Kalender Liturgi

Sabtu, 17 April 2010

Meneropong Semangat Kepemimpinan Katolikers



Meneropong Semangat

Kepemimpinan Katolikers

“Orang berbicara mencerminkan akalbudinya, Orang berbuat mencerminkan hatinya, Orang beragama mencerminkan jiwanya, Orang beriman mencerminkan rohnya, Orang yang sempurna mencerminkan semuanya.” ungkap hati, yang berkobar sepulang kuliah.

Kuningan – Jakarta, 20 April 2010, ketika mengendarai motor.


Pendahuluan

Awalnya penulisan ini dikarenakan rasa kepercayaan saudari Desi Purnami, redaksi Propheta, yang meminta saya menuliskan suatu refleksi tentang semangat kepemimpinan Bung Frans Seda. Saya menggunakan kata Bung pada Frans Seda sebagai sebutan hormat saya kepada saudara laki-laki tua (lht. KLBI).


Saya memilih judul “Menoropong Semangat Kepemimpinan Katolikers” sebagai rangkuman seluruh isi tulisan ini. Namun, ketika saya mencoba merumuskan dan mengembangkan topik di atas, saya malah dijemput oleh beberapa pertanyaan yang cukup memusingkan pemikiran saya.


Pertama,Dadapatkah saya menuliskan sketsa birografis Bung Frans Seda dengan lebih berbobot?” Sedangkan saya saja belum mengenal akrab Bung Frans Seda.


Kedua,Apakah saya dapat menoropong semangat kepemimpinan Bung Frans Seda dengan mengunakan lensa nurani saya?” Sementara pengalaman kepemimpinan yang saya miliki tak sekaliber Bung Frans Seda.


Ketiga,Apakah praksis (baca: refleksi atas aksi) saya sungguh bermanfaat bagi saudara-saudari?” Di mana dalam mengkaji semangat kepemimpinan, saya tak seahli para pakar Motivator Leadership.


Pertanyaan-pertanyaan dan keterbatasan di atas, merupakan suatu tantangan tersendiri bagi saya untuk segera mengeksplorasikan sebuah jawaban yang relevantif berdasarkan praksis iman saya.


Meskipun demikian, saya tetap mencoba menuangkan suatu pilihan alternatif praksis di bawah ini, dengan menggunakan model penulisan ilmiah populer. Akhirnya, semoga tulisan ini dapat memarakkan semangat kepemimpinan sidang intelektualis muda.


Tersadar Dalam Perkenalan

Saya ingat sekali, 2-4 November 2009, pada pelatihan pengurus organisasi kemahasiswaan Unika Atma Jaya di Wisma Bahtera, Cipayung. Bapak Drs. Yohanes. Temaluru, M.Psi. – Warek III Atma Jaya, menyampaikan dengan penuh semangat visi-misi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan visi-misi Organisasi Kemahasiswaan Atma Jaya. Saat itu merupakan pertama kalinya saya mengenal Bung Frans Seda dari cerita Pak Anis, sapaan akrab Warek III Unika Atma Jaya.


“Bapak Frans Seda adalah tokoh yang bijaksana, beliau adalah tokoh bangsa yang cukup berpengaruh dalam pemerintahan Indonesia. Beliau dipercayakan oleh Soekarno untuk membangun Unika di Jakarta. Beliau sangat gigih dan kritis dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Beliau pernah empat kali menjadi menteri dalam beberapa dekade.” cerita diplomatis Pak Anis.


“Pada suatu larut malam, ketika saya datang ke rumah Pak Frans Seda, beliau bersedia menemui saya yang di kala itu menjabat sebagai PUREK III (sebutan sekarang: Wakil Rektor III). Waktu itu saya meminta rekomendasi dari Pak Frans Seda untuk mahasiswa yang kurang mampu dalam pembiayaan perkuliahan. Pak Frans Seda bersedia merekomendasikan mahasiswa Atma Jaya tersebut dengan langsung menandatangani sebuah memo pada malam itu juga.” celoteh Pak Anis yang tampak tak lelah ketika banyak cerita story life tokoh Frans Seda.


”Yang mana sih orang ini? Apakah semangat Frans Seda dapat bermanfaat bagi kami mahasiswa Atma Jaya?” kikuk penasaran saya sambil membayangkan paras Bung Frans Seda malam itu. Debaran dada saya tak teratur, seolah ada kobaran api yang menyulut semangat saya. Semangat penuh membara untuk mengenal sosok Bung Frans Seda lebih mendalam.


Seusai testimony Pak Anis malam itu, saya merasa senang dengan nama Frans Seda. Saya merasa telah terasuki oleh semangat juang dan jejak rekam inspiratif Bung Frans Seda. Saya kagum dengan Bung Frans Seda yang adalah seorang intelektualis Katolik, putera Flores, dan putera Bangsa.


