Kalender Liturgi

Senin, 29 Agustus 2011

Masih Perlukah Sakramen Pengakuan Dosa (Bagian 3) ?

Pendahuluan

Waktu saya tinggal di Amerika, saya sering berkebun dan menanam beberapa sayur-sayuran, seperti: kol, tomat, mentimun, paprika, dll. Penanaman ini mulai dari pot kecil-kecil, yang kemudian diisi dengan biji-biji sayuran yang diinginkan. Kemudian biji-biji tersebut dijaga kelembabannya, sehingga berakar dan berkembang menjadi tunas-tunas. Setelah agak besar, tunas-tunas tersebut dipindahkan ke kebun. Di kebun inilah tunas-tunas yang baru harus menghadapi begitu banyak tantangan, baik dari binatang – seperti burung maupun kelinci, dan yang paling berbahaya adalah dari tanaman-tanaman liar. Tanaman-tanaman liar inilah yang harus dengan teratur dibersihkan dan dicabut. Kalau sudah terlanjur besar dan memenuhi kebun, maka akan menghambat perkembangan sayur-sayuran, bahkan dapat membuat sayur-sayuran layu dan kemudian mati.

Kalau kita mencoba merefleksikan contoh di atas dengan kehidupan rohani kita, sebenarnya ada satu kemiripan. Tuhan memberikan biji dalam setiap hati manusia, yaitu kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Tuhan. Dan biji-biji ini bertumbuh menjadi tunas pada waktu kita menerima Sakramen Baptis. Dosa kita dihapuskan oleh Tuhan, dan kita berkembang menjadi suatu tunas yang merupakan gambaran Allah. Namun sama seperti tunas yang ditaruh di dalam kebun dan menghadapi tantangan dari tanaman-tanaman liar, setelah menerima Sakramen Baptis, kita juga harus menghadapi begitu banyak kejadian di dunia ini, yang seringkali bertentangan dengan ajaran Kristus. Tanaman liar yang membesar adalah dosa berat dan tanaman liar yang masih kecil-kecil adalah dosa-dosa ringan yang kita lakukan setelah kita dibaptis. Untuk mencabut dosa sampai ke akar-akarnya, Yesus sendiri sudah menyediakan rahmat pengampunan yang mengalir di dalam Sakramen Pengakuan Dosa. Kalau kita mengakukan dosa kita pada waktu dosa belum berakar dan menyebar, maka dengan mudah dosa akan dicabut sampai keakar-akarnya. Untuk inilah, maka diperlukan pengakuan dosa secara teratur.

Jadi apakah Sakramen Pengakuan Dosa?

Dari tujuh sakramen Gereja, 3 yang pertama – Baptis, Ekaristi, Penguatan – adalah sakramen inisiasi yang menjadi sakramen-sakramen dasar bagi kehidupan orang Kristen[1], dimana kita dipersatukan oleh Yesus di dalam Tubuh-Nya yang kudus. Kemudian Sakramen Perkawinan dan Imamat, adalah sakramen yang memberikan kita kekuatan untuk menjalankan misi di dunia ini dalam mencapai tujuan akhir, yaitu Kristus. Dan dua sakramen yang lain adalah Sakramen Urapan Orang Sakit dan Sakramen Tobat, yang diperuntukkan untuk kesembuhan baik fisik maupun rohani.[2]

Sakramen Tobat atau Pengakuan Dosa adalah sakramen yang diperuntukkan untuk memberikan berkat pengampunan dan kesembuhan dari Tuhan kepada anggota Gereja atas dosa-dosa berat dan ringan yang dibuat setelah menerima Sakramen Baptis.[3]

Kalau kita renungkan, Sakramen Tobat ini sungguh merupakan berkat dari Tuhan untuk mengantar kita kepada keselamatan kekal. Tuhan, di dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya mengetahui bahwa setelah kita menerima Sakramen Baptis, kita masih terus berjuang dalam mengatasi kelemahan-kelemahan kita akibat dosa asal, sehingga sesekali kita akan jatuh kembali kepada dosa yang berat. Untuk inilah maka Yesus menginstitusikan Sakramen Tobat untuk mempersatukan kembali umat Allah yang terpisah dari Allah karena dosa.

