- I. Jangan takut!
- II. Teks Matius 14:22-33 (Minggu ke-19, tahun A)
- III. Telaah dan interpretasi Matius 14:22-33
- 1. Latar belakang perikop
- 2. Karya kerasulan dan kehidupan doa adalah berbanding lurus (ay.22-23)
- 3. Gelombang kehidupan (ay.24)
- 4. Dalam badai, Yesus datang menyapa “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (ay.25-27)
- 5. Mata yang tertuju kepada Yesus (ay.28-32)
- 6. Pengakuan akan Kristus sebagai Anak Allah (ay. 33)
- IV. Mengarungi hidup dengan penuh iman dan pengharapan
I. Jangan takut!
Jangan Takut! Itulah perkataan Yesus kepada para murid yang ketakutan karena perahu mereka terombang-ambing badai (lih. Mat 22:27). Ketakutan membuat seseorang tidak dapat melihat segala sesuatunya dengan jelas, dan bahkan dapat mengaburkan iman. Namun, pandangan yang terus-menerus kepada Yesus dapat menguatkan iman, serta dapat memberikan pengharapan yang pasti kepada kita. Iman yang teguh membuat kita dapat melangkah dengan pasti dan pengharapan di dalam Yesus membuat kita terus bertahan untuk mencapai tujuan akhir. Oleh karena itu, mari kita menghadapi tantangan hidup maupun tantangan dalam karya kerasulan dengan memusatkan pandangan kita kepada Yesus, yang terus-menerus berkata, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”
II. Teks Matius 14:22-33 (Minggu ke-19, tahun A)
22. Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang.
23. Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.
24. Perahu murid-murid-Nya sudah beberapa mil jauhnya dari pantai dan diombang-ambingkan gelombang, karena angin sakal.
25. Kira-kira jam tiga malam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air.
26. Ketika murid-murid-Nya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru: “Itu hantu!“, lalu berteriak-teriak karena takut.
27. Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”
28. Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia: “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.”
29. Kata Yesus: “Datanglah!” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus.
30. Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: “Tuhan, tolonglah aku!”
31. Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”
32. Lalu mereka naik ke perahu dan anginpun redalah.
33. Dan orang-orang yang ada di perahu menyembah Dia, katanya: “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.“
III. Telaah dan interpretasi Matius 14:22-33
1. Latar belakang perikop
Perikop dari Mat 14:22-23 menceritakan Yesus berjalan di atas air, yang juga diceritakan di dalam Injil yang lain, yaitu: Mrk 6:45-52 dan Yoh 6:16-21. Peristiwa Yesus berjalan di atas air terjadi setelah penggandaan roti dan terjadi ketika perahu yang ditumpangi para murid tertimpa badai topan di danau Galilea. Danau Galilea atau danau Genesaret (lih. Luk 5:1) atau disebut juga laut Tiberias (lih. Yoh 6:1; Yoh 21:1) adalah danau yang cukup luas, yang kurang lebih lebarnya hampir mencapai 10 km dengan panjang hampir mencapai 26 km.[1] Kalau sebelumnya, banyak karya Yesus terjadi di sekitar danau Galilea, maka pada perikop ini, kita melihat bagaimana Yesus melakukan sesuatu yang melawan hukum alam, yaitu dengan berjalan di atas danau Galilea.
2. Karya kerasulan dan kehidupan doa adalah berbanding lurus (ay.22-23)
Menarik sekali, kalau kita simak, bahwa setelah Yesus melayani orang banyak, memberikan kesembuhan kepada mereka, serta mengadakan mukjizat penggandaan roti (lih. Mat 14:13-21), Dia menyuruh semua orang pergi termasuk juga para murid. Kemudian, Yesus pergi ke atas bukit, mengasingkan diri dan berdoa seorang diri. Ini berarti doa adalah merupakan unsur yang penting dalam pelayanan. Namun, pertanyaannya adalah mengapa Yesus, yang sungguh Allah perlu berdoa? Pertama, karena selain Kristus mempunyai kodrat sungguh Allah, Dia juga sungguh manusia. Kalau doa dapat didefinisikan sebagai “membuka keinginan kita kepada Tuhan, sehingga Dia dapat memenuhinya”[2], maka sungguh menjadi hal yang wajar, kalau Kristus yang juga sungguh manusia (di samping sungguh Allah) menyatakan keinginan-Nya kepada Allah Bapa. Kita dapat melihat bagaimana Yesus mengungkapkan keinginan-Nya dalam kodrat-Nya sebagai manusia, ketika Dia berdoa, “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!” (Mat 26:42; bdk. Mrk 14:36; Luk 22:42).
