Kalender Liturgi

Kamis, 22 Desember 2011

Kinnaman: Mengapa Banyak Kaum Muda (Barat) Jarang Aktif ke Gereja?


Why many young people stop being active Church-goers

Semakin nyata bahwa banyak kaum muda terutama di barat sudah tidak lagi aktif ke Gereja. Sebuah buku hasil riset dari Barna Group mengungkapkan mengapa banyak kaum muda “terjatuh” saat memasuki kedewasaan.




Pada awal pembukaan dari buku tersebut, digarisbawahi tiga (3) realita yang harus dipahami seputar dunia kaum muda:
1. Gereja secara aktif memang memiliki banyak kegiatan bersama kaum muda, namun ternyata banyak kaum muda yang justru tidak bertumbuh kedewasaan imannya dalam menjadi pengikut Kristus yang sejati.
2. Ada banyak alasan mengapa orang-orang jatuh dalam dosa dan keputusasaan, oleh sebab itu sangatlah penting untuk tidak menghakimi seluruh generasi.
3. Gereja tidak sigap dan tepat dalam mempersiapkan generasi berikutnya untuk menjadi pengikut Kristus dalam konteks peradaban budaya yang berkembang sangat cepat.

Masalahnya, Kinnaman menjelaskan, adalah bukan pada bahwa kaum muda kurang aktif ikut kegiatan di Gereja. Fakta mengungkapkan bahwa dari 5 anak muda Amerika, 4 di antaranya menghabiskan masa kecil dan remaja mereka di paroki mereka. Yang terjadi selanjutnya adalah bahwa aktivitas itu menurun ketika mereka berusia 20-an tahun. Masalah terbesarnya adalah bahwa dunia mereka mulai terputus dari Gereja. Bahkan dikatakan oleh Kinnaman, perjuangan mereka untuk setia aktif mengikuti kegiatan di Paroki lebih besar dari pada perjuangan untuk setia menjadi pengikut Kristus.

Faktor Penting yang mempengaruhi kaum muda saat ini adalah situasi peradaban di mana mereka tinggal. Secara khusus kaum muda, mereka menghadapi situasi perubahan jaman yang sangat cepat. Selama kurang lebih 10 tahun terakhir terdapat banyak sekali perubahan dalam media massa, teknologi, seksualitas dan ekonomi. Hal ini semakin menambah kompleksitas dan ketidakpastian dalam masyarakat. Mengenai perubahan jaman yang sangat cepat ini, Kinnaman menjelaskannya dalam tiga konsep yaitu, Akses, Keterasingan dan Otoritas.

Mengenai konsep pertama yaitu, Akses, ia menjelaskan bahwa dalam perkembangan dunia digital saat ini telah terjadi revolusi dalam hal berhubungan dan berkomunikasi, bekerja serta berpikir. Teknologi telah merubah semuanya. Jelas ada sisi positifnya yaitu seperti Internet dan perangkat digital lainnya, semuanya itu semakin memudahkan dalam penyebaran pesan iman dan moral Kristianitas. Namun, hal itu juga berarti segala perangkat tersebut juga membuat kaum muda semakin mudah mengetahui budaya-budaya lain yang justru dapat mengguncang keyakinan mereka. Hal lain lagi adalah berkurangnya pemahaman secara logis dan lurus.

Konsep yang kedua, yaitu Keterasingan, Kinnaman menjelaskan bahwa ada banyak kaum remaja dan kaum muda yang beranjak dewasa yang merasa terasing dan tersisihkan dari keluarga, komunitas dan institusi mereka. Tingginya tingkat perceraian dan kehamilan di luar pernikahan menunjukkan banyak dari mereka yang bertumbuh di luar struktur keluarga tradisional. “Banyak Paroki yang tidak mempunyai solusi pastoral yang secara efektif mendampingi kaum muda menjalani masa transisi menuju ke kedewasaan,” ungkap Kinnaman.

Ditambah lagi, bahwa kaum muda saat ini sangat skeptic terhadap institusi yang dahulu telah membentuk masyarakat. Jaringan akar rumput dan kerjasama nyata sesungguhnya lebih diutamakan dari pada institusi hierarkis. Skeptisisme itu kemudian berkembang menjadi ketidakpercayaan atas adanya Otoritas, yang adalah konsep ketiga dari Kinnaman yang telah disebut di atas. Kecenderungan atas pluralisme dan bahkan keyakinan atas ide-ide yang bertentangan lebih diutamakan dari pada Kitab Suci dan Norma Moral.

Sebenarnya “Budaya Mempertanyakan” dapat membawa orang menuju kepada kebenaran dan ketegangan antara iman dan budaya juga membawa pemahaman positif, namun hal itu kini membutuhkan bentuk baru pendekatan Gereja. Kinnaman mengakui bahwa ada beberapa alasan mengapa kaum muda meninggalkan Gereja. Beberapa kaum muda merasa frustrasi dan beranggapan bahwa Gereja mengekang kreativitas dan ekspresi pribadi. Yang lain lagi merasa bosan, dangkal dan hampa dengan pengajaran dan khotbah yang ada. Kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak disertai juga kemajuan pemikiran teologis iman pun turut andil, dan sebagainya.

Kinnaman menemukan fakta bahwa Gereja telah gagal dalam mendidik secara mendalam dan progresif para generasi muda. Pada akhir bukunya Kinnaman merekomendasikan sebuah solusi atas hal tersebut yaitu, perlu segera diadakan perubahan cara berpikir dan bertindak dari para generasi tua Gereja berhadapan dengan generasi muda. Para generasi tua hendaknya jangan berada dalam posisi yang menghakimi generasi muda, melainkan merangkul dan memahami. Selain itu Kinnaman, juga mendesak agar segera ditemukan konsep teologis yang baru terkait dengan konsep Panggilan yang dapat memancing kaum muda untuk lebih dalam bertanya atas relasinya dengan Allah.

from Keuskupan Agung Jakarta [ http://www.kaj.or.id ]

Perbedaan Teologi Katolik dan Teologi Protestan

exported from Keuskupan Agung Jakarta [ http://www.kaj.or.id ]




Kalau membicarakan tentang perbedaan antara teologi Katolik dan teologi protestan, maka sebenarnya perlu didefinisikan Protestan yang mana. Oleh karena itu, jawaban ini hanya dapat memberikan gambaran umum dan memberikan prinsip-prinsip umum. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada saudara/i dari umat Protestan, saya akan mencoba memaparkan beberapa perbedaan yang memang nyata.  Perbedaan antara teologi Katolik dan teologi Protestan secara umum, kalau mau disarikan adalah: (1) Konsep pilar kebenaran, (2) Konsep otoritas, (3) Konsep ekklesiologi, (4) sakramen dan liturgi, (5) Konsep keselamatan, (6) Konsep mediasi.

1. Tiga pilar (Kitab Suci, Tradisi Suci, Magisterium Gereja) vs Sola Scriptura

Gereja Katolik mempercayai tiga pilar kebenaran: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja, sedangkan mereka mempercayai hanya Kitab Suci sebagai satu-satunya sumber kebenaran (sola scriptura). Gereja Katolik tidak menolak bahwa Kitab Suci adalah pilar kebenaran, namun Gereja Katolik menolak bahwa satu-satunya pilar kebenaran hanyalah Kitab Suci (Sola Scriptura). Penolakan ini disebabkan karena: (a) Kitab Suci sendiri tidak pernah mengatakan demikian bahkan menekankan pentingnya Magisterium Gereja dan sumber tertulis maupun lisan, (b) Gereja lahir terlebih dahulu sebelum Kitab Suci, (c) Gereja dengan inspirasi Roh Kudus yang menentukan buku-buku mana yang masuk dalam Kitab Suci, (d) Sola Scriptura tanpa ada otoritas yang menentukan interpretasi yang benar membawa perpecahan. Dengan demikian, mempercayai tiga pilar ini sebetulnya lebih alkitabiah dibandingkan mempercayai Sola Scriptura.