Mengapa mengaku dosa, kalau akhirnya juga berbuat dosa lagi?

Mungkin ada orang yang mengajukan keberatan, mengapa harus mengaku dosa, kalau toh kita juga akan melakukan dosa yang sama lagi. Atau orang mengatakan bahwa Sakramen Tobat adalah percuma, karena sama seperti anak yang bermain di lumpur, kemudian dibersihkan dan dimandikan, namun kemudian anak tersebuat bermain di lumpur lagi. Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa prinsip yang harus kita pegang:

  1. Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa setelah dibersihkan, maka seorang anak boleh bermain lumpur lagi, namun justru melarang anak tersebut bermain lumpur. Dengan kata lain, setelah diberikan pengampunan dalam Sakramen Tobat, maka yang mengakukan dosa harus dengan kebulatan hati dan dibantu dengan rahmat Tuhan untuk memperbaiki kehidupannya dan tidak akan berbuat dosa lagi, seperti yang termuat dalam doa tobat.[4]
  2. Namun anak itu akan bermain lumpur lagi setelah dibersihkan oleh ibunya. Bukankah ini percuma? Argumen seperti ini tidaklah mendasar. Hal ini sama seperti pernyataan “percuma makan, karena nanti juga lapar lagi.” Tentu saja orang tidak akan pernah memberikan pernyataan tersebut, karena tahu bahwa itu adalah pernyataan yang salah. Masalahnya adalah bukan pada Sakramen Tobat, namun pada manusia yang penuh dengan kelemahan. Sama seperti argumen di atas bahwa masalahnya bukan pada ibunya yang telah bersusah payah membersihkan anak itu, namun pada anak itu yang bermain lumpur lagi, walaupun sudah diperingatkan untuk tidak bermain lumpur lagi. Selama manusia masih mempunyai kehendak bebas, maka manusia masih bisa memilih untuk berkata tidak terhadap dosa, atau mengikuti kelemahannya dan berbuat dosa.
  3. Kalau begitu, sampai berapa kali anak yang bermain lumpur musti dibersihkan lagi, atau sampai berapa kali si pendosa musti diampuni di dalam Sakramen Tobat? Gereja Katolik menjalankan perintah Yesus yang dikatakan-Nya pada waktu Yesus menjawab pertanyaan rasul Petrus yang bertanya, sampai berapa kali dia harus mengampuni saudaranya yang berdosa kepadanya. Dan Yesus menjawab “Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat 18:22). Dengan kata lain adalah tak terbatas. Memenuhi pesan Yesus inilah, Yesus memberikan pengampunan – yang dipercayakan kepada Gereja – dalam Sakramen Tobat yang dapat kita hampiri setiap saat.

Apakah elemen penting dalam Sakramen Tobat?

Pada dasarnya ada dua elemen penting di dalam Sakramen Tobat, yang terdiri dari: 1) tindakan dari Allah, dan 2) tindakan dari manusia. Tindakan dari Allah merupakan penggerak utama dalam Sakramen Tobat[5], sedangkan tindakan dari manusia adalah merupakan jawaban atau respon manusia terhadap tindakan Allah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kasih dan belas kasih Tuhan adalah penggerak pertama dan utama untuk pertobatan manusia. Kasih dan belas kasih Tuhan juga menjadi dasar kepercayaan bagi pendosa untuk mendapatkan pengampunan dalam Sakramen Tobat, yang diwakili oleh para pastor dengan memberikan pengampunan atau absolusi. Untuk memperjelas doktrin dan pengajaran tentang Sakramen Tobat, kita akan belajar dari pertobatan anak yang hilang.

Menggali Sakramen Tobat dari Perumpaan anak yang hilang (Luk 15:11-32).

Mari kita menelaah Sakramen Pengakuan Dosa berdasarkan apa yang dipaparkan dalam perumpamaan anak yang hilang (Lukas 15:11-23)[6], karena proses pengakuan dosa adalah sama seperti perumpaan anak yang hilang.

(11) Yesus berkata lagi: “Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. (12) Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. (13) Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. (14) Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan iapun mulai melarat. (15) Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. (16) Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya. (17) Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. (18) Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, (19) aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. (20) Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. (21) Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. (22) Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. (23) Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. (24) Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria. (25) Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. (26) Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. (27) Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. (28) Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. (29) Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. (30) Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. (31) Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. (32) Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.