Dengan demikian saya memutuskan, nama Bung Frans Seda masuk dalam kategori tokoh-tokoh terinspiratif dalam hidup saya. Semangat saya yang bergelora malam itu, membawa saya pada suatu tekad baru, bahwa saya harus berusaha melanjutkan semangat Bung Frans Seda, minimal pada kepemimpinan organisasi Senat Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (SM FKIP) periode 2009-2010.


Duka Menyulut Semangat Baru

Kabar duka cita berkibar di tanah Nusantara Indonesia pada pengakhiran tahun 2009. Fransiskus Xaverius Seda (nama lengkap Bung Frans Seda), mantan anggota Lasykar KRIS dan Lasykar Rakyat GRISK pada perjuangan 1945-1950 ini (lht. Hidup; 17 Januari 2010) gugur juga di bumi pertiwi Bhineka Tunggal Ika.


Banyak orang memberikan doa dan kesaksian. Baik tokoh Sosialis, Sejarahrawan, Politis, Budayawan, Cendiakawan, Negarawan dan bahkan Kaum Religius, yang dengan gagah berani menceritakan kisah hidup, semangat perjuangan dan kepemimpinan Bung Frans Seda.


Saya waktu itu ikut serta dalam acara ibadat penghormatan dan pelepasan jenasah Bung Frans Seda yang dilaksanakan oleh Unika Atma Jaya, Misa Requiem di Gereja Katedral sebelum penyerahan jenasah kepada Negara Indonesia, serta upacara pemakaman jenasah yang dilaksanakan dengan tata cara kenegaraan di San Diego Hills. Menurut saya, beberapa acara “mewah” di atas merupakan unsur-unsur yang mencoba membuktikan kesohoran Bung Frans Seda.


Seorang tokoh religius mengatakan,”Kobaran semangat juang Frans Seda dalam kenangan hidupnya, sungguh tersebar ke berbagai arah; mempengaruhi orang di sekitarnya maupun orang yang dipimpinnya.”


Sebagian kalangan meyakini, bahwa Bung Frans Seda telah berpulang ke istana keselamatan Allah-Bapa kita di sorga. Rahmat Allah menyelamatkan jiwa Bung Frans Seda.


Oleh karena akumulasi informasi dan berbagai kesaksian hidup Bung Frans Seda itu, maka saya semakin mengagumi dan mengimani “sesuatu” yang menyebabkan Bung Frans Seda sedemikian dicintai segenap manusia dan Bangsa ini.


“Sesuatu” yang saya maksud itu dapat saya telusuri dengan penuh semangat Katolikers. Katolikers adalah sebuah term tunggal dari penulis yang ditujukan kepada seseorang/pribadi sebagai pengikut/bagian dari suatu komunitas kerohanian. Seperti halnya sebutan orang duniawi untuk anggota fans club atau members, follower’s, dstnya. Contohnya: Slankers, dst. (Bandingkan arti kata Katolik dalam Katekismus Gereja Katolik, nomor 830-831).


Semangat Roh Nan Jaya

Bung Frans Seda sangat menjunjung tinggi ciri khas tradisi keluarga. Tradisi yang mempengaruhi diri Bung Frans Seda dalam hidup beragama dan menggereja (doa, tapa, dan kerja keras). Dari latar belakang tradisi keluarga ini dan pendidikan Katolik yang Bung Frans Seda terima, telah membentuk semangat spiritualitasnya, Sentire Cum Ecclesia, sebuah semangat baru untuk hidup perihatin bersama Gereja (Frans Seda; 2006).


Belum lama ini, beberapa kalangan ikut serta dalam Misa peringatan 100 hari wafatnya Bung Frans Seda. Doa permohonan, doa syukur, ungkapan terima kasih dan harapan dihaturkan kepada Allah pada misa tersebut.


Secara eksplisit, bentuk penghormatan dan rasa bangga dari para konsebran utama dan berasal dari umat yang hadir, seolah mengatakan bahwa Bung Frans Seda tetap hadir dalam semangat Roh Nan Jaya (baca: Unika Atma Jaya).


Ada hal yang menarik bagi saya bila merefleksikan beberapa isi kotbah Uskup Agung Jakarta, Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ pada misa saat itu. Hasil refleksi Beliau (baca: permenungan kotbah), Bapak Kardinal sungguh mengagumi dan bangga terhadap semangat Roh Kudus yang bersemayam pada orang katolik.


“Saudara-saudari yang terkasih, Bapak Frans Seda adalah salah satu di antara orang katolik yang bersemayam Roh di dalam hati.” ucap Bapak Kardinal.