2. Konsep tentang otoritas

Gereja Katolik mempercayai bahwa Kristus memberikan otoritas kepada Rasul Petrus dan penerusnya, yaitu para Paus (lih. Mat 16:16-19) serta para rasul yang lain – yang diteruskan oleh para uskup (lih. Yoh 20:21-23). Mereka inilah yang disebut dengan Magisterium Gereja. Dan fungsi pengajaran ini ditegaskan dalam Luk 10:16 “ Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.” Karena Kristus sendiri yang memberikan otoritas kepada para Paus dan para uskup, maka umat Katolik dengan kerendahan hati mengikuti apa yang diperintahkan Kristus dan memberikan diri untuk mentaati pengajaran yang diberikan oleh Magisterium Gereja – yang bersumber pada Kitab Suci dan Tradisi Suci. Sebaliknya, umat dari gereja non-Katolik menganggap bahwa semua umat beriman mempunyai otoritas dan bertanggungjawab secara langsung kepada Kristus dan tidak perlu mentaati pengajaran dari siapapun – sebagai akibat dari point 1, yaitu Sola Scriptura. Dengan otoritas ini, maka Gereja Katolik dapat melewati sejarah dengan tetap mengajarkan pengajaran iman yang sama dari satu generasi ke generasi yan lain.

3. Konsep ekklesiologi

Satu hal menyolok yang memang berbeda antara Gereja Katolik dan gereja-gereja non-Katolik adalah dalam mengerti konsep Gereja atau ekklesiologi. Bagi Gereja Katolik, Kristus mendirikan satu Gereja, yaitu Gereja Katolik (lih. Mat 16:16-19). Gereja Katolik inilah yang menjadi Tubuh Mistik Kristus (Ef 1:23; Ef 5), yang mempunyai empat tanda – satu, kudus, katolik dan apostolik –, serta menjadi sakramen keselamatan bagi seluruh bangsa. Gereja juga harus dimengerti sebagai cara (means) dan tujuan (end) – silakan melihat artikel ini – . Dengan kata lain, Gereja adalah pemberian Allah, tanda kasih Allah kepada umat Allah yang harus diterima, dijaga dan sekaligus menjadi tujuan, karena didirikan oleh Kristus, dijiwai oleh Roh Kudus dan mengantar umat manusia kepada keselamatan. Sedangkan bagi gereja-gereja non-Katolik, gereja dipandang hanya sebagai persatuan umat beriman yang percaya kepada Kristus, walaupun antar gereja mempunyai pengajaran yang berbeda-beda.


4. Sakramen dan liturgi

Gereja Katolik mengenal adanya tujuh sakramen: Sakramen Permandian, Sakramen Ekaristi, Sakramen Penguatan, Sakramen Tobat, Sakramen Perminyakan, Sakramen Imamat, Sakramen Perkawinan. Tujuh Sakramen ini diinstitusikan sendiri oleh Kristus sebagai cara biasa untuk menyalurkan rahmat-Nya kepada umat Allah.

Sedangkan Kristen non-Katolik hanya mengenal Sakramen Baptis dan Sakramen Ekaristi (kadang termasuk juga Sakramen Tobat) – bagi Lutheran. Bahkan dua sakramen inipun mempunyai arti berbeda dengan apa yang dipercayai oleh Gereja Katolik. Mereka tidak mempercayai bahwa baptisan adalah cara yang dipakai oleh Kristus sebagai cara untuk menyelamatkan manusia. Dan Perjamuan Suci juga hanya dianggap sebagai simbol, sedangkan Gereja Katolik mempercayai bahwa Kristus hadir secara nyata (Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan) dalam rupa roti dan anggur.

5. Konsep keselamatan

Bagi umat Katolik keselamatan adalah merupakan anugerah Allah dan hal ini juga dipercayai oleh gereja-gereja non-Katolik. Namun, selain rahmat Allah, Kitab Suci juga mencatat hal-hal lain, seperti: pentingnya iman untuk keselamatan, baptisan yang menjadi syarat keselamatan, orang akan diadili menurut perbuatannya. Dengan demikian, Gereja Katolik tidak mempercayai hanya iman (sola fide) dalam keselamatan seperti yang dipercayai oleh gereja-gereja non-Katolik, karena Kitab Suci memang tidak pernah mengatakan bahwa hanya karena iman saja, kita diselamatkan. Bahwa iman menjadi syarat keselamatan (Ibr 11:6) adalah benar, namun bukan iman saja.


6. Maria dan para kudus

Perbedaan lain yang menonjol adalah konsep mediasi. Gereja Katolik mempercayai bahwa semua orang dipanggil untuk menjadi rekan sekerja Kristus. (lih. 1Kor 3:9) Kalau kita semua dipanggil menjadi teman sekerja Kristus, apalagi Maria, Bunda Allah dan para kudus. Bunda Maria dan para kudus adalah mereka yang sungguh telah bekerjasa dengan rahmat Allah, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam karya keselamatan Allah. Gereja Katolik melihat bahwa kematian tidaklah memisahkan orang-orang yang telah dibenarkan oleh Allah dengan umat Allah di dunia ini. (lih. Rom 8:38-39). Sedangkan gereja-gereja non-Katolik memandang bahwa orang-orang yang telah meninggal sama sekali terpisah dari umat Allah yang masih mengembara di dunia ini.

Demikian, apa yang dapat saya sampaikan secara prinsip tentang perbedaan teologis antara Gereja Katolik dan gereja-gereja non-Katolik. Kalau mau disarikan, maka ada tiga hal perbedaan: otoritas, pilar kebenaran dan mediasi. Semoga jawaban ini dapat menjawab pertanyaan anda.

Sejarah Singkat KAJ


Keuskupan Agung Jakarta adalah wilayah formal Gereja Katolik Roma yang tertua di Indonesia, dimulai dengan status Prefektur Apostolik tahun 1807. Secara resmi prefektur apostolik ditingkatkan menjadi Vikariat ApostolikBatavia pada tanggal 3 April1842 yang meliputi seluruh wilayahHindia Belanda dengan Vikaris Apostolik pertamanya Mgr. I. Groff. Pada periode 1855 hingga 1948 wilayah Vikariat Apostolik Batavia semakin menyempit dengan didirikannya berbagai vikariat apostolik yang baru di luar Jawa dan di pulau Jawa sendiri. Seiring kemerdekaan Indonesia, pada7 Februari1950nama Vikariat Apostolik Batavia diubah menjadi Vikariat Apostolik Djakarta. Status Vikariat Apostolik kemudian ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Djakarta pada tanggal 3 Januari1961 dengan 2 keuskupan sufragan yaitu: Keuskupan Bandung dan Keuskupan Bogor. Sesuai dengan perubahan ejaan bahasa, nama Keuskupan Agung Djakarta diubah menjadi Keuskupan Agung Jakarta pada tanggal 22 Agustus1973.


Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta disimpan sebuah batu besar yang awalnya ditanam di pantai Sunda Kelapa. Batu berpahatkan tanda salib bertahunkan 1522 ini adalah peringatan hubungan antara pelayaran Portugis dan kerajaan Pajajaran.Ini adalah tanda awal hadirnya Katolik di Jakarta kini. 

Kemudian saat VOC berkuasa, 1619 hingga 1792, semua kegiatan Katolik dilarang, dan para imam Katolik juga dilarang untuk berkarya di wilayah kekuasaan VOC di Batavia, bahkan seorang Jesuit Egidius d'Abreu, S.J. dibunuh pada tahun 1624. Kegiatan Katolik hanya diijinkan di luar tembokBatavia bagi orang-orang keturunan Portugis dengan didirikannya Gereja Portugis di luar kota pada tahun 1696, kini menjadi Gereja Sion di Jl. P. Jayakarta. Keturunan Portugis ini juga diberi lahan bertani di daerah yang kini disebut daerah Tugu.Pada abad ke-18 ini VOC membebaskan imam-imam Katolik untuk singgah di Batavia untuk melayani umat-umat, baik yang keturunan Portugis maupun juga pegawai VOC.Pada masa Daendelsbarulah umat Katolik diijinkan untuk merayakan misa secara terbuka, pada tahun 1808.Daendels juga memberikan Gereja Katolik resmi pertama di Batavia pada tahun 1810 bertempat di Gang Kenanga Utara, daerah Senen sekarang.Gereja perdana ini sudah dibongkar pada tahun 1989.Pada tahun 1830 Gubernur Jendral Du Bus de Ghisignies menghibahkan tempat kediaman komandan tentara dan wakil gubernur jendral kepada Prefektur ApostolikBatavia. Di lahan inilah kini berdiri Gereja Katedral Jakarta. 

