BERTOBATLAH DENGAN GEMBIRA
1. B E R T O B A T
Kemenangan Yesus Kristus atas dosa bukanlah harus dinantikan pada akhir jaman. Sekarang ini manusia bias turut serta dalam kemenangan Kristus ata doa itu, yang terus menerus maju menuju kesempurnaanya di akhir jaman. Agar dapat turut serta dalam kemenangan ini dibutuhkan satu syarat: bertobat.
Gagasan mengenai pertobatan sudah berkembang sejak jaman Perjanjian Lama, khususnya dalam ajaran para nabi. Istilah yang dipergunakan oleh para nabi untuk bertobat ialah: berbalik kembali, yakni berbalik kepada situasi yang sebelumnya.
Dari sifatnya, bertobat Nampak sebagai suatu tindakan yang bersifat individual. Akan tetapi panggilan pertobatan ini ditunjukan kepada seluruh bangsa; konteks kebersamaan tidak ditinggalkan, bahkan juga dalam hal pertobatan pribadi. Panggilan pertobatan kepada seluruh bangsa Nampak dalam kitab Hosea. Umat dilukiskan sebagai isteri yang meninggalkan suaminya dan lari mencari kekasih baru. Dan kitab ini sekaligus digambarkan bagaimana hasilnya apabila umat berbalik kembali (Hos. 2). Yeremia menekankan pertobatan individu, yang berisikan pendalaman dan bersifat spiritual. Berulang kali dia berseru kepada Yuda dan Israel agar bertobat. (bdk. Yer. 18:11; 25:5; 35:3,7).
Dengan adanya perkembangan unsure pribadi dalam bertobat, terdapat pula tekanan yang lebih besar pada perubahan yang menyeluruh. Sekali lagi lagi para nabi mewartakan hal ini. Mereka bertambah sadar bahwa ibadah tobat, termasuk semacam laku tapa ; puasa, menaburi diri dengan debu, ratapan umum dan pengakuan dosa tidak dengan sendirinya mencukupi. Semua ini tidak ada gunanyakecuali disertai perubahan hati. Itulah sebabnya para nabi bicara hal hati yang terlibat dalam pertobatan. (Yer. 29:13-14).
Konsep bertobat yang pada pokoknya berbalik kepada Allah mengandaikan adanya tindakan berbalik dari dosa. Maka bicara soal pertobatan tak bias diluar konteks dosa pemberontakan terhadap kasih Allah. Dosa telah membuat penghalang antara manusia dengan Allah. Adanya unusur ganda ini dijelaskan oleh Yesaya (Yes. 52:1-12). Didalam bertobat termasuk meninggalkan dosa yang menyebabkan keterpisahan, tanpa hal ini berbalik kepada Allah adalah mustahil. (Yehez. 14:6; Yes. 59:20).
Gagasan bertobat di atas menekankan: manusia yang mengambil keputusan untuk berbalik kepada Allah dan memperbaharui hiupnya. Bagi orang Kristiani, bertobat merupakan jawaban yang dibuatnya terhadap apa yang dikerjakan Yesus. Oleh karena hal ini merupakan jawaban, maka inisiatif ada di tangan Allah. (Ratapan 5:21). Desakan dari inisiatif ilahi ini diperlukan agar manusia jangan sampai tenggelam dalam samudera keputus-asaan. Sejarah Israel mencata pelbagai kegagalan, yang kemudian menyadarkan perlunya pertolongan Allah. Hal ini tidak menyangkal atau mengabaikan usaha manusia, tetapi justru member motivasi yang lebih tinggi.
Dalam Perjanjian Baru hal pertobatan semakin giat diwartakan. Anugerah rahmat dalam Yesus begitu besar sehingga manusia harus lebih dalam kesadarannya akan pertobatan dan semakin rela berbalik kepada Allah. Oleh karena itu pertobatan yang menyeluruh semakin ditekankan.
Seruan bertobat banyak terdapat dalm injil dan kisah Para Rasul. Yesus sendiri mewartakan pertobatan sebab Kerajaan Allah telah dinyatakan dalam kedatanganNya (Mrk.1:12). Akibatnya, apabila manusia mengenali siapakah sebenarnya Dia itu, orang terdorong untuk mengakui dosanya (Luk. 5:8). Kisah Rasul mencatat hasil pewartaan awal: Kabar Gembira tentang Yesus Kristus. Terus menerus, setelah menjelaskan apa yang dikerjakan Allah melalui Yesus Kristus dan apa yang terjadi dalam umat. (Kis 3:19).