Dalam kotbah, Romo Kardinal meneguhkan, bahwa karya Allah turut serta dalam hidup manusia sampai dengan saat ini. Allah yang menunjukkan peranNya dengan bersemayam di hati orang Katolik dan memberikan semangat dalam seluruh hidup orang Katolik.


Di akhir homili, Bapak Kardinal mengajak semua umat untuk mengucapkan terima kasih kepada Allah dan untuk pendiri Atma Jaya.


“…maka dalam misa 100 hari ini, saya mengucapkan Terima Kasih karena melalui Bapak Frans Seda, Allah mewujudkan karya.” ungkap asa dari Gembala Umat Katolik ini.


Saya menyimpulkan, bahwa dari seluruh sudut peneropongan saya terhadap semangat kepemimpinan Bung Frans Seda, ternyata titik utamanya terletak pada hidup kekatolikan Bung Frans Seda.

Pemimpin Sejati: Yesus Kristus

Pemimpin biasa dapat menjadi pemimpin luar biasa karena banyak hal yang menyebabkannya. Salah satu aspek yang dapat menyebabkan seseorang menjadi pemimpin luar biasa adalah dengan bantuan Rahmat Allah-Maha Penciptanya. Dengan kata lain aspek Kerohanian-keagamaan menjadi titik pangkal suatu proses pendidikan seorang calon pemimpin.


Sosok Pemimpin Sejati yang saya maksudkan adalah pemimpin utama para umat beriman Nasrani, yaitu Yesus Kristus. Saya mengenal Yesus Kristus, Sang Pemimpin Sejati itu melalui penghayatan iman keagamaan-Katolik. Oleh karena menjadi anggota agama Katolik (baptisan), maka saya sah sebagai Katolikers yang harus hidup dalam lingkaran pendidikan kekatolikan.


Yesus hidup sekitar 2010 tahun yang lalu. Yesus memiliki visi, misi dan sikap teladan hidup yang masih berlaku sampai dengan hari ini. Yesus mempengaruhi (baca: mempertobatkan) banyak orang untuk kembali menjadi manusia yang suci dan mulia di hadapan Kasih Allah.

Visi Yesus menjadikan seluruh manusia percaya kepada TUHAN Allah, Bapa di Sorga yang menyelamatkan manusia. Misi Yesus yaitu mewartakan Kerajaan Allah dan menebus manusia dari dosa-dosanya; menolong orang sakit menderita; berpihak pada yang miskin; kritis terhadap aturan dan kebijakan publik. Sementara sikap keteladananNya yaitu adil, rendah hati, tulus melayani, murah hati, cinta kasih.


Sementara itu, Ajaran Yesus yang terutama dan paling contrary dengan ajaran lain menurut saya adalah hukum cinta kasih. Cinta Kasih kepada Allah dan Sesama. Apalagi cinta kasih terbentuk dalam pengampunan terhadap musuh atau mengampuni orang yang membeci sesamanya sekaligus mendoakan orang yang menganiaya sesamanya itu (lht. kisah Hidup Yesus dalam Injil Matius; Lukas; Markus; dan Yohanes).


Oleh karena visi, misi, dan keteladan hidupNya itu, maka Yesus menjadi nomor pertama dalam daftar tokoh-tokoh inspiratif hidup saya. Yesus merupakan tokoh inspirator yang memberikan saya suatu keyakinan bahwa Ia memang “sungguh Allah dan sungguh manusia yang berjiwa kepemimpinan.” Dengan demikian, saya memutuskan mengimani Yesus dan menyerahkan seluruh hidup saya dalam kepemimpinanNya.


Pengimanan terhadap Yesus Kristus harus saya hadapi dalam proses suka duka. Saya menyadari bahwa iman saya terbentuk di dalam masyarakat majemuk religius dan non-religius. Meskipun kehidupan dunia semakin desakralisasi, namun saya tetap percaya kepada Yesus, Sang Almasih dalam hidup kekatolikan.


Saya sungguh percaya, bahwa Yesuslah model kepemimpinan Sejati. Yesuslah yang memberikan Roh Kudus untuk murid-murid yang dikasihNya. Termasuk kepada Bung Frans Seda, Saya, dan Anda yang percaya kepada Yesus Kristus (bdk. Peristiwa penampakkan Yesus dalam Yohanes 20:22). Maka benang merah semangat kepemimpinan kita semua yang beriman adalah Yesus Kristus.


Polemik: So... What next?

Saya bertanya-tanya,"Adakah tokoh katolik berikutnya yang mengikuti jejak Bung Frans Seda? Apakah masih ada Orang Muda Katolik (mahasiswa, red), yang sungguh memotivasi diri untuk melayani umat dan memimpin publik Negeri ini? Sungguhkah semangat Bung Frans Seda membangkitkan semangat generasi muda?”