Alasan kedua bahwa Yesus berdoa adalah untuk kepentingan manusia. Yesus dapat saja berdoa dalam hati, namun Dia ingin menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya sebagai manusia kita berdoa, yaitu bahwa kita harus senantiasa tunduk kepada kehendak Allah Bapa, meskipun di dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Yesus berdoa tanpa henti, untuk mengajar manusia senantiasa berdoa di dalam segala kesempatan tanpa henti (lih. Mt 26:36; Mk 14:32; Lk 3:21; 6:12;Lk 9:18, 28; Lk 11:1-2; Lk 18:1). Yesus mengajarkan kepada manusia bahwa di dalam doa yang terpenting adalah untuk mengikuti kehendak Tuhan, seperti yang dikatakan-Nya dalam doa-Nya di Taman Getsemani, dimana Dia berkata “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” (lih. Mt 26:36; Mk 14:32-36). Yesus mengajarkan doa yang sempurna, yaitu doa Bapa Kami, yang terdiri dari tujuh petisi (lih. Mt 6:9-13). Yesus menunjukkan bahwa di dalam setiap percobaan, Tuhanlah yang menjadi kekuatan, seperti yang ditunjukkan oleh Yesus di dalam drama penyaliban (Mt 27:46; Mk 15:34; Lk 23:46). Yesus juga mengajarkan pentingnya untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita, seperti yang ditunjukkan oleh Yesus dengan berdoa, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (lih. Lk 23:34) Dan masih begitu banyak contoh yang lain, yang mengajarkan kita, para murid Kristus agar mengetahui bagaimana caranya untuk berdoa, karena Tuhan sendiri – melalui Kristus – telah menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya berdoa.
Yang menjadi bahan permenungan kita adalah, Yesus yang sungguh Allah dan sungguh manusia menunjukkan pentingnya doa. Yesus ingin menunjukkan kepada kita bahwa doa adalah merupakan sumber kekuatan bagi kehidupan umat beriman. Dan terutama doa harus menjadi sumber kekuatan bagi umat Allah yang melakukan karya kerasulan. Dapat dikatakan bahwa relasi antara kegiatan pastoral dan spiritualitas adalah tak terpisahkan dan dapat dibandingkan seperti kodrat manusia, yang terdiri dari tubuh dan jiwa, di mana kegiatan pastoral adalah seumpama tubuh dan spiritualitas adalah seumpama jiwanya. Sama seperti tubuh tunduk terhadap jiwa, maka setiap karya pastoral harus mengalir dari spiritualitas. Karya pastoral yang tidak berakar pada spiritualitas atau kehidupan rohani adalah sama seperti tubuh tanpa jiwa. Tanpa ada kehidupan rohani di dalamnya, hanya tinggal menunggu waktu, maka kegiatan pastoral akan mati dengan sendirinya. Jadi, karya pastoral mensyaratkan kehidupan rohani para pelakunya, sehingga dapat menghasilkan buah- buah yang limoah, dan menghantar semua yang terlibat di dalamnya kepada kekudusan.
3. Gelombang kehidupan (ay.24)
Kehidupan rohani yang terbangun dari kehidupan doa dan sakramen menjadi sangat penting, karena begitu banyak gelombang yang menimpa kehidupan kita. Tanpa kehidupan doa yang baik, maka perahu kehidupan kita juga akan goncang. Tanpa kehidupan doa yang baik, maka perahu karya kerasulan kita juga akan tergoncang. Bahkan, kalau perahu adalah lambang Gereja, tanpa kehidupan doa yang baik dari anggota Gereja, maka Gereja juga akan tergoncang. Dan inilah yang terjadi ketika terjadi masa-masa sulit dalam sejarah Gereja. Namun, Tuhan yang telah berjanji untuk melindungi Gereja-Nya sampai akhir zaman (lih. Mat 16:18; Mat 28:19-20), tidak pernah meninggalkan Gereja Katolik, sehingga pada saat-saat yang sulit, Tuhan mengirimkan santa-santo yang turut membangun Gereja dari dalam.
4. Dalam badai, Yesus datang menyapa “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (ay.25-27)
Cara Tuhan untuk menyelamatkan seseorang dalam kesulitan atau Gereja yang dalam krisis sering dengan cara yang tidak disangka-sangka. Dalam perikop ini diceritakan bahwa Yesus datang kepada para murid yang sedang panik karena terjangan badai, pada waktu dan cara yang tidak tidak umum. Yesus datang pada jam tiga (the fourth watch of the night) dan dengan cara berjalan di atas air. Sistem jam Yahudi kuno adalah dibagi tiga, yang setiap bagiannya terdiri dari empat jam (lih. Rat 2:19; Hak 7:19; Kel 14:24). Namun, Matius 14 menceritakan bahwa Yesus datang pada “the fourth watch of the night“, yang mengindikasikan sistem waktu bangsa Romawi. Pada petang hari, mulai jam 6 sore sampai jam 9, adalah masa jaga pertama, yang disusul dari jam 9-12, dan jam 12 malam – 3 pagi, dan masa jaga ke-empat adalah mulai jam 3 sampai jam 6 pagi. Dari perhitungan ini, Kitab Suci Bahasa Indonesia menterjemahkan “the fourth watch of the night” sebagai jam tiga malam. Dengan kata lain, Yesus datang pada saat waktu jaga terakhir.