Paulus menyerukan pertobatan kepada Jemaat di Korintu. (II Kor 7:9) dan ayat selanjutnya dia melanjutkan keterlibatan yang menyeluruh dalam pertobatan sejati.
Bertobat dari dosa menjadi langkah pertama pada keselamatan. Hal ini merupakan pengakuan atas kemenangan Kristus terhadap dosa; suatu kemenangan yang akibatnya kini mulai diterapkan masing-masing orang.
Adalah perbuatan manusia yang terdalam bahwa pertobatan melibatkan perubahan cara hidup. Hal ini bias disertai tanda-tanda tobat lahiriah, misalnya puasa, mati raga dan sebagainya. Tetapi tanda-tanda itu tidak bisa menggantikan perubahan cara hidup, bahkan menjadi tidak berguna apabila hati tidak berubah meninggalkan dosa dan berbalik kepada Allah.
2. BERTOBATLAH DENGAN GEMBIRA
Menjadai seorang Katolik berarti percaya kepada Kristus, mau menerima Dia, mau menjadi murid dan pengikutNya. Untuk itu diperlukan syarat yang mutlak, yakni: TOBAT atau didalam bahasa Yunani: METANOIA. Metanoia berarti berbalik meninggalkan doa dan mengarahkan diri serta terbuka kepada Kristus.
Ketika Yohanes Pembabtis muncul untuk mempersiapkan orang-orang Yahudi agar supaya menerima Kristus, ia berseru: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah dekat” (bdk. Mat 3:1-12; Mrk. 1:1-8; Luk. 3:3-9 dan Yoh 1:19-28).
Bahkan mengenai Lukas yang biasanya memberikan tekanan mengenai belas kasihan Allah kepada manusia, mengutip kata-kata Yesus yang keras: “Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian.” (Luk. 13:1-5).
Dalam peristiwa menyelamatkan seseorang, Yesus terlebih dahulu meyakinkan orang itu bahwa dosanya telah diampuni. Hal ini dipergunakan untuk menyatakan cara lain bahwa ’tobat orang itu telah diterima’. Ungkapan di atas dapat dilihat dalam banyak peristiwa penyembuhan, misalnya: penyembuhan orang lumpuh (Mat. 9:1-8; Mrk. 2:1-12 dan Luk. 5:17-26); atau penyembuhan wanita yang sakit leleh darah (Mat. 9:20-22; Mrk 5:25-34 dan Luk. 8:43-48); atau yang secara langsung dalam mengampuni perempuan yang tertangakap basah (Yoh. 7:53; 8:11). Dalam peristiwa-peristiwa demikian lebih dahulu meyakinkan: “Hai saudara, dosamu sudah diampuni.” Perkataan itu artinya sama dengan: “Kamu selamat, sebab kamu telah bertobat.”
Karya Yesus adalah karya penebusan seluruh umat manusia. Hal ini berarti bahwa Yesus sanggup membawa untuk bertobat dari dosa-dosanya. Yesus menawarkan kepada kita jalan untuk melepasakan diri kita sendiri dari belenggu dosa yang melilit dan mencekik kita. Yesus menanyakan: apakah kita sanggup bekerja sama membangun masa depan yang lebih baik. Yesus menawarkan apakah kita mau BERTOBAT.
Dari pengalaman banyak pengertian dan pemahaman yang keliru mengenai makna bertobat. Dan dari pemahaman yang keliru ini timbulah reaksi-reaksi yang salah pula. Bertobat sering diartikan secara sempit, yakni: Bertobat berarti mengakui dosanya. Hal yang alah ini pun masih dipraktekkan secara salah pula, yaitu: menitik beratkan tindakan-tindakan salah di masa lampau, dan berhenti di masa lampau itu. Ditambahkan pula penekanan atau praktek formilnya, yakni mengaku dosa di kamar pengakuan dengan kata-kata klise. Dengan demikian sangat terasa aspek ‘penghakiman’, sehingga orang merasa tidak enak karena dihakimi atau aspek pengampunan kurang dirasakan. Akibatnya: rasa berat karena kesalahan, cacat dan dosa kita ditunjuk. Orang menjadi malu, kehilangan muka dan merasa menjadi hina dan kecil. Orang menjadi muram dan pesimis.
Pengertian salah ini membawa akibat, atau sekurangnya member kesan bahwa Kristus atau agama itu memaksa, mengikat dan menekan. Yesus Kristus membuat kehidupan kita ini menjadi berat dan tertekan. Kristus membuat kita muram, kecut dan pesimis. Kristus menggerogoti kebebasan manusia, terutama kebebasan orang muda. Agama itu mengancam dan mencikik kita dengan peraturan dan larangan. Agama mendikte kita dengan perintahnya.