Pada tahun 1856suster-susterUrsulin mendirikan biara susteran pertama 'Groot Kloster' di Batavia di Jl Juanda dilanjutkan biara keduanya 'Klein Klooster' di Jl Pos pada tahun 1859 diikuti biara-biara Ursulin lain di daerah Jatinegara dan Kramat. Suster-suster dari Carolus Borromeusmembuka Rumah Sakit Sint Carolus pada tahun 1919. Saat-saat awal tersebut imam-imam Jesuitlah yang menyelenggarakan karya pastoral di wilayah Batavia baru kemudian dibantu oleh imam-imam Fransiskan pada tahun 1929 dan imam-imam dari Misionaris Hati Kudus (MSC]] tahun 1932. Dalam bidang pendidikan, imam-imam Yesuit mendirikan Perkumpulan Strada tahun 1924.Sekolah pertamanya dibuka tahun itu juga di daerah Gunung Sahari.Pada tahun 1927Perkumpulan Strada mendirikan sekolah menengah berasrama di Menteng yang kemudian menjadi Kolese Kanisius pada tahun 1932. 

Pada masa pendudukan Jepang, Vikaris Apostolik Batavia saat itu Mgr. P. Willekens S.J. mengusahakan agar rumah sakit dan sekolah-sekolah Katolik untuk tetap beroperasi dan tetap melayani umat Katolik di masa sulit tersebut. 

Setelah Indonesia merdeka, Gereja Katolik mulai berkembang kembali.Jumlah umat semakin bertambah, demikian juga dengan jumlahparoki.Paroki Mangga Besar didirikan tahun 1946, paroki di Jl. Malang tahun 1948, paroki Tangerang tahun 1948. Bila pada 1950 baru ada 12 paroki, pada tahun 1960 sudah terdapat 16 paroki, pada tahun 1970 terdapat 23 paroki, pada tahun 1980 terdapat 34 paroki, pada tahun 1988terdapat 39 paroki, pada tahun 1990 terdapat 40 paroki, dan pada 2002 sudah terdapat 53 paroki dengan 411.036 orang umat yang dilayani oleh 277 imam. Pada tahun 2007 diperingati 200 tahun Gereja Katolik di Jakarta.Saat itu sudah terdapat 60 paroki.Puncak Perayaan Agung 200 tahun Gereja Katolik di Jakarta diselenggarakan di Istora - Senayan pada tgl.26 Mei 2007, yang dihadiri pula oleh sebagian besar para uskup di Indonesia.  




Karya Roh Kudus terus bertumbuh dalam wujud pertambahan jumlah umat hingga tahun 2011 telah mencapai lebih dari 466.638 jiwa dan pendirian paroki-paroki: berawal dari Katedral merambah ke seantero wilayah Ibu Kota Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Secara teritorial Keuskupan Agung Jakarta terbagi ke dalam 8 dekenat  dengan  61 paroki dan stasi-stasi yang siap bertumbuh menjadi paroki-paroki baru. 

Gerak Roh Kudus pun mewujudkan kekhasan Gereja metropolitan yang dinamis. Kelompok-kelompok Kategorial bertumbuh subur. Di tengah kesibukan, mereka berhimpun membentuk komunitas  atas dasar kesamaan/ kedekatan perhatian, minat, bidang panggilan, atau profesi tertentu di antara anggota-anggotanya. Pastoral kategorial dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar: (1) Pemikat (Persaudaraan Mitra Kategorial, (2) Karismatik dan (3) PMKAJ (Pastoral Mahasiswa Keuskupan Agung Jakarta). 

Sebagai Gereja, Keuskupan Agung Jakarta telah melintasi waktu lebih dari 200 tahun. Berhimpun dalam kesatuan umat Allah:

1. Mulai dari “umat bawah tanah” di abad ke-17 dan 18

2. Melalui masa-masa tiga Prefektur di kala Jakarta masih bernama Batavia

3. Melintasi zaman Lima Vikaris Apostolik.

4. Hingga berbuah menjadi Gereja particular Keuskupan Agung Jakarta dengan Uskup Agung pertama Mgr.  A. Djajasepoetra.

5. Di tengah percepatan pertambahan jumlah umat, di era penggembalaan Mgr. Leo Soekoto, pada tahun 1990 Gereja Jakarta menyelenggarakan Sinode pertama. Visi masa depan pun ditetapkan untuk menjadi Gereja yang mandiri, missioner, berdaya pikat dan daya tahan.

6. Iman mengakar dan bertumbuh di dalam perjalanan sejarah Gereja Keuskupan Agung Jakarta. Tak lekang dalam pergolakan negara dan konflik politisi.  Pada dasawarsa yang penuh pergolakan dan perubahan, Keuskupan Agung Jakarta di gembalakan oleh Mgr. Julius Kardinal Darmaatmadja. Di tengah sulitnya mendirikan gedung gereja, pada tgl. 6 Oktober 1996 tonggak sejarah Gereja Jakarta dikenang kembali dengan pemberkatan Gereja Santo Servatius, Paroki Kampung Sawah yang sebagian besar umatnya adalah warga Betawi. Pemberkatan yang menandai dan merayakan seratus tahun berdirinya umat pribumi pertama di Jakarta. Dan pada tahun 2006 dirayakanlah 200th Gereja Keuskupan Agung Jakarta

7. Dengan motto: Serviens Domino cum omni Humilitate, pada tanggal 28 Juni 2010, Mgr. Ignatius Suharyo resmi menjadi Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta. "Aku melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati" (Kis. 20:19). Menuntun dan memberi kekuatan dalam pelayanan penggembalaan.

exported from Keuskupan Agung Jakarta [ http://www.kaj.or.id ]

Arah Dasar Pastoral 2011-2015 KAJ

Gereja Keuskupan Agung Jakarta bercita-cita menjadi Umat Allah yang, atas dorongan dan tuntunan Roh Kudus, semakin memperdalam imannya akan Yesus Kristus, membangun persaudaraan sejati dan terlibat dalam pelayanan kasih di tengah masyarakat.



Dilandasi oleh spiritualitas Gembala Baik dan pelayanan yang murah hati, ditopang oleh tata-penggembalaan partisipatif dan transformatif, seluruh umat Keuskupan Agung Jakarta berkehendak untuk menyelenggarakan pelbagai kegiatan dalam rangka menghayati dan meneruskan nilai-nilai Injili, ajaran serta Tradisi Gereja Katolik dan melibatkan diri dalam berbagai permasalahan sosial, terutama kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup serta intoleransi dalam hidup bersama.

Rencana kegiatan dan keterlibatan itu dilaksanakan dengan mengembangkan tata layanan pastoral berbasis data; memberdayakan komunitas teritorial lingkungan dan komunitas kategorial menjadi komunitas beriman yang bertumbuh dalam persaudaraan dan berbuah dalam pelayanan kasih; menggerakkan karya-karya pastoral yang kontekstual; menggiatkan kerasulan awam; serta menjalankan kaderisasi dan pendampingan berkelanjutan bagi para pelayan pastoral.

Semoga Bunda Maria, Bunda Gereja, meneguhkan iman, harapan dan kasih kita, agar kita semua, bersama Para Kudus pelindung kita, dengan tulus dan gembira berjalan bersama mewujudkan cita-cita kita.

***

PENJELASAN  ARAH DASAR PASTORAL TAHUN 2011-2015 KAJ

PENJELASAN UMUM

Apa yang dimaksud dengan Arah Dasar Pastoral?