Mari kita menelaah dan membandingkan antara ayat-ayat tersebut di atas dengan pengajaran dan proses Sakramen Tobat.

Dua anak laki-laki yang telah dibaptis (11)

Ada beberapa interpretasi tentang anak sulung dan anak bungsu. Dalam bukunya Catena Aurea, St. Thomas mengutip beberapa bapa gereja, seperti: St. Agustinus, St. Cyril dari Yerusalem yang mengatakan bahwa anak sulung dapat diartikan sebagai bangsa Israel, sedangkan anak bungsu adalah orang yang tidak mengenal Allah (the Gentile).

Namun kita juga dapat melihat dua anak laki-laki sebagai gambaran akan keadaan umat Allah yang telah dibaptis, yang dipersatukan dalam keluarga Allah, di dalam Tubuh Kristus, yaitu Gereja. Hal ini dikarenakan anak sulung dan anak bungsu tinggal bersama-sama dalam satu rumah, sama seperti orang yang dibaptis menjadi anak Allah dan juga menjadi anggota Gereja. Orang yang dibaptis telah mengalami kehidupan baru, diangkat dari lumpur dosa dan memperoleh berkat yang berkelimpahan dari Allah, yaitu menjadi anak Allah di dalam Kristus Yesus. (lihat artikel: sudahkah kita diselamatkan?)

Bagikanlah apa yang menjadi hakku (12-13)

Namun walaupun kita telah dibaptis, kita sering mengatakan kepada Allah “Saya tahu persis apa yang terbaik bagiku, berikanlah kebebasan kepadaku untuk memutuskan segala perkara yang terjadi di dalam hidupku sesuai dengan keinginanku tanpa campur tangan dari Allah.” Dan inilah yang membuat manusia berdosa, yaitu pada saat menggantikan Tuhan atau Sang Pencipta dengan ciptaan, termasuk pemikiran kita yang sering salah. Untuk pembahasan terperinci tentang dosa, silakan membaca: Masih Perlukah Sakramen Pengakuan Dosa (Bagian 1). Berapa sering kita sering merasa bahwa pemikiran kita – yang mempunyai kecenderungan untuk mengambil keputusan yang memberikan kesenangan dalam hidup kita – adalah lebih baik dari ajaran dan dokrin Gereja. Berapa sering kita merasa lebih baik, lebih pintar, lebih tahu mana yang baik dan buruk dibandingkan dengan hukum Tuhan.

Sama seperti putera bungsu yang menjual seluruh bagian hartanya dan pergi ke tempat yang jauh, pada waktu kita berdosa, kita menginginkan untuk memperoleh kebebasan yang sebebas-bebasnya, walaupun itu melawan hukum Tuhan. Namun, kebebasan yang sebebas-bebasnya dan tidak terkontrol adalah bukan kebebasan namun perbudakan. Pada saat kita mengambil keputusan hanya berdasarkan keinginan untuk memuaskan kedagingan kita, maka kita menjadi budak dosa dan bukan orang yang bebas lagi (Rom 6:12-17). Dosa yang dilakukan terus-menerus adalah menjadi suatu kebiasaan yang membuahkan maut. Dan akan ada suatu titik, dimana setelah menyalurkan semua perbuatan dosa, pendosa akan merasakan suatu kekosongan, kesepian, dan sering diiringi dengan akibat yang fatal dari perbuatan dosanya. Sebagai contoh, pencuri menerima konsekuensi yang berat atas dosanya, seperti: dikucilkan dari pergaulan, keluar dari sekolah, dipenjara, dll. Hal ini disebabkan karena semua dosa tidak ada yang bersifat pribadi dan mempunyai konsekuensi. Inilah yang dialami oleh anak bungsu ini, dimana setelah menghabiskan hartanya, ia menjadi melarat (ayat 14).

Aku mau mengatasi sendiri semua dosaku (15-16)

Sama seperti anak bungsu yang mencoba mengatasi kemiskinannya dengan kekuatan sendiri, kita juga sering mencoba untuk mengatasi dosa kita dengan kekuatan sendiri. Dan sering ini hanya menambah keputusasaan, karena dengan kekuatan sendiri sungguh sangat sulit untuk keluar dari jeratan dosa, apalagi kalau dosa itu sudah menjadi suatu kebiasaan. Contoh yang paling jelas adalah St. Agustinus dari Hippo, yang mencoba dengan kekuatan sendiri untuk keluar dari kebiasaan dosa ketidakmurnian. Berkali-kali dia jatuh, sehingga keluarlah doa yang begitu benar namun sekaligus kontradiktif, yaitu “Tuhan berikan kepadaku kemurnian, namun jangan sekarang – Lord, grant me chastity, but not yet.”

Dengan berusaha sendiri tanpa bekerjasama dengan Tuhan, maka rahmat tersebut tidak berdaya guna (inefficacious). Namun pada waktu St. Agustinus benar-benar mempunyai kemauan yang kuat untuk lepas dari jeratan dosa dan berdoa meminta kekuatan dari Tuhan, maka rahmat Tuhan menjadi berdaya guna (efficacious). Di sinilah pentingnya kerjasama antara keinginan bebas kita (free will) dan rahmat Tuhan (grace) untuk menghasilkan pertobatan yang benar. Hanya berdasarkan free will dan kekuatan kita sendiri, maka kita tidak akan mampu untuk melepaskan diri dari jeratan dosa. Sebaliknya, rahmat Tuhan tanpa respon yang baik dari keinginan bebas kita, maka rahmat Tuhan tersebut tidak dapat menghasilkan buah. Hal ini bukan karena kesalahan Tuhan, namun karena kurangnya kerjasama dari kita, karena sebenarnya Tuhan telah menyediakan rahmat yang cukup untuk pertobatan kita. Rasul Paulus mengatakan bahwa cukuplah kasih karunia Tuhan baginya (2 Kor 12:9).

Oleh karena itu, tidak ada dosa yang terlampau besar bagi Tuhan untuk diampuni. Yang diperlukan oleh manusia untuk mendapatkan pengampunan dari Tuhan adalah pertobatan yang benar. Rasul Paulus mengatakan “….di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah” (Rom 5:20).

Pertobatan (17-19)

Pada saat manusia dirundung dosa, maka Roh Kudus terus bekerja untuk mengembalikan manusia kepada Tuhan. Dan inilah yang dialami oleh putera bungsu, yang pada akhirnya “menyadari keadaannya” (ayat 17). Pada saat pendosa menyadari keadaanya, bahwa dia telah meninggalkan harkatnya sebagai manusia baru, sebagai putera Allah, maka dapat dipastikan bahwa Roh Kudus sendirilah yang membimbing pendosa untuk melakukan pertobatan, karena Roh Kudus adalah Roh yang menunjukkan kepada dunia tentang dosa, namun juga Roh penghibur yang membimbing manusia kepada penyesalan dan pertobatan.[7] Malah, dapat dikatakan bahwa sebenarnya Allah sendirilah yang memberikan rahmat kepada manusia untuk menyadari akan dosa-dosanya dan dengan rahmat tersebut membuat manusia untuk kembali kepada Allah[8], jika manusia bekerja sama dengan rahmat Allah tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam pertobatan, Tuhan adalah penggerak utama yang membimbing manusia kepada Allah. Dalam tahap ini, Allah sudah menjalankan bagian-Nya yang paling penting dalam pertobatan manusia. Namun, manusia harus bekerja sama dengan rahmat ini. Dalam keadaan berdosa, jawaban terbaik manusia terhadap rahmat Tuhan adalah pertobatan. Di dalam proses Sakramen Tobat, ada tiga langkah[9] yang harus dijalankan oleh pendosa, yang terdiri dari: 1) penyesalan, 2) pengakuan, 3) penyilihan (penitensi). Kenapa harus ada ketiga hal ini? Karena kita berdosa kepada Tuhan dengan tiga cara: 1) dengan pikiran, 2) dengan perkataan, 3) dan dengan perbuatan. Katekismus Roma memberikan pernyataan yang indah tentang ketiga hal tersebut di atas.

Pertobatan mendorong pendosa untuk menerima segala sesuatu dengan rela hati: di dalam hatinya ada penyesalan, di mulutnya ada pengakuan, dalam tindakannya ada kerendahan hati yang mendalam atau penitensi yang menghasilkan buah”[10]

PENYESALAN

Di atas dikatakan bahwa penyesalan terjadi di dalam hati, dimana bapa gereja menyebutnya sebagai “animi cruciatus” (kesedihan jiwa), “compunctio cordis” (penyesalan hati). Penyesalan atau “contrition” atau “contritus” dalam bahasa Yunani adalah berarti dihancurkan berkeping-keping. Ini berarti, dalam penyesalan, hati yang penuh dengan kebencian, kegetiran, dan kesombongan dihancurkan berkeping-keping, sehingga menjadi remuk redam. Dan hati yang remuk redam karena telah menyedihkan Allah adalah sikap yang diinginkan oleh Allah, sehingga manusia dapat kembali kepada Allah (Maz 34:18; Maz 51:17; Yes 61:1). Lebih lanjut pemazmur mengatakan “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah” (Maz 51:19).

Kalau penyesalan atau kesedihan jiwa ini karena didorong oleh ketakutan akan hukuman Allah, maka ini disebut penyesalan tidak sempurna (attritio). Penyesalan ini belum dapat menghapus dosa berat, namun penyesalan ini dapat mengantar seseorang untuk menerima Sakramen Tobat dan menerima pengampunan dosa. Penyesalan yang lebih sempurna disebut “penyesalan sempurna” atau “sesal karena cinta” (contritio), yaitu penyesalan yang berdasarkan kasih kepada Allah. Penyesalan ini timbul karena telah menyedihkan hati Allah yang seharusnya dikasihi melebihi segala sesuatu di dunia ini. Penyesalan ini menghapuskan dosa ringan, dan dapat juga menghapuskan dosa berat jika disertai dengan keinginan untuk sesegera mungkin mengakukan dosa dalam Sakramen Tobat. Jadi kalau sampai seseorang mempunyai dosa berat dan mempunyai penyesalan sempurna, namun belum sempat mengakukan dosa tapi meninggal, maka orang tersebut telah dilepaskan dari dosa beratnya.

Di dalam penyesalan, kita harus berbalik kepada Allah. Ini berarti bahwa kita harus membenci dosa-dosa yang telah kita lakukan, mempunyai keinginan yang kuat untuk tidak melakukannya lagi di masa depan, dan percaya kepada belas kasihan Allah. Kita juga harus menaruh kepercayaan bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar bagi Allah untuk diampuni. Percaya kepada belas kasihan Allah satu hal yang penting, karena tanpa hal ini, maka penyesalan akan berakhir dengan tragis, seperti yang dialami oleh Kain[11] dan juga Yudas Iskariot.[12]

Dalam ayat 17, kata “menyadari keadaannya” memberikan makna yang dalam, karena ini berarti si bungsu menyadari akan situasi sebelum meninggalkan rumah dan situasi dalam kondisi berdosa. Jadi, dalam penyesalan, melalui intelek, kita tahu bahwa kita melanggar hukum Tuhan, dan melalui hati (the will), kita memutuskan untuk berbalik dari dosa kepada Tuhan. Kita menyadari dan membandingkan akan “situasi dalam rahmat Tuhan”, dimana kita mempunyai relasi pribadi yang baik dengan Tuhan dengan “situasi dalam dosa”, dimana kita kehilangan rahmat Tuhan dan dapat berakibat penderitaan abadi, jika kita tidak menyesalinya.

Keputusan si bungsu untuk pergi ke rumah Bapanya, memohon ampun dan menerima segala konsekuensinya adalah sikap “kerendahan hati“. Sikap inilah yang memungkinkan seseorang untuk dapat menerima berkat Tuhan yang berlimpah. Kita tidak dapat menerima pengampunan Tuhan tanpa dibarengi dengan kerendahan hati. St. Bernard mengatakan bahwa kerendahan hati adalah ibu dari keselamatan.[13] Katekismus Gereja Katolik menegaskan bahwa kerendahan hati adalah merupakan keharusan untuk menerima pengampunan.[14]

PENGAKUAN (21)

Si anak bungsu tidak saja berhenti dengan penyesalan dalam hatinya, namun dia benar-benar pulang ke rumah bapanya dengan ketetapan hati. Dan pada waktu bapa yang penuh kasih itu melihat puteranya datang, dia berlari dan merangkul anaknya (ayat 20). Dan pada saat inilah terjadi pengakuan yang keluar dari mulut si anak bungsu “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.” (ayat 22). Sama seperti perumpaan ini, kita sebagai pendosa, tidak hanya berhenti dengan penyesalan di dalam hati, namun dengan penuh keyakinan akan belas kasih Allah, kita menghampiri Sakramen Tobat dan kemudian dengan segala kerendahan hati mengakukan semua dosa-dosa kita di hadapan pastor yang mewakili Yesus.

ABSOLUSI atau PENGAMPUNAN (20-24)

Pada saat si bungsu mendekati rumah, maka tergeraklah hati ayahnya dengan belas kasihan (ayat 20). Saat kita menyesali dosa kita dan mempunyai keinginan untuk mengakukan dosa kita, sebenarnya ini adalah suatu dorongan dari Tuhan yang mengalir dari belas kasih-Nya kepada manusia. Belas kasih Tuhan inilah yang menjadi dasar, sumber kekuatan dan pengharapan dalam mendekati Sakramen Tobat. Kalau kita sering mengecewakan Tuhan, maka Tuhan tidak akan pernah mengecewakan kita. Kalau kita sering tidak setia kepada Tuhan, maka Tuhan akan tetap setia kepada kita, karena Dia tidak dapat mengingkari diri-Nya. (2 Tim 2:13). Dan pastor di dalam bilik pengakuan dosa harus mengikuti teladan Yesus, sang Gembala baik, sang penyembuh, yaitu mengembalikan umat yang berdosa kepada Kristus dan Gereja-Nya dengan cara memberikan pengampunan bagi yang sungguh-sungguh menyesali dosanya.

PENITENSI atau SILIH DOSA

Di dalam cerita anak yang hilang, memang tidak diceritakan penitensi yang diberikan oleh sang bapa. Namun kita melihat di ayat ke 18-19, bahwa si anak bungsu telah bersiap-siap untuk membuat pengakuan beserta dengan segala akibat yang harus dipikul. Dalam hal ini si bungsu bersedia untuk menjadi salah seorang upahan bapanya. Namun sang bapa, tergerak oleh belas kasihan, tidak membiarkan si bungsu meneruskan perkataannya untuk menjadi salah satu orang suruhan bapanya, namun dengan cepat sang bapa memberikan pengampunan yang berlimpah.

Di dalam Sakramen Tobat, kita juga harus bersedia untuk menerima penitensi yang diberikan oleh pastor. Kenapa harus ada penitensi? Sebagai gambaran, kita melihat contoh di atas tentang anak yang bermain lumpur, dia masuk ke dalam rumah meminta maaf kepada ibunya, dan ibunya kemudian memaafkan anaknya dan memandikannya sehingga bersih. Namun jejak kaki yang penuh lumpur masih tetap ada walaupun si anak sudah diampuni oleh ibunya. Nah, penitensi atau silih dosa adalah suatu tindakan untuk mencoba membayar atau memperbaiki apa yang telah rusak akibat dosa. Dalam contoh di atas, maka si anak harus menjalankan penitensinya, yaitu membersihkan lantai yang kotor oleh lumpur. Kalau seseorang mengaku dosa mencuri barang tetangganya, maka sebagai penitensi, pastor dapat menyuruh orang tersebut untuk berdoa, namun juga disertai tindakan untuk mengembalikan barang yang dicuri kepada tetangganya. Penitensi biasanya dapat berupa doa, puasa, maupun perbuatan baik.[15]

Efek dari Pengakuan Dosa.

Sama seperti ayah dalam cerita anak yang hilang yang menyuruh hamba-hambanya, maka dalam Sakramen Tobat, Tuhan menyuruh hamba-hamba-Nya, para pastor untuk memberikan jubah yang terbaik, cincin, dan sepatu kepada orang yang mengakukan dosa. Dan tiga karunia inilah yang kita dapat dalam Sakramen Tobat.

  • JubahJubah mengingatkan kita akan berkat pembaptisan, yang olehnya kita diubah dari manusia lama menjadi manusia baru di dalam Kristus. Kita diberikan jubah yang melambangkan Kristus, dimana rasul Paulus mengatakan kenakanlah Yesus sebagai perlengkapan senjata terang (Rom 13:14). Sama seperti si bungsu yang berpakaian kotor karena bergelimang dosa dan sekarang menerima jubah dari sang ayah, maka dalam Sakramen Pengampunan, kita juga mengenakan kembali jubah baptisan, yang membuat kita dalam kondisi dimana rahmat Tuhan kembali bertahta dalam hati kita (state of grace). Sama seperti pada waktu kita dibaptis, kita dipersatukan dengan Tuhan dan Gereja, maka dalam Sakramen Tobat, kita juga dikembalikan dalam persatuan dengan Allah dan Gereja yang dirusak oleh dosa yang kita buat.[16]
  • Cincin – Cincin melambangkan akan suatu martabat. Dalam Sakramen Tobat, kita kembali menerima martabat kita sebagai anak Allah yang hilang karena dosa kita. Martabat dimana membuat kita tidak lagi menjadi budak dosa dan hanya menuruti keinginan daging, namun menjadi manusia baru yang dihidupkan kembali oleh Allah (Rom 6:12-13). Ini berarti setelah menerima cincin, kita juga diharapkan untuk benar-benar menjaga martabat kita sebagai anak Allah.
  • Sepatu – Si bungsu menerima sepatu, yang melambangkan agar dia dapat berjalan tanpa tersandung dan kotor. Dalam Sakramen Pengampunan, kita juga menerima sepatu, rahmat Tuhan, yang membuat kita menjadi kuat untuk mengarungi kehidupan di dunia ini. Ini juga mengingatkan kita bahwa “seorang Kristen berada di dunia ini, namun bukan dari dunia ini“, karena tempat persinggahan terakhirnya adalah di surga.

Sama seperti si ayah memerintahkan hambanya untuk memberikan jubah, cincin, dan sepatu, sebagai tanda yang nyata (terlihat, tersentuh), maka Yesus juga memberikan berkat Sakramen Tobat, sehingga pendosa juga dapat menerima pengampunan secara nyata dari Yesus lewat pastor. Mungkin perlu kita renungkan, bagaimana seorang pendosa yakin bahwa dosanya telah diampuni oleh Yesus kalau si pendosa memohon ampun secara langsung kepada Tuhan? Yesus tahu hakikat manusia, yang membutuhkan pernyataan pengampunan yang nyata, yang dapat dialami oleh panca indera manusia. Oleh sebab inilah, Yesus memberikan rahmat Sakramen Tobat, yang olehnya pendosa mendapatkan pengampunan yang pasti.

Kristus sebagai sumber perdamaian antara pendosa dan Allah Bapa

Di ayat ke 23, dijelaskan suatu misteri, di mana lembu tambun harus disembelih, dimakan, sehingga semuanya dapat bersukacita. Lembu tambun ini adalah Kristus[17], yang dengan sengsara, wafat, dan kebangkitannya, Yesus menjadi sumber sukacita semua orang, karena melalui dia dimungkinkan persatuan kembali antara pendosa dengan Allah. Perjamuan yang memberikan sukacita adalah perjamuan Ekaristi. Sama seperti si bungsu mendapatkan pengampunan dari bapanya terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam perjamuan dengan lembu tambun sebagai persembahan, orang yang melakukan dosa berat juga harus mendapatkan pengampunan di dalam Sakramen Tobat untuk dapat turut serta dalam perjamuan Ekaristi Kudus, dengan Yesus sebagai kurban persembahan yang tak bercela.

Si putera sulung yang iri hati (25-30)

Di dalam ayat 25-30, diceritakan tentang putera sulung yang iri hati, karena melihat putera bungsu yang berdosa telah diampuni, bahkan harkat martabatnya juga dipulihkan. Berapa banyak dari kita yang pernah berfikir bahwa sungguh mudah untuk mendapatkan pengampunan dari Tuhan. Kenyataannya memang mudah, dan Tuhan membuatnya menjadi begitu mudah. Namun hal yang mudah ini, menjadi sangat sulit karena kecongkakan hati kita.

Hal yang paling mudah adalah melihat contoh dari kehidupan sehari-hari. Sebagai orang tua, kita sering melihat bagaimana anak-anak bereaksi ketika mereka melakukan kesalahan. Sering kita minta agar mereka meminta maaf atau mungkin ditambah dengan hukuman yang lain, untuk menyadarkan mereka bahwa yang mereka lakukan adalah salah. Dan kalau anak tidak terbiasa untuk meminta maaf, maka mereka akan sangat sulit untuk mengatakan bahwa dia salah atau dia menyesal. Kalau anak kita mengatakan bahwa dia menyesal, maka sebagai orang tua kita tentu akan memaafkan mereka, walaupun kita tahu bahwa ada kemungkinan bahwa mereka suatu saat akan melakukan lagi.

Adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali (32)

Sang ayah memberikan kesimpulan tentang inti dari Sakramen Tobat, yaitu “adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali.” Mati karena terpisah dari Allah akibat dosa, seperti yang dikatakan oleh rasul Yohanes “…di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Hidup, karena dengan Sakramen Tobat, pendosa dipulihkan dengan Allah dan Gereja, sehingga persatuannya dengan Yesus dan Tubuh-Nya tetap terjaga. Dapat disimpulkan bahwa dalam Sakramen Tobat, pendosa menjadi kudus atau ” a sinner becomes a saint.”

Bagi saudaraku yang masih belum yakin bahwa Sakramen Tobat ini sungguh-sungguh diberikan oleh Kristus sendiri kepada Gereja-Nya, silakan membaca artikel: Masih perlukan Sakramen Pengakuan Dosa (bagian-2). Namun bagi umat Katolik, kita harus benar-benar mensyukuri sakramen ini dan juga harus secara teratur mengakukan dosa kita di dalam Sakramen Tobat, sehingga perjuangan kita untuk menjadi kudus dalam kehidupan sehari-hari semakin dikuatkan. Artikel selanjutnya dalam rangkaian tulisan Sakramen Tobat akan membahas tentang petunjuk praktis untuk mengaku dosa dengan baik.


CATATAN KAKI:
  1. KGK, 1212 []
  2. KGK, 1211 []
  3. KGK, 1446 []
  4. Kebulatan tekad untuk tidak berbuat dosa lagi tercermin dalam doa tobat yang harus diucapkan sebelum menerima absolusi. Dalam doa tobat dikatakan “Allah yang maharahim, aku menyesal atas dosa-dosaku. Aku sungguh patut Engkau hukum, terutama karena aku telah tidak setia kepada Engkau yang maha pengasih dan mahabaik bagiku. Aku benci akan segala dosaku, dan berjanji dengan pertolongan rahmat-Mu, hendak memperbaiki hidupku dan tidak berbuat dosa lagi. Allah yang mahamurah, ampunilah aku, orang berdosa. (Amin). []
  5. KGK, 1489 []
  6. KGK, 1439 []
  7. KGK, 1433 []
  8. KGK, 2000 – Selain rahmat habitual, Tuhan juga memberikan rahmat pembantu, “yakni campur tangan ilahi pada awal pertobatan atau dalam proses karya pengudusan.” []
  9. KGK, 1450-1460 []
  10. KGK, 1450.; Catholic Church , Roman Catechism (Pauline Books & Media, 1986), 2,5,21 []
  11. lih. Kej 4:13 – Kata Kain kepada TUHAN: “Hukumanku itu lebih besar dari pada yang dapat kutanggung.” []
  12. Mt 27:3 – “Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia.” Namun penyesalan ini tanpa dibarengi dengan kepercayaan akan belas kasihan Allah, sehingga berakhir pada penggantungan dirinya sendiri. []
  13. St. Bernard: Sermon on the Canticle of Canticles, 36. – 12th century []
  14. KGK, 1450 []
  15. KGK, 1494 []
  16. KGK, 1496 []
  17. Dalam Catena Aurea, St. Thomas Aquinas mengutip St. John Chrysostom (347-407), yang mengatakan bahwa lembu tambun tersebut adalah Kristus sendiri yang telah mengorbankan tubuhnya yang tanpa cela, yang juga menjadi sumber keselamatan bagi seluruh umat manusia. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamus Indonesia