Benarkah demikian itu? Jikalau Kristus mengajak bertobat sebagai syarat mutlak untuk menjadi muridNya, hal itu mengakibatkan bahwa kita kehilangan kebebasan, kita tetekan dan menjadi pesimis, mengapa semuanya itu tidak kita tinggalkan saja? Kalau agama membawa kita ke arah yang muram, kecut dan terpaksa, mengapa agama tidak kita buang jauh-jauh? Pertanyaan-pertanyaan itu bukan pertanyaan rethoris pemanis. Pertanyaan itu adalah pertanyaan riil yang harus kita jawab engan keputusan kita. Dengan penalaran dan tanggung jawab kita. Kita tidak boleh membonceng dan ikutan-ikutan dengan jawaban orang lain. Kita masing-masing secara pribadi harus menjawab dan mengambil keputusan. Bukankah sebaiknya kita harus bertanya kepada diri kita sendiri berdasarkan praktek dan pengalaman hidup ini?
Jika kita pegang pemahaman bertobat yang benar. Kristus adalah penebus. Kristus membawa kebebasan dalam arti sepenuhnya Kristus membawa kebangkitan. Kristus menawarkan hidup baru yang cerah dan ceria. Kristus membawa optimism. Maka tobat yang dipesankan oleh Kristus harus sejajar dengan seluruh garis penebusan ini. Mungkin akan membantu jikalau kita memperhatikan contoh-contoh ini:
Zakheus (Luk. 19:1-10); adakah tanda bahwa dia menjadi murung setelah bertobat? Apakah ia menjadi tertekan dan kehilangan kebebasannya? Apakah ia menjadi malu dan tidak bahagia hidupnya? Anak yang hilang (Luk.15:11-32); Adakah anak muda itu kembali kepada bapanya dengan menangis meraung-raung karena kesedihan? Apakah ia kehilangan kebebasannya untuk menikmati perempuan lacur dan menghamburkan uang?
Mateus (Mat. 9:9-14; Mrk. 2:13-17 dan Luk 5:27-32); Apakah Mateus menyesali diri setelah meninggalkan kesempatan untuk menggaruk kekayaan sebagai pegawai pajak? Apakah ia tidak mengakui bahwa ia orang berdosa? Adakah ia kehilangan kebebasan, tertekan dan pesimis?
Dengan contoh-contoh di atas, yang diambil dari Injil itu, kita dapat melihat bahwa bertobat yang benar itu mempunyai nada kegembiraan, mempunyai warna cerah dan kebahagiaan. Dari contoh tadi kita pun dapat melihat bahwa: bertobat adalah keputusan dasar untuk menuju perbaikan masa depan; keputusan dasar untuk menuju kepada Allah sendiri dan cirinya optimis.
Agar dapat mengambil keputusan dasar orang perlu mengenal kenyataan masa lamaunya. Mengenal kekeliruannya dan dapat menganalisanya. Untuk mengenal kekeliruaannya tidak perlu mencari kambing hitam dan terlalu banyak mencari excuse. Kambing hitam dan excuse hanya akan menyesatkan perbaikan. Dengan melihat kenyataan kita dapat menentukan pilihan asasi atau dasariah untuk terbuka terus kepada kebaikan. Kita bertobat berarti, hidup kita terbuka secara terus menerus kepada Allah.
Realisasi keputusan dasar ini biasanya berjalan melalui proses, tingkat demi tingkat menuju ke arah yang lebih baik; setapak demi setapak menuju kepada yang lebih tinggi. Orang yang bertekad untuk bertobat berarti sedikit demi sedikit menuju terang sejati. Setapak demi setapak mengarah kepada kebahagiaan sejati.
Kita telah mengatakan ‘ya’ kepada Kristus. Kita percaya kepada Kristus. Kita bergandengan tangan dengan Kristus menuju kepada kebangkitan. Tentulah hal semacam ini akan membawa kecerahan, membawa kebebasan. Tobat membawa senyum menuju hidup baru yang berseri. Maka dari itu sekali lagi: “Bertobatlah, karena Kerajaan Allah sudah dekat.” Dan tobat juga membawa kegembiraan dan kesukaan tidak hanya kepada orang yang bersangkutan saja, akan tetapi juga kegembiraan bagi orang lain, menggembirakan seluruh perhimpunan umat beriman:
” Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena Sembilan puluh Sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.” (Luk. 15:7)
3. PENGAMPUNAN DOSA
Perjanjian Lama mengubah artinya sesuai dengan konsepnya mengenai Allah yang monotheistis. Misalnya pada hari penebusan, imam sambil meletakkan tangan di atas kepala domba dia mengakukan dosa-dosa umat. Domba itu kemudian digiring ke padang gurun dan dilepaskan disana sebagai lambing dia membawa pergi dosa umat. Upacara ini dimaksudkan untuk melambangkan apa yang dikerjakan Allah bagi umatNya. Namun hal ini selalu membawa bahaya bahwa tindakan itu melupakan apa yang dikerjakan Allah sendiri dan hal yang lahiriah dipentingkan.
Karya pengampuna dosa oleh Allah sengat ditekankan dalam Perjanjian Lama, sekaligus menekankan perbedaannya dari agama lain. Kerap kali motif yang dikemukakan: mengapa Yahweh harus mengampuni dosa (bdk. Mzm. 25:16-18). Namun seperti umumnya tak banyak dikatakan mengenai motif dan hanya diandaikan bahwa Dia adaalah Allah Pengampun. Sekurang-kurangnya terdapat suatu contoh: pengampunanNya dihubungkan dengan kasihNya kepada umatNya (Bil. 14:19), dengan kata lain dengan hubungan khusus yang ditetapkan dengan umat oleh Allah sendiri. Dapat dikatakan bahwa pengampunan dosa oleh Allah adalah unsure penting dalam iman umat. (Yes 43:25). Kata-kata nai itu membuat jelas bahwa pengampunan dosa adalah anugerah Allah dan secara dasariah tidak digerakkan oleh pertimbangan manusiawi. Bukan berarti unusr manusiawi tidak punya peran. Cukup sering Perjanjian Lama menunjuk upacara tobat tertentu yang dihubungkan dengan pengampunan dosa. Kitab Daniel mencatat doa nabi yang dengan cara tertentu dihubungkan dengan pengampunan dosa. (Dan. 9:3-5,9,18-19).
Diantara tindakan penyesalan yang cukup sering disebutkan ialah: puasa, untuk memperlihatkan tanda lahiriah tentang pengakuan dosa dan sikap berduka cita. Semua ini menuntut sejumlah usaha dari pihak manusia. Dan hal ini dapat merupakan bukti bahwa usaha tersebut dipahami sebagai alasan mengapa Allah harus mengampuni dosa. Namun hal ini merupakan godaan yang hampir melekat pada tindakan itu sendiri, yakni menyangka bahwa manusia dapat menghasilkan pengampunan. Godaan tersebut sudah kerap kali disingkirkan dalam sejarah banyak agama. Bagaiamana menjadi jelas bahwa hal itu bukan yang dimengerti oleh penulis kitab suci. Secara tegas Daniel mengatakan bahwa bukan jasa manusia tetapi semuanya ini berdasar kasih Allah (Dan. 9:17) atau ‘oleh Engkau sendiri’ (Dan.9:19). Jadi pengampunan datang dari Allah dan tidak tergantung pada manusia dan perbuatannya.
Jika demikian apa maksud tindakan penyesalan manusia? Menurut keyakinan Kitab Suci, dosa dengan cara tertentu mendapatkan hukuman. Pada saat itu hukuman tersebut disamakan dengan tanda peringatan khusus misalnya kekalahan perang. Juga rasa takut merupakan akibat dari dosa. Pengekangan diri; puasa dan sebagainya, adalah ungkapan lahiriah yang melambangkan penghukuman itu, yang oleh pendosa dimengerti sebagai akibat dosanya. Jadi perbuatan demikian itu untuk manusia sendiri dan bukan bagi Allah. Perbuatan ini membantu manusia menjadi lebih sdar akan dosanya dan perlunya pengampunan Allah. Dan kesadaran akan hal ini, suatu keterbukaan terhadap rahmat penyembuhan, diperlukan oleh manusia sebelum Allah dapat mengampuni dosa. Inilah alasannya mengapa laku tapa itu dikatakan semacam kondisi untuk pengampunan. Hal ini merupakan kondisi untuk menegaskan: siapakah manusia di hadapan Allah. Jika demikian, mereka berpura-pura atau member kesan saleh pada orang lain atau mencari hasil pertobatan dengan cara magis. (bdk. Yoel 2:13). Jika perbuatan tersebut pada tingkat demi mencapai kesadaran yang benar maka hal itu sesuai atau sah sebagai ungkapan agama.
Selain itu, penyelamatan hadir sebagai peristiwa, yakni Allah menang atas dosa. Manusia mempunyai peran tersendiridalam hal ini: menjawab inisiatif Allah. Peristiwa ini dihadirkan kembali dalam ibadah pada Perjanjian Lama dan perjanjian Baru khususnya dalam Ekaristi dan Sakramen lainnya. Di sini laku tapa tersebut menggaris bawahi kekuatan dan kasih Allah, dan dengan demikian iman kepada Allah diteguhkan. Sekali lagi perlu dicatat bahwa semuanya ini demi manusia bukan demi Allah.
Dalam Perjanjian Lama, iman punya sejumlah fungsi dalam ibadah yang dipakai dalam pengampunan dosa tertentu. Tetapi mereka tidak mengucapkan rumusan pengampunan. Rumusan itu dikhususkan bagi Allah. Lebih dari itu pengampunan dosa dengan khusus dihubungkan dengan jaman Mesias (bdk. Yer. 31:34). Dan disitu tidak dinyatakan bahwa Mesias akan mengampuni dosa, sebab hal itu baru akan ditegaskan dalam Perjanjian Baru.
Waktu Yesus mengampuni dosa orang lumpuh, maka reaksi Farisi dapat dimengerti dan mengatakan Yesus Penghojat (Mrk. 2:5-7). Siapa yang dapat mengampuni dosa selain Allah sendiri? Mereka ini masih berpikir dengan cara Perjanjian Lama. Tetapi dengan menyembuhkan orang lumpuh itu, jesus mau memperlihatkan kuasaNya untuk mengampuni dosa. Kini kekuatan Ilahi dilaksanakan seseorang di bumi (Mrk 2:10). Pelaksanaan kekuasaanNya di dunia merupakan perluasan kekuatan Tuhan yang bangkit, yang kini dilaksanakan melalui Gereja. Kuasa Gereja untuk mengampuni dosa diperolehnya berkat kesatuannya dengan Yesus yang mulia. Lebih jelas pada kisah yang sama pada Injil Matius (Mat. 9:8). Pernyataan ‘memberikan kuasa demikian’ kepada manusia memperlihatkan bahwa penginjil sadar akan kuasa yang sedang dilaksanakan dalam Gereja waktu itu, yang ternyata senada dengan pernyataan Yesus sendiri (Mat. 18:18). Yohanes menuliskan bahwa Yesus sendiri member kuasa pengampunan pada Para Rasul. (Yoh. 20:23).
Kemudian Petrus menyatakan bahwa orang Kristiani telah mati terhadap dosa berkat Sakramen Permandian (Roma 6:1-14). Dengan demikian dinyatakan bahwa Dia telah mengampuni dosa di dunia, dan melanjutkan karya pengampunan itu melalui Gereja.
Salah satu aspek yang khusus dalam ajaran Kristiani peri hal pengampunan dosa ialah adanya keharusan ‘saling mengampuni’. Bila kita mengharap Allah mengampuni orang berdosa kepada kita. (Mat 5:23-34 bdk . Mrk 11:25). Sekaligus menjadi jelas bahwa Ekaristi dan pengampunan sudah dikaitkan sejak mula.
Disamping itu yang perlu diperhatikan adalah apa yang termuat dalam doa Bapa Kami (Mat. 6:9-13 dan Luk 11:2-4). Dalam permohonan ‘ampunilah soa kami seperti kami mengampuni yang bersalah kepada kami’, kata seperti disini tidak dimaksudkan sebagai ukuran, sebab bagaimanapun juga pengampunan Allah jauh lebih besar dari pengampunan manusia. Hal ini berarti Allah mengampuni apabila orang itu bersedia pula mengampuni sesamanya. Namun tidak dapat dikatakan bahwa pengampunan Allah itu bersyarat. Dengan kata lain pengampunan Allah selalu tersedia dan akan mencapai hati manusia yang masih memusuhi saudaranya. Dengan mendekatkan diri kepada sesama, manusia mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan akhirnya masih dikatakan dan bebaskan lah kamiu dari yang jahat merupakan penegasan permohonan ampun atas dosa.
Ajaran Perjanjian baru mengenai pengampunan dosa merupakan kepenuhan dari ajaran Perjanjian Lama. Allah mengampuni manusia dan manusia mengampuni sesamanya. Inisiatif selalu di tangan Allah. Dengan memperluas kasih pengampunanNya kepada manusia melalui kemenangan Kristus atas dosa, Allah telah membuka kemungkinan bagi manusia untuk terbuka kepada sesamanya. Dalam Jemaat Kristiani pengampunan ini menciptakan jemaat eskatologis, yakni Jemaat yang sepenuhnya berada di bawah kuasa kasih Allah. Di dalam Ekaristi, terjadi perjumpaan untuk diampuni dan mengampuni, yang merupakan puncak dalam persatuan dengan Kristus yang bangkit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar