama kuno pembersihan dosa disertai dengan hal-hal magis, misalnya: di salah satu daerah di India, apabila seorang raja wafat maka dipanggillah seorang suci. Di atas jenasah itu sudah ditaruh makanan. Orang suci tadi datang, memeluk jenasah dan memakan makanan itu, lalu mengatakan kepada semua orang bahwa dosa raja telah diambilnya dan dia yang menanggung akibatnya. Kemudian orang suci itu pergi mengembara ke luar negerinya dengan bekal dari keluarga raja. Contoh itu memperlihatkan adanya orang yang menanggung dosa orang lain. Terdapat bekas-bekas yang mirip dalam Perjanjian Lama.

Perjanjian Lama mengubah artinya sesuai dengan konsepnya mengenai Allah yang monotheistis. Misalnya pada hari penebusan, imam sambil meletakkan tangan di atas kepala domba dia mengakukan dosa-dosa umat. Domba itu kemudian digiring ke padang gurun dan dilepaskan disana sebagai lambing dia membawa pergi dosa umat. Upacara ini dimaksudkan untuk melambangkan apa yang dikerjakan Allah bagi umatNya. Namun hal ini selalu membawa bahaya bahwa tindakan itu melupakan apa yang dikerjakan Allah sendiri dan hal yang lahiriah dipentingkan.

Karya pengampuna dosa oleh Allah sengat ditekankan dalam Perjanjian Lama, sekaligus menekankan perbedaannya dari agama lain. Kerap kali motif yang dikemukakan: mengapa Yahweh harus mengampuni dosa (bdk. Mzm. 25:16-18). Namun seperti umumnya tak banyak dikatakan mengenai motif dan hanya diandaikan bahwa Dia adaalah Allah Pengampun. Sekurang-kurangnya terdapat suatu contoh: pengampunanNya dihubungkan dengan kasihNya kepada umatNya (Bil. 14:19), dengan kata lain dengan hubungan khusus yang ditetapkan dengan umat oleh Allah sendiri. Dapat dikatakan bahwa pengampunan dosa oleh Allah adalah unsure penting dalam iman umat. (Yes 43:25). Kata-kata nai itu membuat jelas bahwa pengampunan dosa adalah anugerah Allah dan secara dasariah tidak digerakkan oleh pertimbangan manusiawi. Bukan berarti unusr manusiawi tidak punya peran. Cukup sering Perjanjian Lama menunjuk upacara tobat tertentu yang dihubungkan dengan pengampunan dosa. Kitab Daniel mencatat doa nabi yang dengan cara tertentu dihubungkan dengan pengampunan dosa. (Dan. 9:3-5,9,18-19).

Diantara tindakan penyesalan yang cukup sering disebutkan ialah: puasa, untuk memperlihatkan tanda lahiriah tentang pengakuan dosa dan sikap berduka cita. Semua ini menuntut sejumlah usaha dari pihak manusia. Dan hal ini dapat merupakan bukti bahwa usaha tersebut dipahami sebagai alasan mengapa Allah harus mengampuni dosa. Namun hal ini merupakan godaan yang hampir melekat pada tindakan itu sendiri, yakni menyangka bahwa manusia dapat menghasilkan pengampunan. Godaan tersebut sudah kerap kali disingkirkan dalam sejarah banyak agama. Bagaiamana menjadi jelas bahwa hal itu bukan yang dimengerti oleh penulis kitab suci. Secara tegas Daniel mengatakan bahwa bukan jasa manusia tetapi semuanya ini berdasar kasih Allah (Dan. 9:17) atau ‘oleh Engkau sendiri’ (Dan.9:19). Jadi pengampunan datang dari Allah dan tidak tergantung pada manusia dan perbuatannya.

Jika demikian apa maksud tindakan penyesalan manusia? Menurut keyakinan Kitab Suci, dosa dengan cara tertentu mendapatkan hukuman. Pada saat itu hukuman tersebut disamakan dengan tanda peringatan khusus misalnya kekalahan perang. Juga rasa takut merupakan akibat dari dosa. Pengekangan diri; puasa dan sebagainya, adalah ungkapan lahiriah yang melambangkan penghukuman itu, yang oleh pendosa dimengerti sebagai akibat dosanya. Jadi perbuatan demikian itu untuk manusia sendiri dan bukan bagi Allah. Perbuatan ini membantu manusia menjadi lebih sdar akan dosanya dan perlunya pengampunan Allah. Dan kesadaran akan hal ini, suatu keterbukaan terhadap rahmat penyembuhan, diperlukan oleh manusia sebelum Allah dapat mengampuni dosa. Inilah alasannya mengapa laku tapa itu dikatakan semacam kondisi untuk pengampunan. Hal ini merupakan kondisi untuk menegaskan: siapakah manusia di hadapan Allah. Jika demikian, mereka berpura-pura atau member kesan saleh pada orang lain atau mencari hasil pertobatan dengan cara magis. (bdk. Yoel 2:13). Jika perbuatan tersebut pada tingkat demi mencapai kesadaran yang benar maka hal itu sesuai atau sah sebagai ungkapan agama.

Selain itu, penyelamatan hadir sebagai peristiwa, yakni Allah menang atas dosa. Manusia mempunyai peran tersendiridalam hal ini: menjawab inisiatif Allah. Peristiwa ini dihadirkan kembali dalam ibadah pada Perjanjian Lama dan perjanjian Baru khususnya dalam Ekaristi dan Sakramen lainnya. Di sini laku tapa tersebut menggaris bawahi kekuatan dan kasih Allah, dan dengan demikian iman kepada Allah diteguhkan. Sekali lagi perlu dicatat bahwa semuanya ini demi manusia bukan demi Allah.

Dalam Perjanjian Lama, iman punya sejumlah fungsi dalam ibadah yang dipakai dalam pengampunan dosa tertentu. Tetapi mereka tidak mengucapkan rumusan pengampunan. Rumusan itu dikhususkan bagi Allah. Lebih dari itu pengampunan dosa dengan khusus dihubungkan dengan jaman Mesias (bdk. Yer. 31:34). Dan disitu tidak dinyatakan bahwa Mesias akan mengampuni dosa, sebab hal itu baru akan ditegaskan dalam Perjanjian Baru.

Waktu Yesus mengampuni dosa orang lumpuh, maka reaksi Farisi dapat dimengerti dan mengatakan Yesus Penghojat (Mrk. 2:5-7). Siapa yang dapat mengampuni dosa selain Allah sendiri? Mereka ini masih berpikir dengan cara Perjanjian Lama. Tetapi dengan menyembuhkan orang lumpuh itu, jesus mau memperlihatkan kuasaNya untuk mengampuni dosa. Kini kekuatan Ilahi dilaksanakan seseorang di bumi (Mrk 2:10). Pelaksanaan kekuasaanNya di dunia merupakan perluasan kekuatan Tuhan yang bangkit, yang kini dilaksanakan melalui Gereja. Kuasa Gereja untuk mengampuni dosa diperolehnya berkat kesatuannya dengan Yesus yang mulia. Lebih jelas pada kisah yang sama pada Injil Matius (Mat. 9:8). Pernyataan ‘memberikan kuasa demikian’ kepada manusia memperlihatkan bahwa penginjil sadar akan kuasa yang sedang dilaksanakan dalam Gereja waktu itu, yang ternyata senada dengan pernyataan Yesus sendiri (Mat. 18:18). Yohanes menuliskan bahwa Yesus sendiri member kuasa pengampunan pada Para Rasul. (Yoh. 20:23).

Kemudian Petrus menyatakan bahwa orang Kristiani telah mati terhadap dosa berkat Sakramen Permandian (Roma 6:1-14). Dengan demikian dinyatakan bahwa Dia telah mengampuni dosa di dunia, dan melanjutkan karya pengampunan itu melalui Gereja.

Salah satu aspek yang khusus dalam ajaran Kristiani peri hal pengampunan dosa ialah adanya keharusan ‘saling mengampuni’. Bila kita mengharap Allah mengampuni orang berdosa kepada kita. (Mat 5:23-34 bdk . Mrk 11:25). Sekaligus menjadi jelas bahwa Ekaristi dan pengampunan sudah dikaitkan sejak mula.

Disamping itu yang perlu diperhatikan adalah apa yang termuat dalam doa Bapa Kami (Mat. 6:9-13 dan Luk 11:2-4). Dalam permohonan ‘ampunilah soa kami seperti kami mengampuni yang bersalah kepada kami’, kata seperti disini tidak dimaksudkan sebagai ukuran, sebab bagaimanapun juga pengampunan Allah jauh lebih besar dari pengampunan manusia. Hal ini berarti Allah mengampuni apabila orang itu bersedia pula mengampuni sesamanya. Namun tidak dapat dikatakan bahwa pengampunan Allah itu bersyarat. Dengan kata lain pengampunan Allah selalu tersedia dan akan mencapai hati manusia yang masih memusuhi saudaranya. Dengan mendekatkan diri kepada sesama, manusia mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan akhirnya masih dikatakan dan bebaskan lah kamiu dari yang jahat merupakan penegasan permohonan ampun atas dosa.

Ajaran Perjanjian baru mengenai pengampunan dosa merupakan kepenuhan dari ajaran Perjanjian Lama. Allah mengampuni manusia dan manusia mengampuni sesamanya. Inisiatif selalu di tangan Allah. Dengan memperluas kasih pengampunanNya kepada manusia melalui kemenangan Kristus atas dosa, Allah telah membuka kemungkinan bagi manusia untuk terbuka kepada sesamanya. Dalam Jemaat Kristiani pengampunan ini menciptakan jemaat eskatologis, yakni Jemaat yang sepenuhnya berada di bawah kuasa kasih Allah. Di dalam Ekaristi, terjadi perjumpaan untuk diampuni dan mengampuni, yang merupakan puncak dalam persatuan dengan Kristus yang bangkit.

Kamus Indonesia