Bayangkan bahwa para murid mungkin berjuang semalam suntuk di kapal dari terjangan ombak dan badai. Mungkin mereka menyadari bahwa guru mereka tidak bersama mereka, sehingga mereka tidak dapat meminta tolong kepada-Nya (lih. Luk 8:22-25). Pada saat gawat seperti ini dan pada waktu yang sungguh sulit dan tak terduga, mereka melihat sosok yang berjalan di atas air, sehingga mereka mengira bahwa itu adalah hantu (ay.26). Namun, kemudian Yesus berkata kepada mereka, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (ay.27) Kata “tenang” atau tharséō sering dipakai Yesus ketika Dia menguatkan orang-orang sakit yang datang kepada-Nya. Dia mengatakan kepada orang lumpuh (lih. Mat 9:2) dan kepada perempuan yang telah dua belas tahun menderita pendarahan (lih. Mat 9:22) agar mereka tenang, percaya, sehingga mereka dapat memperoleh kesembuhan. Bahkan Yesus mengatakan lebih lanjut, “Imanmu telah menyelamatkan engkau.” Dari sini kita dapat belajar, bahwa dalam kondisi tanpa harap, kita dapat terus berharap kepada Yesus. Yang diperlukan adalah kepercayaan bahwa Yesus akan membantu kita, dan tidak akan pernah membiarkan kita untuk menghadapi permasalahan hidup sendirian. Kata tharséō juga digunakan oleh Yesus ketika Dia mengatakan kepada para murid bahwa jangan sampai mereka takut kalau terjadi penganiayaan di dunia ini (lih. Yoh 16:33); serta dipakai ketika Yesus mengatakan kepada Rasul Paulus agar jangan takut untuk bersaksi (lih. Kis 23:11). Ini berarti dalam menghadapi masalah kehidupan, masalah kesehatan, dan juga masalah-masalah yang harus dihadapi dalam menjalankan karya-karya kerasulan, seseorang harus terus bersandar kepada Yesus, sehingga Yesus dapat terus memberikan kekuatan. Kita harus senantiasa mengingat perkataan Yesus, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”
5. Mata yang tertuju kepada Yesus (ay.28-32)
Mendengar perkataan Yesus serta mengenali sosok dan suara Yesus, para murid mendapatkan ketenangan. Namun, bagi orang yang mengasihi, ketenangan saja tidaklah cukup. Orang yang mengasihi senantiasa ingin bersatu dengan orang yang dikasihinya. Petrus, yang mengasihi Yesus mengatakan, “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” (ay.28) Sungguh pernyataan yang terdengar berani dan mungkin cenderung terburu-buru. Namun, St. Hilarius dan St. Krisostomus melihat dari sisi yang berbeda, yaitu Petrus dipenuhi dengan kasih dan iman akan Kristus. Kasihnya membuat Petrus ingin cepat bersama dengan Yesus yang saat itu masih berjalan di atas air dan imannya membuat Petrus percaya bahwa Yesuslah yang berjalan di atas air, serta percaya bahwa Yesus dapat memberikan kekuatan yang sama kepada orang lain.
Melihat kedalaman hati Petrus, maka Yesus menjawab “Datanglah!” (ay.29), sama seperti Kristus melihat kedalaman iman dari orang lumpuh dan wanita yang sakit pendarahan. Terhadap orang yang sakit ini, Yesus lebih lanjut mengatakan “Imanmu telah menyelamatkan engkau”, “dosamu telah diampuni”. Namun, terhadap Petrus, Yesus berkata “Datanglah”. Dan dengan mata yang terus tertuju kepada Yesus, Petrus turun dari perahu, menapakkan kakinya dan kemudian berjalan di atas air mendapatkan Yesus. Imanlah yang membuat seseorang berani untuk meninggalkan apa yang dia punyai, melepaskan apa yang dia pegang, meninggalkan daerah nyamannya, dan kemudian melangkah ke sesuatu yang mungkin lebih sulit, lebih tidak nyaman, namun, dengan mata terus tertuju kepada Yesus. Karena imanlah Abraham mau meninggalkan yang dia miliki untuk menuju tanah terjanji; dan karena imanlah Musa mau pergi menghadap ke Firaun dan memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Tokoh-tokoh Kitab Suci ini mau melakukan perintah Tuhan, karena mereka berpegang pada Sabda Allah. Demikian juga dengan Petrus, yang dengan berani menapakkan kakinya ke luar perahu, untuk berjalan di atas air, karena Yesus, yang adalah Sang Sabda, telah berkata kepadanya, “Datanglah!” Dengan demikian, selama seseorang memusatkan perhatian pada Sabda atau Kristus, maka dia akan dapat mengarungi badai kehidupan.