Arah Dasar Pastoral KAJ adalah cita-cita yang dituju oleh Gereja Katolik di wilayah Jakarta, Tangerang dan Bekasi yang ingin bertumbuh dalam kesetiaan kepada Tuhan Yesus Kristus dan kepada bangsa kita. Dengan adanya Arah Dasar itu, kita semua didorong untuk merefleksikan situasi, kondisi dan tantangan khas kita bersama. Atas dasar hasil refleksi itu kita merancang perkembangan kita dari tahun ke tahun menuju keadaan yang dicita-citakan. Tentu saja, semua gerak bersama ini kita lakukan dalam keyakinan teguh bahwa Roh Kuduslah yang mendorong dan menuntun Gereja.

 Bagaimana kita menggunakan/memanfaatkan Arah Dasar Pastoral ini?

Pertama-tama, kita berusaha menangkap inspirasi dari Arah Dasar Pastoral itu, terutama yang mengandung nilai-nilai yang terkait dengan pelayanan kita. Kita mendapatkan “kesan dan pesan” ketika kita menemukan bahwa pelayanan kita diteguhkan dan diarahkan oleh Arah Dasar itu. Ambil contoh, paroki yang sedang menjalankan program beasiswa bagi anak miskin, diteguhkan dengan ungkapan “keterlibatan pada masalah kemiskinan”. Komunitas yang memperhatikan kerasulan keluarga, diarahkan untuk mengusahakan keluarga sebagai paguyuban yang “menghayati dan meneruskan iman”. Maka dengan bantuan Arah Dasar Pastoral, kita bisa merancang tahap-tahap perkembangan, agar segala pelayanan kita berjalan menuju cita-cita yang dirumuskan dalam Arah Dasar Pastoral itu. Kita memantau, mengorganisasikan dan mengevaluasi pelaksanaan­nya. Dengan demikian, Arah Dasar Pastoral ini diharapkan menjadi inspirasi dasar bagi dinamika seluruh Keuskupan menuju keadaan yang dicita-citakan, dari tahun ke tahun, hingga saatnya kita merumuskan Arah Dasar Pastoral yang baru lagi.

  

***

PENJELASAN ISI

Mengapa kita disebut “Umat Allah”?

Ungkapan “Umat Allah” dipilih karena mengandung arti: umat yang mempunyai relasi dengan Allah, yang percaya padaNya, yang berdoa padanya, yang meluhurkanNya. Umat beragama dan berkeyakinan lain pun memiliki pemahaman yang senada, bahwa mereka mempunyai relasi dengan Allah. Yang membuat kita khas adalah bahwa kita beriman pada Allah yang menjelma pada diri Yesus Kristus dan terus-menerus membimbing kita dalam Roh Kudus. Maka ungkapan “Umat Allah” menyiratkan niat inklusif kita, semangat dialog dan kesadaran bahwa kita adalah sesama di hadapan Allah dan sesama sebangsa dan senegara. Ungkapan “Umat Allah”, yang berziarah sepanjang zaman dalam dorongan dan tuntunan Roh Kudus, bersama umat beragama lain, dinyatakan dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium Bab II, terutama artikel 14-17).




 Mengapa ketiga pilar “iman – persaudaraan – pelayanan” menjadi ciri kita sebagai Umat Allah?

“Iman – persaudaraan – pelayanan” adalah tiga kata yang ingin menampilkan iman kita secara utuh. Kita meyakini “bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.” (Yak 2:22, TB). Yang kita maksudkan sebagai perbuatan-perbuatan itu adalah persaudaraan sejati dan pelayanan kasih, yang menjadi ungkapan iman. Dengan demikian iman itu tidak hanya menjadi urusan personal dan internal umat, tetapi terwujud dalam perbuatan-perbuatan baik. Dengan demikian, iman memberi makna (“signifikansi” dan “relevansi”) pada keberadaan umat di tengah-tengah masyarakat dan bangsa.

Arah Dasar kita ini dilandasi spiritualitas Gembala Baik dan pelayanan yang murah hati? Apa yang dimaksudkan dengan spiritualitas Gembala Baik?

Kita bicara pertama-tama tentang spiritualitas Gembala Baik. Dibimbing oleh Roh Kudus (itulah sebabnya disebut spiritualitas), kita bertindak seturut teladan Yesus, Sang Gembala Baik. Gembala baik mengenal dan dikenal domba-dombaNya (Yoh 1;14). Gembala Baik peduli pada dombanya yang kesusahan dan tersesat (Bdk. Yeh 34:16). Semangat mengenali dan mempedulikan kebutuhan umat amat dibutuhkan, karena pelayanan pastoral perlu berdasarkan situasi dan kondisi konkret umat. Keuskupan kita terletak di kota besar dengan segala perjuangan hidup umat yang perlu didalami, agar pelayanan Gereja cocok dengan kebutuhan umat. Kecuali itu, spiritualitas Gembala Baik diperlukan, karena dalam kenyataan banyak umat hidup dalam banyak tawaran dan kemungkinan yang bisa “menghilangkan” iman. Entah karena mereka amat sibuk bekerja dan tidak bisa masuk dalam dinamika paroki, entah karena mereka tidak menemukan relevansi iman, entah karena mereka cenderung menjadi anonim, mereka semua senantiasa perlu disapa, ditemukan dan tetap dijadikan bagian dari umat beriman.




Lalu, apa yang dimaksudkan dengan pelayanan yang murah hati?

Pelayanan menjadi murah hati, karena bersumber pada Allah.  “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati." (Luk 6:36, TB). Padanannya adalah pelayanan yang rendah hati, yang dilakukan dalam kesadaran akan Allah Mahatinggi dan diarahkan pada kemuliaanNya. Inilah yang membuat Santo Paulus bisa berkata: “Dengan segala rendah hati aku melayani Tuhan.” (Kis 20:19, TB). Melayani dengan murah hati dan rendah hati berarti melayani dengan ramah dan gembira, memikirkan bahwa yang diutamakan adalah keselamatan orang yang dilayani, menyadari bahwa segala peraturan dimaksudkan untuk membantu orang untuk menemukan keselamatan, membuat yang dilayani disapa sebagai sesama. Semuanya ini hanya mungkin apabila kita semua menyadari bahwa Roh Kuduslah yang mendorong kita dan memberi kekuatan pada kita. Pelayanan yang murah hati membuat umat merasa kerasan dalam keluarga Gereja.

Mengapa penggembalaan Gereja membutuhkan tatanan/pengelolaan?

Keuskupan kita terdiri dari 61 paroki dan amat banyak komunitas kategorial, baik lintas paroki maupun yang terbatas di daerah tertentu saja. Kita mempunyai pelbagai komisi/seksi dan komunitas kategorial yang memperhatikan bidang dan sasaran pelayanan: katekese, liturgi, pendidikan, kesehatan, karya sosial, media massa, kaum muda, kerasulan awam, lansia. Ada banyak pelayan pastoral, baik klerus maupun awam. Ada aset-aset yang tidak sedikit nilainya. Nah, semuanya itu membutuhkan tata kelola yang baik dan bisa dipertanggungjawab­kan.

Gereja adalah paguyuban umat beriman kepada Kristus. Memakai istilah St. Paulus, Gereja adalah “tubuh Kristus” (1Kor 10:16; Ef, 4:12). Apa yang diajarkan dan diteladankan Yesus Kristus, mendapatkan wujud dalam hal-hal yang melembaga, seperti gedung gereja, liturgi, organisasi, tingkah laku. Kendati kita yakin, peziarahan Gereja sepanjang zaman ada dalam bimbingan Roh Kudus, tidak bisa diandaikan bahwa pelbagai perangkat pendukung hidup Gereja itu tertata baik dengan sendirinya. Diperlukan tata kelola, agar pelbagai perangkat itu menjalankan fungsinya untuk melayani Tuhan (agar setia padaNya) dan untuk melayani umat (agar ada di jalan keselamatan). Tata kelola dengan demikian boleh kita katakan sebagai tata layan, karena memang maksud dasarnya agar kita semua menjadi komunitas yang melayani.

Mengapa tata-penggembalaan Gereja diberi dua sifat: partisipatif dan transformatif?

Kalau Gereja dikatakan sebagai paguyuban umat beriman dan persekutuan dari macam-macam komunitas, maka perekatnya adalah sifat partisipatif itu. Gereja adalah kita semua, yang mempunyai tugas, tanggungjawab dan perutusan untuk saling berbagi. Itulah sebabnya paroki membutuhkan dewan, yang terdiri dari partisipasi wakil-wakil umat (ketua lingkungan, ketua seksi, ketua komunitas kategorial ...). Itulah sebabnya komunitas-komunitas kategorial membutuhkan kepengurusan.

Tentang sifat transformatif, kita memikirkan mengenai semangat  Gereja untuk terus-menerus memperbaharui diri (Ecclessia semper reformanda). Roh Kudus membimbing dan membaharui Gereja dari waktu ke waktu, agar peka dan terbuka pada tanda-tanda zaman, sambil tetap mempertahankan kesetiaan kepada Kristus. Maka kecuali bahwa Gereja menyumbangkan diri bagi peradaban dunia, Gereja pun siap untuk diubah oleh karena kenyataan yang digelutinya berubah. Pelbagai perkembangan diamati dengan kritis dan sepanjang meneguhkan iman akan Kristus, dijadikan bahan untuk memperbaharui diri. Sifat transformatif ini menunjukkan sifat terbuka Gereja pada perkembangan; rendah hati untuk selalu belajar dan mendengar; tidak reaktif namun kreatif dan cerdik menghadapi tantangan.




Mengapa kita perlu menghayati dan meneruskan nilai-nilai Injili, ajaran dan tradisi Gereja Katolik ?

Setiap kali merayakan Ekaristi hari Minggu, kita mengucapkan “Aku Percaya” (Credo). Mengapa demikian? Sebab, Gereja meyakini rumusan iman seperti yang dirumuskan itu sepanjang zaman. Di balik rumusan itu ada nilai-nilai Injili yang terus-menerus dihayati dan diteruskan dari waktu ke waktu dalam rupa tradisi. Keyakinan umat pada zaman tertentu diajarkan dan diteruskan pada umat pada zaman berikutnya. Tak terasa, Gereja sudah meneruskan keyakinan iman itu lebih selama dua puluh abad dan akan terus melanjutkannya.

Kita boleh bertanya, apakah nilai-nilai Injili, ajaran iman dan tradisi Gereja memang diteruskan saat ini? Kita bersyukur akan hal baik yang sudah kita lakukan. Namun, kita menghadapi banyak tantangan. Apakah keluarga di Jakarta masih menjadi tempat penerusan iman? Sejauh manakah anak-anak muda terbuka bagi pengajaran iman, sementara setiap saat mereka dibanjiri informasi dari televisi, internet dan perangkat komunikasi modern mereka? Semuanya ini adalah tantangan sekaligus kesempatan agar kita sungguh-sungguh mampu merumuskan cara dan bentuk baru yang cocok untuk pewartaan Injil.

 Mengapa kita perlu melibatkan diri dalam berbagai permasalahan sosial?

Yang mendasari adalah inkarnasi, peristiwa Allah yang menjadi manusia dalam diri Yesus. Melihat carut-marut dosa di dunia, Allah tidak tinggal diam di surga. Ia menjelma dalam Allah Putra mewujudkan kesetiakawanan dengan umat manusia di dunia. Gereja diutus untuk mengikuti Yesus, Sang “Jalan, Kebenaran dan Hidup” (Yoh 14:6). Kita tidak berada terpisah dari dunia, melainkan menjadikan segala sesuatu di yang terjadi dunia sebagai keprihatinan kita. Lewat keterli­batan dalam pelbagai permasalahan hidup bersama inilah, kita mena­paki jalan keselamatannya. “Kegembiraan dan Harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.” (Gaudium et Spes, art. 1).

Mengapa memilih isu kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup dan intoleransi dalam hidup bersama?

Pilihan tiga isu, yakni kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup dan intoleransi tidak muncul tiba-tiba. Dalam proses perumusan Arah Dasar, beberapa narasumber dan buku-buku acuan memberi rekomendasi untuk memprioritaskan perhatian pada tiga isu tadi. Kita bisa merasakannya dari dekat: banyak orang miskin di sekitar kita yang sulit memenuhi kebutuhan makan dan menyekolah­kan anak; banjir sering datang saat hujan lebat, sementara sungai kotor tidak cukup menampung curahan air; perbedaan agama dan suku beberapa kali memicu konflik. Kita tidak selalu siap mengatasi masalah yang pelik itu, namun kita tidak tinggal diam. Maka pada masa Aksi Puasa Pembangunan, kita mengambil suatu sikap dasar “Mari Berbagi”. Itulah sikap dasar kita, sehingga ketiga isu itu tidak menjadi masalah mereka, tetapi juga menjadi masalah dan keprihatinan kita. Dua habitus yang terus-menerus kita perjuangkan, terkait para pekerja rumahtangga dan buruh (yang kita sapa bukan sebagai penjual tenaga kerja, namun sebagai sesama) serta lingkungan hidup (terutama lewat isu “sampah”) adalah ungkapan bahwa kita mau sungguh terlibat pada isu tadi. Cara kerja inklusif, melibatkan komunitas agama lain, memberi kesaksian mengenai komunitas yang cinta persaudaraan.

Mengapa perlu tata pelayanan pastoral berbasis data?

Agar pelayanan pastoral terselenggara semakin baik dan bisa dipertanggung­jawabkan, dibutuhkan data. Data yang terkumpul pada gilirannya memberikan informasi yang dibutuhkan untuk merumuskan kebijakan. Pelayanan pastoral yang baik harus direncanakan berdasarkan data-data pastoral. Naluri, keprihatinan pribadi dan penerawangan sungguh tidak memadai untuk dijadikan dasar keputusan. Data-data pastoral mencakup kondisi umat secara umum, kebutuhan-kebutuhan pastoralnya (umat membutuhkan pelayanan apa saja dan bagaimana sebaiknya pelayanan itu dilaksanakan secara efektif), maupun data-data lingkungan di sekitar umat (kehidupan sosial masyarakat, tantangan-tantangan dan permasalahan yang dihadapi). Dengan mempertimbangkan data-data tersebut, program-program pastoral bisa direncanakan dengan tepat sehingga pelaksanaanya pun membawa dampak positif bagi perkembangan umat. Sebaliknya, tanpa didasari data-data yang bisa dipertanggungjawabkan, program pastoral cenderung direncanakan berdasarkan pertimbangan pribadi, minat/kesukaan, asumsi-asumsi pelayan pastoral, yang bisa tidak sesuai dengan kondisi umat yang hendak dilayani. Akibatnya, Gereja menawarkan banyak kegiatan tapi tidak menjawab permasalahan dasar umat secara tepat, bahkan bisa jadi tidak membawa perubahan semakin baik.

Mengapa perlu memberdayakan komunitas Lingkungan dan komunitas kategorial?

Kalau kita melihat Gereja sebagai paguyuban dari komunitas-komunitas, maka Lingkungan (teritorial) dan komunitas kategorial (yang berkumpul karena kategori atau fungsi yang sama) adalah yang pembentuknya. Gereja menjadi kuat karena pembentuknya yang berada di basis kehidupan sehari-hari ini juga kuat. Pemahaman ini dituangkan dalam Arah Dasar terdahulu dengan ungkapan “pemberdayaan umat basis”. Gereja paroki menjadi kuat karena warga-warganya yang tinggal berdekatan di Lingkungan meneguhkan iman mereka dalam pertemuan doa, penuh persaudaraan dan pelayanan antar mereka sendiri dan antar sesama warga se-RT dan se-RW. Saudara yang dekat adalah tetangga, kata peribahasa. Nah, komunitas yang hidup berdekatan dan berkumpul di Lingkungan ini selalu perlu diberdayakan, sehingga cita-cita umat basis (yang teguh imannya akan Kristus, yang memiliki persaudaraan sejati dan yang mewujudkan pelayanan kasih) bisa semakin tercapai. Spiritualitas Gembala Baik dan pelayanan yang murah hati pertama-tama perlu dihayati dalam komunitas-komunitas ini dengan kepekaan untuk memperhatikan peristiwa-peristiwa keluarga (kelahiran, perkawinan, kematian) yang bisa dipakai sebagai pintu masuk persaudaraan dan pelayanan.




Apa yang dimaksud dengan karya pastoral yang kontekstual?

Setiap hal yang dilakukan Gereja dalam rangka penggembalaan umat perlu mempertimbangkan konteks nyata kehidupan. Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan agar karya pastoral bersifat kontekstual. Yang pertama, adalah kesetiaan Gereja terhadap Kristus yang dihayati lewat ungkapan-ungkapan seperti ibadat, pengajaran dan penerimaan sakramen. Yang kedua adalah konteks kehidupan yang selalu berkembang dan berubah, yang sungguh perlu dijadikan konteks bagi yang pertama tadi. Gereja berada di tempat dan waktu tertentu dengan segala kekhasan dan permasalahannya. Kalau yang kedua ini sungguh-sungguh diperhatikan, maka yang pertama tadi, akan memberi relevansi dan signifikansi pada kehidupan nyata. Dibutuhkan kepekaan untuk mencermati “tanda-tanda zaman”, berdasarkan data, dengan assesment, dengan angket dan studi, agar karya-karya Gereja sungguh-sungguh makin melayani kebutuhan nyata umat dan masyarakat.

Mengapa kerasulan awam mendapat perhatian khusus?

Di KAJ, para imam, bruder dan suster berjumlah sekitar 1500, sementara jumlah umat sekitar 465 ribu. Dari perbandingan kasar ini bisa disimpulkan bahwa Gereja KAJ terdiri dari mayoritas kaum awam. Dengan demikian, keterlibatan Gereja dalam penanggulangan kemiskinan, pemeliharaan dan pembenahan lingkungan hidup, pelayanan kesehatan, peningkatan toleransi amat ditentukan oleh gerak para awam yang ingin merasul dalam setiap pekerjaan dan keterlibatan mereka. Kerasulan awam ini menjadi hal yang tidak boleh tidak niscaya dikembangkan sehingga mereka menyumbangkan kebaikan bagi Gereja dan masyarakat.

Apa yang dimaksud dengan kaderisasi dan pendampingan pelayan pastoral?

Kita menginginkan bahwa Gereja berlangsung sepanjang zaman. Namun dalam kenyataan, kita rasakan beberapa kesulitan dan tantangan. Menemukan pengurus Lingkungan dan pengurus komunitas tidak gampang. Mengajak orang muda untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan Gereja, bukan soal sederhana. Menyemangati orang Katolik agar tampil sebagai rasul dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik, bukan hal mudah. Maka kita bersyukur bahwa kendati tidak gampang, toh selalu ada orang yang merelakan diri. Oleh karena itu kaderisasi dan pendampingan diperlukan, demi kepentingan Gereja di masa depan, untuk tujuan-tujuan yang membuat Gereja makin siap menanggapi tantangan setiap zaman.

Dalam kenyataannya, pelayanan dan penggerakan ratusan ribu umat Katolik KAJ amat dipengaruhi oleh partisipasi, aktifitas dan motivasi dari para pelayan pastoral yang jumlahnya ribuan saja. Selama ini ditengarai bahwa di banyak tempat, para awam pelayan pastoral adalah ‘itu-itu saja’.  Pendampingan para pelayan pastoral amatlah penting dalam rangka tetap menjaga bara semangat dan ketahanan spiritualitas mereka. Kaderisasi jelas diperlukan, untuk menjaga kelangsungan dinamika Gereja KAJ dari tahun ke tahun.

from Keuskupan Agung Jakarta [ http://www.kaj.or.id ]

Gereja Mencari Jati Diri



http://www.kaj.or.id/wp-content/uploads/2011/11/Tepas-KAJ.jpg
Selama dua pekan, 1-4 Agustus dan 8-11 Agustus 2011, Uskup Agung Jakarta bersama ratusan imam menyelenggarakan Temu Pastoral (Tepas) dalam dua gelombang di Via Renata, Cimacan. Vikaris Jendral Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Pastor Yohanes Subagyo Pr, menekankan tujuan umum Tepas, yang sudah diadakan sejak 1994. Tujuan itu adalah agar para pastor di KAJ bisa belajar bersama tentang aneka topik pastoral aktual. Adapun topik yang diangkat adalah ”Membangun Kepemimpinan Pastoral Berdasarkan Arah Dasar KAJ 2011-2015”. Arah Dasar (Ardas) KAJ 2011-2015 ini dipromulgasikan oleh Mgr I. Suharyo pada Minggu Paskah, 24 April 2011.

Ardas ini diharapkan menjadi inspirasi dan aspirasi dasar bagi dinamika seluruh imam dan umat KAJ menuju keadaan yang dicita-citakan. Tiga tujuan pokok yang hendak dicapai dalam Temu Pastoral ini adalah memahami kepemimpinan pastoral, menentukan sasaran strategis, serta membangun budaya pastoral KAJ.

Kepemimpinan pastoral
Ardas KAJ sebagai sebuah teks adalah cita-cita yang dituju oleh Gereja Katolik sebagai ”umat Allah” di wilayah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, yang ingin bertumbuh dalam kesetiaan kepada Tuhan dan kepada bangsa. Ardas ini mengandung tiga pilar pokok yang diarah oleh KAJ, yakni berakar dalam ‘iman’, bertumbuh dalam ‘persaudaraan sejati’, berbuah dalam ‘karya pelayanan’.

”Iman-Persaudaraan-Pelayanan” adalah tiga kata yang ingin menampilkan wajah dan jatidiri Gereja KAJ secara utuh. Gereja meyakini bahwa, ”iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan, dan oleh perbuatan-perbuatan itu, iman menjadi sempurna” (Yak 2:22). Sedangkan ungkapan ”umat Allah” yang berziarah sepanjang zaman dalam dorongan dan tuntunan Roh Kudus bersama umat beragama lain dinyatakan dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium Bab II, art 14-17.

Berangkat dari sebuah kesadaran bahwa para pastor adalah garda depan sosialisasi serta implementasi Ardas KAJ, maka setiap pastor diajak merefleksikan kembali arti kepemimpinan pastoral. Secara umum, dalam banyak sharing antarpastor yang notabene sebagai pemimpin umat, dirasakan kebutuhan sebuah Tata Pelayanan Pastoral yang menekankan jatidiri kepemimpinan berdimensi partisipatif (keterlibatan) dan transformatif (perubahan).
Salah satu isi Tata Pelayanan Pastoral di atas adalah penjabaran tiga entitas pokok yang semestinya dibuat oleh para pastor sebagai pemimpin pastoral.

Tiga entitas pokok itu adalah (1) Kesadaran: Menentukan arah, cita-cita dan tujuan, sesuai dengan Ardas KAJ; (2) Kesaksian: Menunjukkan kualitas karakter pribadi yang ditampilkan secara nyata dalam hidup kesehariannya; (3) Keterlibatan: Menggerakkan setiap umat secara sinergis.

Sasaran strategis
Secara ideal, seorang pemimpin perlu merumuskan sasaran strategis untuk mewujudkannya. Secara riil, para pastor – sebagai pemimpin umat – kerap hanya berhenti pada ”kegiatan” apa yang ingin diadakan, bukan dilihat dari ”pencapaian” sesuai dengan acuan Ardas KAJ. Mereka jatuh pada ”pastoral kegiatan”. Maka, perlulah setiap pastor bersama umat KAJ mengartikan konteks sekaligus melihat sasaran strategis Ardas. Sasaran strategis ini bisa berangkat dari tiga konteks sosial yang diangkat oleh Ardas KAJ, antara lain kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, dan intoleransi dalam masyarakat.

Di sekitar Pelayanan Iman, pelbagai sasaran strategis yang perlu dituju, yakni (1) Meningkatkan kecintaan dan penghayatan umat terhadap Sakramen Ekaristi; (2) Meningkatkan penghayatan umat akan aneka sakramentali, khususnya kaitan antara liturgi dan devosi, maupun tradisi berdoa bersama dalam keluarga; (3) Membangun kebanggaan dan kesetiaan umat akan iman Katolik (sensus catholicus); (4) Meningkatkan kecintaan dan pemahaman umat terhadap dunia Kitab Suci; (5) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman Ajaran Iman, khususnya Ajaran Sosial Gereja, baik dalam katekisasi maupun mistagogi; Memberikan per-HATI-an pada pelayanan Bina Iman Anak dan Remaja serta pelbagai kelompok Orang Muda Katolik untuk menjadi komunitas beriman yang semakin berkualitas.

Di sekitar Pembangunan Persaudaraan, pelbagai sasaran strategis, antara lain (1) Meningkatkan persaudaraan dan keterlibatan umat di lingkungan basis; (2) Mengembangkan relasi Gereja dengan tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh umat beragama lain; (3) Menggiatkan komunikasi antarumat, khususnya komunikasi lintas unit, baik kategorial maupun teritorial; (4) Meningkatkan keterlibatan umat (khususnya orang muda) dalam pelbagai acara masyarakat; (5) Mengadakan dialog karya antara umat Katolik dengan umat beragama lain; (6) Mempererat kolegialitas imam, biarawan biarawati dalam kesatuan gerak di keuskupan; (7) Menggalakkan kerjasama Dewan Paroki dan seksi-seksi antarparoki dan dekanat di dalam keuskupan.

Di sekitar Pelayanan Kasih, pelbagai sasaran strategis, antara lain (1) Meningkatkan kepedulian umat pada sesama manusia, terutama pada masalah pendidikan, kesehatan, dan kematian; (2) Menggalakkan kepedulian umat akan gerakan orangtua asuh; (3) Meningkatkan kecintaan dan kepedulian Gereja terhadap lingkungan hidup; (4) Memberdayakan OMK dalam aneka keterlibatan sosial; (5) Meningkatkan pelayanan pastoral di penjara dan rumah sakit; (6) Mendorong keterlibatan aktif semua umat pada momentum Aksi Puasa Pembangunan dan Hari Pangan se-Dunia.

Pelbagai sasaran strategis di atas dilaksanakan dengan mengembangkan tata layanan pastoral berbasis data, memberdayakan komunitas teritorial lingkungan dan kategorial, menggerakkan karya-karya pastoral yang kontekstual, menggiatkan kerasulan awam, serta menjalankan kaderisasi dan pendampingan berkelanjutan bagi para pelayan pastoral.

Budaya pastoral
Ardas KAJ dilandasi oleh dua budaya dasar, yakni spiritualitas Gembala Baik dan pelayanan murah hati. Spiritualitas Gembala Baik berarti bertindak seturut teladan Yesus, Sang Gembala Baik. Gembala baik mengenal dan dikenal domba-domba-Nya (Yoh 1:14) serta peduli pada domba-Nya yang kesusahan dan tersesat (Yeh 34:16). Sedangkan pelayanan murah hati berarti bersumber pada Allah (Luk 6:36) dan dilakukan dengan kerendahan hati (Kis 20:19).
Berangkat dari dua budaya dasar di atas, dihasilkan enam budaya pastoral yang menjadi simpulan para pastor di KAJ, yakni ”berpeduli, berintegritas, bermisioner, beriman, bersukacita, serta bersaudara”.

Tercatat juga tiga rekomendasi akhir yang disimpulkan, antara lain: (1) Menerapkan proses perencanaan strategis dalam perencanaan reksa pastoral di paroki dan kategorial; (2) Membangun mekanisme koordinasi, monitoring, dan evaluasi penerapan tersebut di tingkat dekanat dan kategorial; (3) Mengolah lebih lanjut hasil/temuan Temu Pastoral sebagai panduan bersama dalam membudayakan cara berpastoral sesuai Ardas KAJ.

Di KAJ, para imam, bruder, dan suster berjumlah sekitar 1.500 orang dengan aneka puluhan tarekat, sementara jumlah umat sekitar 465 ribu. Dari perbandingan kasar ini, Gereja KAJ terdiri dari mayoritas kaum awam. Dengan demikian, budaya kerjasama imam dengan awam mutlak diperlukan dalam membangun jatidiri Gereja. Karena, bukankah tepat sebuah pameo lama, ”Ecclesia semper reformanda - Gereja selalu memperbarui diri?”

from Keuskupan Agung Jakarta [ http://www.kaj.or.id ]

Tahun Ekaristi 2012 KAJ




Apa latar belakang untuk memaklumkan tahun 2012 sebagai Tahun Ekaristi?

Yang pertama adalah cita-cita untuk terus menerus memperdalam iman akan Tuhan Yesus Kristus, sebagaimana dirumuskan dalam Arah dan Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta 2011 - 2015. Iman yang menyelamatkan itu dipuncakkan, dipusatkan dan dirayakan dalam Ekaristi. Yang kedua adalah keselarasan dengan Gereja Katolik semesta yang juga sedang mengadakan Kongres Ekaristi di tahun yang sama. Kita adalah bagian dari Gereja semesta yang berusaha menemukan makna lebih dalam dari Ekaristi bagi hidup kita.

Apa sasaran diadakannya Tahun Ekaristi?

* Meningkatkan mutu Perayaan Ekaristi.

* Memperdalam pemahaman mengenai Ekaristi (Katekese yang berkelanjutan / termasuk mistagogi).

* Makin menumbuhkan penghormatan pada Yesus KRistus yang hadir dalam Ekaristi.

* Meningkatkan pelaksanaan perutusan yang bersumber dari Ekaristi.

Apa tema Tahun Ekaristi?

Tema Tahun Ekaristi di Keuskupan kita adalah “Dipersatukan, Diteguhkan dan Diutus”. Ketiga kata itu menyiratkan daya Ekaristi bagi umat yang merayakannya, sehingga mereka menghayati persatuan dan kebersamaan; hidup mereka diteguhkan dan diberi makna; keterlibatan mereka dalam hidup sehari-hari merupakan perutusan yang bersumber pada Ekaristi.

Kapan kita merayakan Tahun Ekaristi?

Tahun Ekaristi akan dirayakan selama setahun penanggalan liturgy, yaitu mulai saat Adven 2011 dan berpuncak pada Hari Raya Kristus  Raja Semesta Alam 2012.

Apa saja yang direncanakan untuk menyemarakkan Tahun Ekaristi?

1. Surat Gembala Bapak Uskup
2. Masa Adven: renungan keluarga/lingkungan dengan tema “Ekaristi, Sumber Berkat dalam Keluarga”
3. Pesta Yesus Dipersembahkan di Kenisah: kegiatan untuk anak-anak
4. Masa prapaska/APP dengan tema “Bersatu dalam Ekaristi, Diutus untuk Berbagi”
5. Pekan Suci (dengan perhatian pada Misa Krisma sebagai peringatan syukur Imamat yang terkait pada Ekaristi)
6. Bulan Mei sebagai Bulan Liturgi dengan tema “Bersama Bunda Maria Mencintai Liturgi Ekaristi”
7. Novena Roh Kudus dengan tema “Gereja Hidup dari Ekaristi”
8. Pesta Tubuh dan Darah Kristus yang dirayakan dengan liturgy sungguh-sungguh dipersiapkan
9. Sarasehan Ekaristi di 8 dekenat yang kemudian dipuncakkan di tingkat keuskupan, seperti rangkaian Novena
10. Novena Ekaristi dan Adorasi di 8 dekenat dan berpuncak di tingkat keuskupan
11. Eucharistic Youth Camp bagi Orang Muda Katolik
12. Bulan Kitab Suci yang menyajikan topik-topik Ekaristi
13. Kursus homily bagi para imam
14. Lomba cipta lagu Ekaristi
15. Seputar liturgi perkawinan dan katekesenya
16. Penerbitan bahan-bahan katekese dalam bentuk DVD dan buku-buku
17. Puncak perayaan pada Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam

exported from Keuskupan Agung Jakarta [ http://www.kaj.or.id ]

SURAT GEMBALA MENYAMBUT TAHUN EKARISTI 2012




(Dibacakan sebagai pengganti kotbah, dalam setiap Misa, Sabtu/Minggu, [Adven I] 26/27 November 2011)

Para Ibu dan Bapak,

Para Suster, Bruder, Frater,

Kaum muda, remaja dan anak-anak yang terkasih dalam Kristus,

 1. Pada hari Minggu yang lalu, kita merayakan Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Perayaan itu menutup satu lingkaran tahun liturgi. Dengan merayakan pesta liturgi itu kita mengungkapkan kepastian iman kita bahwa Allah yang telah memulai karya-Nya, akan menyempurnakannya juga pada waktunya. Keyakinan iman inilah yang oleh Rasul Paulus dinyatakan dengan kata-kata ini, “Kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Kor 15:28).

 2. Hari ini kita memulai satu lingkaran liturgi yang baru dengan Minggu Adven I, yang pada tahun berikutnya juga akan ditutup dengan Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Masa Adven dalam arti sempit mengundang kita untuk menyiapkan kedatangan Yesus yang akan kita rayakan pada Hari Natal. Dalam arti luas, Adven juga mengajak kita untuk memperkokoh harapan kita bahwa pada waktunya Tuhan akan datang menyempurnakan karya penyelamatan yang telah dimulai-Nya. Selama masa penantian dan pengharapan itu, menurut kata-kata Rasul Paulus yang kita dengarkan pada hari ini, “Allah juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus” (1 Kor 1:8).  Begitulah dinamika iman dan harapan kita yang kita ungkapkan dalam lingkaran-lingkaran tahun liturgi. Dengan menempatkan diri kita ke dalam dinamika liturgi itu, karya penyelamatan Allah akan semakin kita alami: iman kita menjadi semakin dalam, harapan kita semakin kokoh dan kasih kita semakin menyala.

 3. Sabda Tuhan yang diwartakan pada hari ini mengajak kita untuk selalu berjaga-jaga (Mrk 13:33.34.35.37) menantikan kedatangan Tuhan itu. Pertanyaannya adalah, dengan cara apa kita berjaga-jaga menantikan kedatangan Tuhan? Jawabannya ada bermacam-macam. Salah satu jawaban diberikan kepada kita melalui Kitab Nabi Yesaya yang diwartakan pada hari ini yaitu dengan membiarkan diri kita – baik secara pribadi, keluarga, komunitas, paroki maupun keuskupan - dibentuk oleh Tuhan, karena kita semua adalah buatan tangan Tuhan (bdk. Yes 63:8). Dalam rangka membiarkan diri kita bersama-sama dibentuk oleh Tuhan itulah Keuskupan Agung Jakarta menetapkan Arah Dasar Pastoral dan setiap tahun menawarkan tema-tema pendalaman iman. Kalau bahan-bahan itu kita renungkan dan kita batinkan, kita boleh berharap hidup pribadi kita, keluarga, komunitas, paroki dan hidup kita bersama sebagai warga Keuskupan Agung Jakarta akan terus-menerus diperbarui dan dibentuk menjadi semakin serupa dengan Yesus Kristus, semakin sehati sepikir dan seperasaan dengan-Nya (bdk. Flp 2:5).

 4. Dalam rangka berusaha membiarkan diri kita dibentuk oleh Allah inilah, Keuskupan Agung Jakarta menetapkan Tahun 2012 sebagai Tahun Ekaristi dengan tema  “Dipersatukan, Diteguhkan, Diutus”. Tema ini dipilih dengan berbagai pertimbangan. Antara lain kita ingin menempatkan diri kita dalam arus rohani Gereja se-dunia, yang pada tanggal 10-17 Juni 2012 yang akan datang mengadakan Kongres Ekaristi ke-50 di Dublin. Adapun tema yang diangkat adalah “Ekaristi: Bersatu dengan Kristus, Bersatu di antara kita”. Selanjutnya tema Tahun Ekaristi Keuskupan Agung Jakarta ini melanjutkan tema yang sudah kita dalami selama tahun 2011 yaitu “Mari Berbagi”. Dengan demikian kita berharap agar kerelaan kita berbagi tidak hanya didorong oleh motivasi kemanusiaan, melainkan kita landaskan pada iman yang kokoh. Dengan menerima roti Ekaristi yang diambil, diberkati, dipecah-pecah dan dibagi-bagikan,  kita berharap juga dapat menjadi roti Ekaristi : seperti halnya roti Ekaristi, kita adalah pribadi-pribadi yang dipilih dan diberkati Tuhan, agar siap dipecah-pecah dan dibagi-bagikan bagi dunia.

 5. Kekayaan Ekaristi dengan mudah dapat kita timba dari salah satu pernyataan Gereja sebagai berikut :” … Setiap orang yang mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, seharusnya selalu ingin berbuat baik dengan penuh semangat, menyenangkan hati Allah dan hidup pantas sambil membaktikan diri kepada Gereja, melaksanakan apa yang diajarkan kepadanya, dan bertumbuh dalam kesalehan. Ia pun akan siap menjadi saksi Kristus di dalam segala hal, dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup manusia, agar dunia diresapi dengan semangat Kristus. Sebab tidak ada satu umat Kristiani pun dapat dibentuk dan dibangun, kecuali kalau berakar dan berporos pada perayaan Ekaristi Mahakudus” (Eucharisticum Mysterium no. 13).

 6. Melalui surat ini saya ingin mengajak seluruh umat Keuskupan Agung Jakarta untuk secara khusus memperdalam pengetahuan dan penghayatan mengenai Ekaristi selama tahun 2012 yang akan datang. Sejarah panjang liturgi Ekaristi, kedalaman maknanya dan kekayaan lambang-lambangnya tidak bisa kita tangkap dengan baik selain dengan mempelajarinya. Dalam perayaan Ekaristi kita mengenangkan kembali wafat dan kebangkitan Kristus dan mensyukuri karya penyelamatan Allah bagi kita. Kita mendengarkan Sabda Tuhan yang menuntun langkah-langkah kita dan menerima roti kehidupan yang menjadi kekuatan dalam peziarahan iman kita. Janji Tuhan untuk selalu menyertai umat-Nya sampai akhir jaman tidak dapat kita alami kecuali dengan mengasah kepekaan batin kita akan kehadiran-Nya dalam Ekaristi. Semoga pertemuan-pertemuan yang sudah selalu kita adakan pada masa Adven, Prapaskah, bulan Liturgi, bulan Kitab Suci dan kesempatan-kesempatan lain dapat digunakan sebaik-baiknya untuk pendalaman Ekaristi itu. Sementara itu bahan-bahan yang diperlukan sudah dan akan disediakan oleh saudari-saudara kita yang dengan sepenuh hati menyiapkannya.

 7. Akhirnya bersama para imam yang diutus untuk melayani umat di Keuskupan Agung Jakarta ini saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih kepada para Ibu/Bapak/Suster/ Bruder/Frater/ Kaum Muda, Remaja dan Anak-anak yang dengan satu dan lain cara ikut terlibat dalam karya kegembalaan kami. Keterlibatan Anda sekalian dalam pelayanan Gereja “ke dalam”, membuat Gereja menjadi semakin bermakna bagi umat sendiri. Sementara keterlibatan Anda sekalian dalam pelayanan Gereja “ke luar”, membuat Gereja menjadi semakin berarti di tengah-tengah masyarakat luas. Semoga Ekaristi yang setiap kali kita rayakan semakin mempersatukan kita dalam perutusan yang mulia.

Salam dan Berkat Tuhan untuk seluruh keluarga dan komunitas Anda.

+ I. Suharyo

Uskup Keuskupan Agung Jakarta

exported from Keuskupan Agung Jakarta [ http://www.kaj.or.id

Kamus Indonesia