Oleh karena beberapa pertanyaan di atas, maka saya mencoba mengembangkan dan menawarkan buah-buah praksis semangat kepemimpinan Katolikers. Saya memperoleh buah-buah praksis dari pohon spiritualitas iman saya, Pemimpin Sejati-Yesus Kristus.


Katolikers: Spiritualitas dan Leadership

Saya teringat, kira-kira setahun lalu ketika saya mau mencalonkan diri sebagai kandidat SM FKIP periode 2009-2010.


Waktu itu, saya sungguh-sungguh mempersiapkan diri dan segala sesuatunya dengan penuh pertimbangan cermat dan “ke-hati-ke-hati-an” (baca: heart to heart). Ternyata, persiapan saya tak semudah yang saya hayalkan, harapan untuk memimpin organisasi kemahasiswaan FKIP dengan memayunggi 4 HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) membutuhkan semangat dan daya juang yang tebal.


Saya selalu curhat ke sana-sini untuk mendapatkan saran dan kritik. Terkadang saya terlalu berambisius untuk menjadi pemimpin SM FKIP dengan tanpa menerima saran-kritik. Saya pernah terlalu kibir, seolah-olah keputusan rasional saya adalah benar dan mutlak yang akan membawa langkah saya pada kemenangan sebagai pemimpin ketua SM FKIP.


Namun, saya bersyukur bahwa ada sesuatu yang membuat saya bersikap netral. Suatu ketika, dalam suatu dialektis nurani Das Ueber Ich (The Super Ego). Saya mengalami berbagai pilihan-pilihan yang ditawarkan dalam alam pemikiran saya. Saat itu sangat butuh kejernihan rohani untuk menemukan “suatu” kehendakNya.


Singkat cerita, saya menemukan “sesuatu” itu ketika suara akal budi saya kalah telak (baca: egoistif). Dikalahkan dengan suara hati saya (baca: hati nurani). Saya memutuskan memilih suara hati, yang lebih menyapa dengan mesra kehendakNya. Suara yang yang membuat saya lebih termotivasi untuk berbuat hal baik dan benar, serta menghendaki supaya saya tidak terlalu gegabah.


Suara hati saya mengajak melakukan langkah-langkah alternatif yang baik dan benar. Misalnya seperti, suatu daya penyertaan, yang menghantarkan saya untuk mendapatkan relasi baik dengan Empat HMJ FKIP (B. Inggris, Teologi, BK, PGSD). Saya menemukan tiga orang, yang kini menjadi tim inti SM FKIP. Mereka menjadi wakil SM FKIP - Shang hyang (BK), Bendahara - Selly (SD) dan Sekretaris – Jojo (Inggris), mereka adalah orang-orang yang sebelumnya tidak pernah saya pikirkan. Dan, masih banyak hal positif lainnya yang tak bisa saya sharing-kan pada kesempatan ini.


Saya menyadari bahwa ternyata tak cukup mudah mengikuti jejak Bung Frans Seda, apalagi memimpin teman sealmamater-FKIP. Para mahasiswa memiliki kegiatan beraneka dengan ciri khas individu yang memiliki mobilitas tinggi terhadap kegiatannya tersebut.


Lalu pertanyaan lanjutannya adalah, “Apakah semangat kepemimpinan menjadi suatu teoritis belaka?” Jawaban yang saya temukan adalahTIDAK!, semangat kepemimpinan menjadi daya kekuatan utama pada setiap tantangan!” Daya kekuatan yang selalu memberikan semangat; saya rasakan sampai dengan penyajian tulisan topik ini.


Sadar Realitas: Rekonstruksi Kepemimpinan dalam Relasi Imani

Dalam proses masa jabatan saya sebagai ketua SM FKIP, banyak tantangan dan hal-hal latent yang perlu dibenahi. Setajam pengamatan saya, ada banyak hal yang "danger" ketika proses saya memimpin SM FKIP. Misalnya dalam urusan pengembalaan pimpinan Fakultas, ternyata ada pilih kasih antara HMJ dan SM FKIP. Para ketua HMJ masih saling mengotak-kotakan diri. Dana Iuran Kegiatan Mahasiwa (IKM) FKIP yang “sulit dicairkan,” dsbnya.


Menurut analisa saya, ada “hal aneh” dalam penghitungan dana IKM setiap tahun. Misalnya, penghitungan saldo dana IKM FKIP pada setiap semester, yang jumlahnya kurang lebih sama dari tahun-tahun sebelumnya (-+Rp 153 jutaan (laporan s/d semester Ganjil 2008/2009)).


Sementara itu, dana IKM FKIP, yang ternyata terbesar di antara dana IKM keorganisasian lainnya, malah oleh Falkultas “tidak dengan mudah” diberikan sebagai dana awal kepengurusan organisasi (baca: kas) SM FKIP periode 2009-2010. Padahal dana IKM sangat dibutuhkan untuk menyokong SM FKIP dalam merealisasikan program kerja periodenya. Dalam prosesnya, dana IKM malah "dipersulit" atau hanya diberi “secukupnya.” Dengan dalih “ini-itu” atau “bla…bla..a..i..u..e..o!" yang tak pernah bisa saya pikirkan lagi.


Ada hal yang lebih "unik" lagi, ketika SeTiJab (Serah Terima Jabatan) kepengurusan SM FKIP pada tahun lalu, ternyata kami tidak menerima kas/saldo awal dari dana IKM semester ganjil 2009, bahkan dari “jatah sisa” kepengurusan periode sebelumnya. Hitung punya hitung, ujung-ujungnya kami sebagai mahasiswa menerima reinforcement negatif dengan sebuah kata “kemandiran” dan “kewirausahaan.”


Yang paling parahnya lagi, saya menilai tidak ada kebijakan yang seragam antar organisasi Fakultas maupun dengan organisasi UKM dan UKK (ketidakadilan dan kekacauan dalam urusan pengelolaan prosedural, adminitratif, dsbnya).


Kekacauan semakin tak terjangkau lagi dengan adanya program ISO (International Organization for Standardization). ISO adalah badan penetap standar internasional yang terdiri dari wakil-wakil dari badan standardisasi nasional setiap negara. Intinya, program ISO tersebut untuk memenuhi persyaratan internasional dalam hal manajemen penjaminan mutu produk/jasa yang dihasilkannya (Wikipedia; 2010).


Kata “ISO” sering diperdendangkan oleh seluruh warga Unika Atma Jaya. Dikit-dikit ISO. ISO ada di sana-sini. “Ga bisa ada ISO!” “Awas ISO loh!” “Proseduralnya harus seperti ini mas,,,sejak ada ISO! …Bla.. BlA.. ISO!”


Saya bukannya tidak peduli terhadap ISO. Tapi sebaliknya, saya bahkan ikut serta dalam mendukung program ISO. Misalnya, saya tak segan-segan menegur atau melaporkan dosen atau karyawan/mahasiswa yang merokok di WC FKIP atau di kawasan intra Atma.


Tapi ada hal-hal yang saya risihkan dengan adanya program ISO Unika Atma Jaya. Program ISO ini tidak memperbaiki pengelolaan keorganisasian mahasiswa Unika tercinta ini. Buktinya, tidak ada progres informasi yang baik dari program ISO bagi pengurus organisasi kemahasiswaan seperiode saya.


Seharusnya, seluruh jalur III (Warek III-WadekIII sampai dengan UKM/UKK) harus ada keseragaman prosedural dan kebijakan yang sama. Jangan ada fakultas “A” memiliki kebijakan berbeda dengan Fakultas “B” maupun “C”, serta pada UKM dan UKK, sehingga tidak ada halangan yang menghambat mahasiswa berkarya, dsbnya.


Satu kasus contoh misalnya, FKIP tidak memiliki BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa) sementara Fakultas Ekonomi memiliki BPM. Hal ini menjadi pengacau juga, sehingga dalam pengelolaan administratif dan prosedural organisasi maupun relasi antar organisasi jadi kacau dan terhambat.


Menurut saya, masih ada hal yang lebih penting lagi, yaitu Unika Atma Jaya tidak memiliki organisasi mahasiswa dalam “Payung Besar” (BEM/ SMPT/ Dewan Mahasiswa), padahal sudah lama terjadi kevakuman pada organisasi besar ini. Organisasi “Besar” intra Atma Jaya ini sungguh penting untuk mengorganisir, mengkomunikasikan, dan memediasikan seluruh organisasi-organisasi kemahasiswaan baik internal kampus maupun eksternal Atma Jaya.


Lagi-lagi akan terdengar kata “ISO” bukan “ISA” atau nama tokoh religius lainnya untuk menjawab seluruh pertanyaan permasalahan yang ada.


“ISO!…iSo!…isO! aku iso ngurus awakku dhewe koq… :-P” protes saya gunakan logad yang skenanya saja alias blepetan…hhhe 2010x.


Maka sekarang, marilah seluruh keorganisasian Unika Atma Jaya tercinta ini berbenah diri dan terus bermawas diri. Semoga pesta setengah abad Unika Atma Jaya mendatang sungguh merealisasikan harapan keluarga besar Atma Jaya.


Reflectio: Berproses Bersama Sahabat Sejati

Saya sangat bangga dan bersyukur karena Sahabat Sejati memberikan pengalaman-pengalaman “ini-itu”. Kekacaubalauan di atas, harus tetap saya lalui dengan berbagai macam upaya, yang toh….tetap harus saya sandarkan pada Pemimpin Sejati, Yesus Kristus.


Dengan berbagai pengalaman “ini-itu” saya masih memperoleh semangat baru dari rekan-rekan almamater, yang telah mempercayai dan mendukung saya menjadi ketua SM FKIP.


“Mel…bagaimana dengan kabar Senat? Cie..cie… ketua Senat! Mana nih..acara Senat FKIP? Gimana Mel dengan program Senat? Dstnya.”


Sapaan-sapaan tersebut saya yakini sebagai suatu sapaan Pemimpin Sejati saya; Yesus Kristus kembali membangkitkan semangat kepemimpinan saya melalui orang-orang sekitar saya. Saya meyakini, sapaan-sapaan dari semua orang dalam proses kepemimpinan saya sungguh menguatkan saya dan menghantarkan saya untuk selalu belajar dan terus melayani semua orang.


Akhirnya saya menyadari, bahwa tidak ada perbedaan antara Bung Frans Seda, Saya, Anda atau tokoh-tokoh pemimpin Katolik lainnya, bahkan semua orang yang memimpin dalam struktur organisasi maupun non-struktural. Semua pemimpin tersebut harus kembali pada suatu kesadaran:”saya memimpin karena orang lain telah mengamanahkan "sesuatu" kepada saya.” Saya menyakini bahwa,sosok yang sungguh, teramat-sangat, paling mempercayakan diri saya supaya menjadi pemimpin luar biasa adalah Yesus Kristus, Maha Pencipta.”


Maka, tanggung jawab seorang pemimpin harus dapat diandalkan. Pemimpin yang bijak harus mengingat bahwa dirinya seorang manusia yang tidak sempurna, maka yang harus dilakukan pemimpin adalah memenuhi ketidaksempurnaannya itu dalam suatu proses pendidikan.


Selanjutnya, seorang pemimpin tersebut harus selalu belajar dari orang lain. Bersama-sama saling belajar dan saling melengkapi satu dengan yang lain demi tujuan bersama.


Oleh karena semua itu, maka seorang pemimpin harus memiliki seluruh semangat dalam segala sesuatunya. Kemudian yang harus dilakukan selanjutnya yaitu mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada publik-pengikutnya.


Missio Katolikers

Hai … para intelektualis. Tibalah saatnya saya memberikan buah-buah terbaik, yang telah saya temukan di dalam perjalanan kepemimpinan saya. Semoga beberapa hal pokok dari penemuan praksis saya selama ini (baik teoristis maupun yang pernah saya aplikasikan) dapat bermanfaat untuk anda sekalian.


Satu, Pemimpin harus memulai dengan memimpin diri sendiri, yaitu dengan mendisiplinkan diri, mengasah indra kepemimpinannya seperti mata, telinga, hati, mulut, tangan, dsbnya. Indrawi kepemimpinan harus berfungsi lebih peka dan lebih sempurna lagi (bdk. Andrias Harefa; 2003).

Saya menyadari bahwa panca indra manusia harus berfungsi baik dalam memimpin. Setidaknya, satu atau dua di antara indra jasmani tersebut harus berpotensi mencerminkan karisma dalam suatu kepemimpinan. Misalnya tangan: lebih banyak berbuat dan melayani daripada menunjuk atau memerintah orang lain.


Dua, Menjadi pemimpin yang selalu belajar, menimba ilmu interdispliner untuk domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Belajar Filsafat, Teologi, Etika, Multikultural, Bahasa Asing dan belajar disiplin ilmu lainnya.

Saya menyadari bahwa meningkatkan khazanah hard skill dan soft skill akan membantu seseorang dalam kepemimpinannya. Paling tidak kemampuannya berguna dalam mencerdaskan dirinya sendiri, dan "semoga" bermanfaat bagi orang yang dipimpinnya, bahkan bagi lingkungan masyarakatnya.

Pemimpin yang dapat berpikir kritis, terbuka, menghargai pluralisme sekaligus beretika, merupakan pemimpin yang diunggulkan banyak orang (bdk. Franz Magnis Suseno; 2007).


Tiga, Menjadi pemimpin harus memiliki visi, misi, dan sikap orentasi yang jelas. Ini merupakan tuntutan yang harus dimiliki seorang pemimpin.

Saya menyadari bahwa dengan dapat membedakan arti Kepemimpinan (melakukan hal-hal benar) dengan arti Manajemen-Manager (melakukan hal-hal dengan benar) akan membentuk suatu visi, misi dan sikap seseorang dalam kepemimpinannya. (bdk. John Kotter dalam buku, Anthony D’Souza; 2009).

Dalam epilog Bung Frans Seda, yang dituliskan oleh Mikael Dua, membuat saya semakin sadar bahwa Beliau sungguh seorang pemimpin yang memperkenalkan siapa dirinya, dari mana asalnya dan ke arah mana tujuannya. Dan di sini jugalah keungggulan Bung Frans Seda.


Empat, Menjadi pemimpin karena terpengaruh dari model pemimpin yang dikaguminya. Tokoh-tokoh pemimpin inspirator yang dapat membangun semangat kepemimpinan seseorang.

Saya menyadari bahwa seorang pemimpin “biasa” akan menelandani model pemimpin yang “luar biasa” atau “Sejati.” Saya sendiri meneladani model kepemimpin Yesus Kristus. Meskipun sedang dalam proses, namun saya tetap berusaha memiliki tiga gambaran kepemimpinan yang sejati: (3 S) Servant (Pelayan), Shepherd (Gembala), dan Steward (Pengurus) (bdk. Anthony D’Souza; 2009). Tokoh nasionalis yang saya idolakan adalah Soekarno dan Gus Dur.


Lima, Menjadi pemimpin harus menjadi fasilitator. Pemimpin lebih sering berperan sebagai animator. Pemimpin menghantarkan orang lain kepada tujuan yang diimpikan audiensnya atau “rakyatnya.”

Saya menyadari bahwa menjadi fasilitator berarti harus berpartisipasi aktif dan inisiatif dalam komunitas basis (bdk. Liria Tjahaja; 2002). Berjerjaring (networking) dengan pihak lain, baik teritorial maupun kategorial. Dan selanjutnya adalah dengan bersama-sama terlibat dalam ranah struktur masyarakat yang Multikultur. Khususnya harus terlibat dalam bidang Ekonomi, Politik, Budaya, Tekhnologi, Hankam, dsbnya.


Enam, Menjadi pemimpin berarti mengutamakan kehendak Tuhan dan kepentingan sesama. Pemimpin yang baik selalu belajar dan mengejawantahkan norma-norma kemanusian dan nilai-nilai Kristiani di tengah masyarakat dunia. Berpihak pada yang miskin, membela kebenaran, dan menjujung tinggi keadilan merupakan prioritas yang harus didahulukan dalam suatu keputusan tindakannya.

Saya menyadari bahwa pemimpin harus mengutamakan sikap keberpihakan pada yang miskin, tertindas dan menderita. Pemimpin akan dihormati dan diungguli banyak orang karena memperjuangkan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri.



Ketujuh, Pemimpin harus hidup dan berperilaku sesuai dengan imannya (baca: Spritualitas). Pemimpin yang beriman berarti menghayati kewajiban keagamaan dengan benar dan berelasi mesra dengan Penciptanya. Seorang pemimpin mau-tidak-mau, pasti dievaluasi oleh publik. Publik akan meninjau dan menikmati buah-buah iman sosok pemimpinnya itu. Dengan demikian, pemimpin yang dapat mengembangkan buah-buah kepemimpinannya akan dapat dipastikan memiliki banyak pengikut. Beberapa buah-buah kepemimpinan itu yaitu cinta kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (bdk. Paulus; Galatia 5:22-23).

Point ketujuh ini sanggat penting bagi saya. Saya sungguh menyadari bahwa menjadi pemimpin berarti harus hidup sesuai kehendak Tuhan saya. Berdoa, bertindak, berefleksi, menghayati iman dan melaksanakan kewajiban keagamaan, dan dengan berserah selalu terhadap kehendak Yesus merupakan yang harus saya laksanakan secara berkesinambungan.

Saya harus melaksanakan nomor ketujuh ini demi kemuliaan Tuhan dan demi kepentingan orang banyak. Apabila saya mengabaikan salah satunya, maka dampaknya juga terhadap dengan cara kepemipinan saya. Maka, saya mengatakan dengan tegas, bahwa “seseorang pemimpin biasa menjadi luar biasa bukan karena hasil upayanya sendiri, melainkan karena Pemimpin Sejati yang berkarya melalui seorang pemimpin biasa itu.”



Saya menganjurkan, bahwa menjadi seorang pemimpin harus berani keluar dari zona nyamannya. Zona aman yang menjadikan malas; menjadi tidak mau belajar/berusaha, dan zona aman yang membuat lupa untuk bersyukur kepada Sang Pemimpin Sejati.


Akhirnya, suatu keputusan berada pada diri Anda. Indikator keberhasilannya ada pada diri Anda untuk menjadi sosok pemimpin ideal dan panutan bagi orang lain. Menjadi pemimpin tidak sekedar jadi impian instan. Pemimpin yang bijaksana tentu menerima konsekuensi dari pilihan impiannya itu. Dengan demikian, pemimpin yang bijaksana, harus membuktikan diri bahwa keputusan pilihannya adalah baik dan benar.


Pilihlah dan siaplah berproses bersama tokoh pemimpin Sejati: Yesus Kristus. Berusahalah untuk menjadi pemimpin yang seia-sekata antara ucapan dan perilaku.


Penutup: Actio

Jadi, Para Katolikers, menjadi pemimpin harus bersinergi pada sosok tokoh yang Sejati, berkarisma dan memiliki pengaruh besar dalam hidup seseorang. Yang saya tawarkan adalah belajarlah dan berproseslah bersama Pemimpin Sejati, Yesus Kristus, Sang Almasih. Jadilah utusan dan alat karyaNya.


Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyajian tulisan ini. Saya mengakui bila terjadi keterangan data yang keliru maupun isi penulisan ini yang tidak berkenan, maka semua ini merupakan kelalaian saya sendiri sekaligus tanggungjawab saya.


”Segala sesuatu dalam penulisan ini tidak akan pernah saya hak-patenkan; karena saya menemukan apa yang sudah ditentukan.” Maka, saya hanya memberikan apa yang layak saya bagaikan. Dan, pada akhirnya, semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dikembangkan supaya menyemarakkan sidang pembaca sekalian.


Akhir kata, buah-buah praksis ini BUKAN ajaran resmi Gereja, MELAINKAN sharing penghayatan iman saya. Tulisan saya ini telah saya jadikan sebagai suplemen bagi Anda: yang bisa menerima maupun menolaknya.


Regards. Melki Pangaribuan. IMANUEL.


Tulisan ini saya persembahkan juga untuk Tante Agustien Roselina (Elvira Crommelin) yang telah kembali ke istana Yesus Kristus, Allah-Bapa di Sorga, 14 April 2010.


Daftar Pustaka

D’Souza, Anthony. Dr.,”Ennnoble, Enable, Empower Kepemimpinan Yesus Sang Almasih.” Terjemahan: Lilis Setyayanti, Jakarta: PT Gramedia, 2009.

Dua, Mikahel, editor, dkk.ATMA JAYA: Universitas untuk Umat dan Bangsa. Menulusuri jejak keterlibatan Frans Seda.” Jakarta: Unika Atma Jaya, 2006.

Dua, Mikahel, editor, dkk.”Politik Katolik Politik Kebaikan Bersama. Sejarah dan Refleksi tentang Keterlibatan Orang-orang Katolik dalam Politik Indonesia.” Jakarta: Obor, 2008.

Harefa, Andrias.Mengasah Indra Pemimpin. Jakarta: Gradien, 2003.

Pangaribuan, Melki,Kumpulan Homili dan Pidato dalam buku-buku Catatan Penulis, 2009-2010.”

Http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Internasional_untuk_Standardisasi.

”ISO” Diakses pada 17 April 2010, jam 12.03 wib.

Http://melkipangaribuan.blogspot.com/2010/03/semangat-katolikers.html.

“Melki Pangaribuan: Semangat Katolikers.” Di akses pada 14 April 2010, pukul 23.18 wib.

Http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=3573. “Frans Magniz Suseno: Mahasiswa Harus Tetap Kritis.” Di akses pada 14 April 2010, pukul 13.50 wib.

Katekismus Gereja Katolik (KHK), Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1995.

Lembaga Bilbika. Alkitab Deuterokanonika, 2007.

Majalah Hidup,In Memoriam Frans Seda.” Lht. HIDUP - Mingguan Umat Beriman. Vol. Tahun ke-64 / No. 03, edisi 17 Januari 2010. hlm. 6.

Marianti, Francesco.“Hard Skill & Sofft Skill dalam Character Buliding.” Majalah Basis No.07 Tahun ke-56, Juli Agustus 2007. hlm 31.

Suryabrata, Sumadi. Drs., B.A,.M.A.,Ed.S,.Ph.D. “Psikologi Pendidikan.” Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.

Tim Bahasa Pustaka Dua, (KLBI) Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 1992.

Tjahaja, Liria.“Peran Katekese Umat di Tengah Tumbuh dan Berkembangannya Komunitas Basis Kategorial di Keuskupan Agung Jakarta.” Lht. Atma Jaya nan JAYA: Majalah Ilmiah Unika Atma Jaya. Vol. Tahun XVI / No. 2, Agustus 2002, hlm. 77.


Kamus Indonesia