Ketika Petrus tidak lagi berfokus pada Yesus, namun pada apa yang terjadi di sekitarnya, pada tiupan angin, maka hatinya dipenuhi dengan kebimbangan dan ketakutan. St. Thomas Aquinas mendefinisikan takut sebagai penarikan diri dari kejahatan yang mengancam yang sulit diatasi.[3] Dengan demikian, ketakutan dari Rasul Petrus bersumber pada kejahatan atau ancaman yang terjadi di sekelilingnya. Dan pada saat seseorang berfokus pada ancaman serta melupakan apa yang baik yang berada di depannya, maka iman dan harapan seolah-olah menjadi kabur. Dia melupakan apa yang menjadi dasar dari langkah kehidupannya dan tidak lagi melihat bahwa sesuatu yang baik adalah mungkin untuk dicapai. Karena ancaman sekitarnya, Rasul Petrus melupakan bahwa dasar dia berjalan di atas air adalah karena kekuatan dari Sabda Kristus, dan tujuan dari dia berjalan di atas air adalah untuk mendekat dan bersatu dengan Kristus. Kehilangan dasar (iman) dan tujuan (harapan), membuat Rasul Petrus ketakutan dan kemudian mulai tenggelam.
Lawan dari ketakutan adalah keberanian (audacity), yaitu sikap berani untuk menghadapi tantangan atau ancaman. Keberanian dalam menghadapi tantangan kehidupan bukanlah bersumber pada diri kita, namun pada Kristus sendiri. Inilah sebabnya, ketika kita takut, maka kita perlu membangkitkan kembali sumber kekuatan kita, yaitu Kristus sendiri. Inilah yang dilakukan oleh rasul Petrus, ketika dia berteriak, “Tuhan, tolonglah aku!” (ay.30) Dan pada saat kita meminta tolong kepada Tuhan, ketika kita mengangkat tangan kita, maka Tuhan menghampiri kita, memegang tangan kita dan menarik kita dari keterpurukan kita, sama seperti Kristus kemudian mengulurkan tangan-Nya (ay.31). Ketika Kristus mengulur tangan-Nya, Dia menghapus semua kebimbangan dan ketakutan Petrus, dan kemudian Kristus membawa Petrus naik ke perahu (ay.32). Sungguh menarik bahwa ketika Yesus menghapus ketakutan dan kemudian naik perahu bersama mereka, maka dikatakan bahwa anginpun reda. Hanya ketenangan di dalam Tuhanlah yang dapat meredakan ketakutan kita.
6. Pengakuan akan Kristus sebagai Anak Allah (ay. 33)
Pengalaman akan Kristus yang sungguh mampu untuk melakukan mukjizat baik yang mampu melakukan kesembuhan-kesembuhan, memperbanyak roti, menguasai kekuatan alam, serta membuat Petrus dapat berjalan di atas air serta menolongnya ketika dia tenggelam, membuat para rasul menyembah Yesus dan mengatakan, “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.” Sebelumnya, para murid kebingungan akan identitas Yesus ketika Yesus meredakan angin ribut, sehingga mereka terheran-heran dan bertanya, “Orang apakah Dia ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?” Namun, pada kejadian ini, mereka menyadari bahwa guru mereka adalah Anak Allah. Pernyataan akan ke-Allahan Kristus ini juga diulangi oleh Petrus di Matius 16:16, yang dilanjutkan dengan pemberian kuasa oleh Kristus kepada Rasul Petrus untuk memegang kunci Kerajaan Sorga.
IV. Mengarungi hidup dengan penuh iman dan pengharapan
Perikop Yesus berjalan di atas air memberikan pelajaran kepada kita, agar kita senantiasa menaruh kepercayaan kita kepada Yesus, sehingga kita dapat mengarungi gelombang kehidupan dengan penuh iman dan pengharapan. Tanpa iman dan pengharapan di dalam Kristus, kehidupan kita akan terpusat pada masalah dan gelombang. Namun dengan iman dan pengharapan, kita akan dapat melalui gelombang kehidupan dengan ketenangan dan damai.
CATATAN KAKI:
- lih. Josephus, Bell. Jud. 3, 18. [↩]
- Thomas Aquinas, Summa Theology, q. II-II, 83, a.1-2 [↩]
- St. Thomas Aquinas, Summa Theology, I-II, q.23, a.4 [↩]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar