Kalender Liturgi

Selasa, 03 Februari 2009

arsipLAMA2

SUATU KETIKA TEMBOK – TEMBOK HARUS DIRUNTUHKAN

Setelah Perang Dunia Kedua banyak negara di Asia membebaskan diri dari penjajah dan menjadi negara merdeka. Perjuangan ini dilaksanakan oleh gerakan masa yang hampir selalu diawali oleh kelompok-kelompok atau perkumpulan agama.

Yang dimaksudkan dengan agama, dalam pembicaraan ini, tidak dipandang dari sudut ajaran-ajarannya ataupun dari bentuk kelembagaannya, melainkan dilihat sebagai suatu sistem sosial (bdk., Maduro, hal .7). Dalam sistem sosial ini makna dan nilai-nilai hidup manusia dipakai sebagai titik acuan untuk seluruh kenyataan. Oleh karena itu agama diharapkan memberikan pesan mengungkapkan makna hidup manusia, dan memberikan cara serta sarana mengintegrasikan pesan itu dalam hidup sehari-hari (bdk., Maduro, hal. 41-43). Pembicaraan ini akan dibatasi mulai sekitar permulaan abad ini sampai dengan kemerdekaan.

Gelombang Pertama

Pada jaman kolonial ini bangsa yang dijajah tidak diakui haknya dan sahnya sebagai suatu bangsa. Melalui sistem pendidikan diperkenalkan nilai-nilai asing yang memuat pola pikir masyarakat ‘disesuaikan’ dengan pola pikir penjajah, bahkan seperti di Filipina masyarakat tercerabut dari akar budaya setempat. Agama yang dianut penduduk merasa tertanam oleh kehadiran agama lain yang dibawa oleh penjajah. Keterasingan penduduk dari sesuatu yang sangat berarti bagi eksistensi mereka melahirkan krisis jati diri.

Kenyataan pahit ini menimbulkan reaksi terhadap segala sesuatu yag berbau asing. Agama mengambil peran penting dalam gelombang reaksi anti penjajahan. Bersama dengan budaya, agama membuka mata banyak pemuda dan membangun ‘rasa senasib’. Kelompok-kelompok atau organisasi kecil, yang pada awalnya berorientasi keagamaan ini, perlahan-lahan berkembang menjadi gerakan pemuda yang berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, misalkan: kelompok Arya Samadjh dan Brahma Samadjh berkembang menjadi gerakan pemuda yang secara radikal memperjuangkan kemerdekaan India, Persatuan Pemuda Buddhist berkembang menjadi gerakan pemuda nasiaonalis Burma (bdk., Mehden, hal. 154), atau Boedi Oetomo yang semula Persatuan Dokter Jawa (bdk., van Niel, hal. 70-102 dan 145-165) dan Sarekat Islam yang semula merupakan persatuan para pedagang Islam (bdk., Larson, hal. 40-77) yang kemudian menjadi pelopor-pelopor gerakan kemerdekaan Indonesia.

Peran pokok agama dalam gerakan ini menciptakan identitas bersama, khususnya membantu pengembangan keyakinan dan nilai-nilai yang dianut bersama dan memberikan perasaan solidaritas sosial. Konsep-konsep umum tentang sesuatu yang diinginkan dan kriteria untuk menentukan tindakan yang akan diambil itu ditegaskan di dalam norma-norma, yang memperlihatkan hak dan kewajiban untuk mewujudkan nilai-nilai itu. Simbol-simbol pada seni, upacara dan mitos sangat jelas mengungkapkan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut masyarakat (bdk., Gremillion, hal. 157-158; 160-161). Dengan simbol-simbol seperti bendera, lagu kebangsaan dan cerita kepahlawanan nilai-nilai yang abstrak ini menjadi hangat bagi masyarakat. Dengan kata lain nilai, norma dan simbol digunakan untuk mengesahkan masa lampau, menerangkan perilaku masa kini dan menyeleksi pilihan-pilihan di masa depan. Oleh karena melakukan hal tersebut maka ketiganya memberikan makna, solidaritas dan identitas bersama (bdk., Alwi, hal. 49-50). Termasuk di dalamnya usaha merumuskan hubungan antara segala sesuatu yang asli dan lokal dengan hal-hal asing yang datang dari luar.

Pengalaman bersama sebagai bangsa terjajah dan agama serta budaya memperkuat perasaan solidaritas internal. Solidaritas ini mendorong timbulnya harapan akan kemerdekaan yang diartikulasikan dalam kerangka sosial dan dunia saat ini, dan bukan dalam pengertian individualistik, ritualistik maupun dunia yang akan datang.

Gelombang Kedua

Setelah kemerdekaan setiap bangsa mengharapkan kemajuan, yang digambarkan dengan jalan-jalan lebar dan mulus, harga sandang dan pangan murah, gedung-gedung yang megah mencuat ke langit ataupun peningkatan Gross National Product. Gambaran ini sangat dipengaruhi oleh pandangan tentang model pembangunan tertentu, yakni pembangunan yang mengutamakan perkembangan ekonomi. Pada masa ini strategi penciptaan identitas bersama lebih mementingkan proses “kesamaan dalam keanekaragaman”. Loyalitas pada agama, suku maupun daerah hidup berdampingan dengan loyalitas bangsa. Dalam ekspresi budaya para pemimpin nasional terus menerus menekankan pentingnya kesatuan berdasarkan kesepakatan akan tujuan akhir bersama bukan pada keseragaman, sebab masyarakat lebih memiliki keanekaragaman daripada persamaan kepentingan. Maka kelompok agama dan primordial lainnya diusahakan untuk mendapat peluang ambil bagian dalam organisasi dan aktif melalui struktur perwakilan (Mehden, hal. 173-174).

Harapan dan strategi di atas kerap kali harus bertabrakan dengan kenyataan maupun pengalaman yang mencabik-cabik kesatuan, misalkan pemberontakan suku atau agama, munculnya jurang kaya – miskin atau sistem yang ditiru dari bekas negara penjajah ternyata tidak selalu tepat dan bermanfaat. Di dalam kenyataan ini mengapa agama lebih sering tidak mampu memberikan penjelasan (menyampaikan pesan) yang memuaskan.

Pertama, ajaran agama kurang dapat mengikuti perubahan-perubahan yang cepat dalam masyarakat, sehinga cenderung memihak kelompok yang mapan. Maka dari itu agama lebih berbicara tentang hal-hal di masa mendatang karena tidak menangkap signal-signal yang terpancar dari bawah (bdk., Maduro, hal. 122-125). Dengan dalih demi memajukan kehidupan beragama dan untuk mempertahankan kebudayaan asli, maka kelompok-kelompok agama mendapat banyak bantuan dari pemerintah, misalkan untuk upacara-upacara, membangun atau memperbaiki rumah ibadat dan sebagainya (bdk., Mehden, hal. 115-128). Maka gejolak penganut agama dari lapisan bawah kerap kali dianggap suara dari padang gurun.

Kedua, gagasan mengenai kemajuan dan bagaimana mencapainya sangat dipengaruhi oleh filsafat sekular. Di satu pihak ideologi dan filsafat ini memiliki hubungan dengan sistem yang berlaku dalam masyarakat, sedangkan para pemimpin merupakan bagian dari sistem dan memperoleh keuntungan dari sistem yang berlaku. Di lain pihak filsafat ini lebih mampu memberikan tanggapan mengenai permasalahan kongkret dalam masyarakat, memberi tawaran-tawaran jalan keluar yang lebih masuk akal. Oleh karena itu masyarakat lebih senang menoleh kepada filsafat sekular daripada kepada agama.

Ketiga, banyak pemimpin nasional berbicara atas nama agama hanya di bibir saja, bahkan kerap kali mereka memanipulasi agama demi tujuan yang menguntungkan mereka, misalnya demi persatuan nasional, untuk mengesahkan pemerintah (legitimasi) dan sebagainya (bdk., Mehden, hal. 160-163). Perilaku mereka ini dilatarbelakngi pendidikan dan pengalaman mereka yang pada hakikatnya sekular, di samping itu penghayatan agama mereka tidak berkembang sejalan dengan perkembangan intelektualitas mereka. Mereka menganggap agama bukan sebagai sesuatu yang mampu menjelaskan tentang perubahan yang terjadi, agama tak relevan dan pasif. Mereka menggambarkan agama sebagai “ruang khusus dan indah dalam suatu bangunan yang harus dipelihara”. Mereka sendiri tetap di luar dan tak mau masuk ke dalamnya, sebab mereka tahu dalam ruangan itu senantiasa ada tuntutan terhadap siapa-siapa yang masuk ke dalamnya. Risiko ini terlalu berat dan membahayakan kedudukan yang telah memberikan keuntungan, ini ciri utama kaum elite sekular yang mewarisi kekuasaan (bdk., Mehden, hal. 173). Unsur-unsur radikal dalam agama boleh tetap dalam ruangan itu, boleh dikagumi, sering dikramatkan, sehingga agama menjadi lumpuh karena kehilangan elan yang merupakan ciri dasar kemunculan agama-agama itu.

Pada gelombang kedua ini, agama mendapat saingan dari berbagai ideologi, misalkan komunisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme yang kadang-kadang muncul dengan sifat-sifatnya yang konservatif, lieberal maupun radikal. Dalam kondisi diatas, agama sering mengadakan kolaborasi dengan kaum konservatif dan dengan tegas menentang kelompok radikal (kasus khusus di Indonesia dengan Nasakom. Lihat, Mehden, hal. 160-163). Kelompok liberal pada umumnya sedikit jumlahnya, terdiri dari kaum terpelajar. Di lain pihak kelompok radikal sering mempraktekkan apa yang disebut “agama politik”, yakni praksis mempergunakan gagasan dari agama yang dirumuskan dalam simbol-simbol, misalnya slogan, lagu perjuangan maupun poster. Simbol-simbol ini akan memberi pengaruh kuat pada kesempatan hari besar umum, upacara nasional maupun acara-acara khusus, sebab pada kesempatan ini ditegaskan kembali nilai-nilai kelompok dominan.

Meskipun perkembangan nilai-nilai sekular pesat tetapi tidak sepenuhnya dapat meniadakan nilai-nilai sakral. Di satu pihak upacara-upacara politik dilaksanakan untuk melestarikan solidaritas dalam masyarakat, di lain pihak struktur-struktur agama dipakai untuk pelbagai fungsi, antara lain dalam pendidikan dan pengeramatan peristiwa-peristiwa atau tempat-tempat bersejarah. Agama politik ini juga menetapkan: sifat-sifat pribadi yang nasionalis, bentuk umum masyarakat ideal, tujuan moral yang harus diraih dan aturan perilaku serta mendorong keterlibatan total pada organisasi. Maka dari itu perubahan sosial lebih diarahkan untuk melawan rejim yang berkuasa, yang dalam kacamata rakyat telah mengingkari tujuan dan kesepakatan bersama.

Gelombang Ketiga

Usaha merevisi praksis kehidupan bernegara ternyata tidak selalu menghasilkan perubahan sasial yang diharapkan, bahkan kerap kali rejim yang berkuasa menjadi lebih otoriter, sebab merasa terganggu oleh gagasan-gagasan tentang kemajuan dari bawah. Di satu pihak para pemimpin mengusahakan kemajuan dengan membangun sistem komunikasi modern, proyek-proyek yang lebih berorientasi eksport, dan segala usaha yang membutuhkan biaya dan modal yang luar biasa besarnya. Sementara itu rakyat mengalami infrastruktur transportasi yang maju tetapi sistemnya tetap sama, sarana pendidikan yang meningkat tetapi pelaku pendidikan tetap dalam mentalitas paternalistik. Kesenjangan ini tetap semakin membuat cemas apabila “biaya modernisasi” tidak hanya menyangkut hal material tetapi juga dengan pengorbanan banyak hal yang non-material, yaitu keadilan, kebebasan, hak asasi maupun kedamaian. Keadaan ini semakin mencekam karena sudah dilihat oleh banyak orang akhirnya manusia sendiri, khususnya mereka yang di bawah, akan dikorbankan atas nama modernisasi.

Pada masa ini identitas bersama diperjuangkan melalui starategi asimilasi (proses persamaan). Strategi ini menekankan agar seluruh rakyat hanya mengakui satu sumber identitas bersama, yaitu Negara. Nilai lain yang berkaitan dengan unsur primordial harus dihilangkan. Pemimpin yang dominan menerapkan ideologi monistik. Dia menganggap dirinya sebagai penerima wahyu kepemimpinan. Maka, hanya dialah yang berhak dan mampu menentukan kehendak rakyat dan kepentingan umum yang harus dikejar oleh setiap orang. Untuk itu setiap konflik harus dicegah, setiap warga negara saling terkait (kohesi), harus mengutamakan kerjasama dan kesepahaman dengan pemimpin nasional. Bila ada orang atau kelompok yang memiliki sistem sosial yang berbeda dari sistem sosial yang dimiliki kelompok elite, harus ditindas bahkan dimusnahkan (bdk., George & Wilding, hal. 3-4).

Pemimpin nasional sebenarnya juga melihat kesenjangan dalam masyarakat dan ingin memecahkannya, namun mereka melakukan setengah hari sehingga muncul pemecahan kompromistis yang menyenangkan mereka dan yang membiarkan status quo. Di satu pihak mereka tidak dapat menerima terjadinya penindasan dan pemiskinan masal sebagai biaya status mereka yang khusus, sebab hal ini bertentangan dengan moralitas dan prinsip-prinsip politik yang berulang kali mereka nyatakan di depan umum. Namun, mereka menolak pemecahan yang radikal sebab hal itu dianggap terlalu ekstrim, padahal sebenarnya perubahan yang radikal itu mengancam status khusus mereka. Sikap ini melahirkan ideologi “menyalahkan korban” di tengah masyarakat. Ideologi ini dimanifestasikan dengan perbuatan murah hati kepada korban, mengutuk tekanan sosial dan lingkungan yang menyebabkan adanya korban itu serta menolak pengaruh kekuatan sosial yang menimbulkan korban terus menerus. Untuk membenarkan perbuatan itu maka dirancang tindakan sosial untuk mengubah korban, akan tetapi bukan mengubah masyarakat itu sendiri (bdk., George & Wilding, hal. 10).

Dalam kondisi ini reaksi yang muncul dalam masyarakat adalah “religiositas revivalism” (penyegaran agama). Gerakan ini mendorong kearah ‘penemuan kembali’ nilai-nilai dasar yang terkandung dalam agama untuk ditafsirkan kembali secara lebih masuk akal dalam konteks kehidupan masyarakat. Sifat gerakan ini ada dua, yaitu mengarah ke belakang, biasanya sangat reaksioner dan restorasionis, ingin mengembalikan tata masyarakat masa lalu tanpa memperhatikan perubahan yang telah terjadi; dan mengarah kedepan, biasanya sangat radikal dan trasformatif, ingin membangun tipe masyarakat baru dan sistem politik yang belum ada sebelumnya (bdk., Filbeck, hal. 137-170).

Dalam dua dekade terakhir ini ada dua contoh yang menarik. Pertama, revolusi Iran yang ingin membangun masyarakat Islam yang baru. Cukup lama Shah menjalankan pemerintahan yang represif dan otoriter. Shah dan konco-konconya menguasai hampir seluruh sendi bernegara Iran, dan membangun Iran secara modern dengan gaya Barat tanpa memperhatikan ‘sentimen’ rakyat. Rakyat yang secara umum masih terbelakang dan penganut aliran Syiah ini terkoyak luar dalam. Reaksi pertama muncul dari kalangan intelektual yang dipelopori oleh Ali Sariyathi. Gagasannya mengenai perubahan sosial sangat mempengaruhi kaum muda. Ancaman ini dirasakan sangat mengganggu oleh rejim Shah, sehingga ia dibunuh oleh Savak (polisi rahasia) tahun 1978. Dengan kepergiannya kelompok mullah (elite agama di Iran) menggerakkan kaum muda yang haus perubahan itu. Khomeini, yang mengendalikan gerakan ini dari luar negeri, berhasil memompa semangat revolusi luar biasa, dan akhirnya berhasil menggulingkan Shah. Khomeini, pemegang puncak kepemimpinan negara, berusaha membangun reruntuhan yang ditinggalkan Shah itu dengan bekal semangat revolusioner yang diramu dengan agama. Trend revolusi bergeser dari kaum intelektual ke kaum Mullah. Usaha kompromi dengan mengangkat Bani Sadr sebagai presiden pertama setelah revolusi, akhirnya gagal dan Bani Sadr diusir ke luar negeri. Makin lama jelas revolusi ini mementingkan kedahsyatan semangat dan mengabaikan ideologi serta infrastruktur intelektual. Akibatnya revolusi yang semula bermaksud mengatur kembali masyarakat Iran, kini telah beralih dengan proyek ambisius, yaitu membangun masyarakat dunia berdasar Islam. Revolusi ini akhirnya berkembang tanpa kontrol. Hal ini kentara bagaimana pemimpin revolusi itu melaksanakan kekuasaan yang dipegangnya. Revolusi Iran contoh klasik sebagai revolusi dengan semangat besar tetapi mengabaikan isi (bdk., Mehden, hal. 197-198).

Kedua, revolusi Filipina yang menghendaki perubahan agar masyarakat diatur lebih manusiawi. Pada awal periode kedua ketika cita-cita kesejahteraan umum makin jauh dari harapan, Marcos menggaet ‘crony’ (teman) dan memberikan banyak fasilitas, mengangkat banyak prawira tinggi dari suku (Ilocano) dan mulai menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara sistematis. Bahkan ‘the Iron Butterfly’, Imelda Marcos dan anak-anaknya makin merajalela lepas dari kontrol Marcos. Penderitaan dan kemiskinan ini melahirkan dua bentuk reaksi: pertama, gerakan bersenjata komunis dan kedua, gerakan yang mengambil inspirasi dari agama.

Di banyak barrio (dusun), khususnya yang terpencil, rakyat terjebak diantara kelompok yang berperang: New People Army (tentara komunis) melawan pasukan pemerintah. Lebih kerap lagi mereka harus dikorbankan demi perjuangan kedua belah pihak. Oleh karena itu pemimpin agama mulai membentuk kelompok yang dilatih untuk melayani pewartaan Injil. Kelompok-kelompok kecil di dusun-dusun itu berkumpul secara rutin dan mendalami Alkitab: mereka berlatih bersama mengartikan sabda dalam Alkitab itu pada situasi dan kondisi konkret dusun mereka dengan segala permasalahannya. Peristiwa-peristiwa besar dalam Perjanjian Lama ataupun hidup Yesus sendiri ditafsirkan kembali secara lebih rasional (bdk., Lamb, hal. 1-2; Bauckman, hal. 3-19). Kelompok-kelompok ini semakin berkembang ke seluruh Filipina.

Penafsiran ini juga memanfaatkan ilmu-ilmu profan, misalkan: sejarah, politik, antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Kisah exodus (Keluaran) ditafsirkan bahwa Alah telah mengambil keputusan ‘politis’ untuk membebaskan umatNya dari penindasan di Mesir. Dan untuk menikmati kemerdekaannya, umat harus mengadakan perjalanan penuh risiko di padang gurun. Pengalaman umat ini tidak hanya terjadi di suatu tempat dan pada suatu waktu saja, melainkan juga terjadi di sepanjang sejarah umat manusia (bdk., Cosmao, hal. 87-90), termasuk dalam sejarah rakyat Filipina. Dengan demikian, rakyat diajak menempatkan diri sebagai umat Allah, yang diberi kesempatan untuk memperoleh kebebasan dari rejim penindas, meski kadangkala harus dengan mempertaruhkan diri. Ekaristi biasanya diikuti dengan khusuk penuh haru atas pengorbanan Sang Pahlawan. Kini tanpa mengabaikan kebenaran tersebut pengorbanan Kristus dilihat sebagai kesetiaan terhadap idealisme atau ‘cause’, yakni pembebasan umat manusia. Pembebasan manusia dari dosa yang abstrak ini perlu dipahami sebagai pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan yang setiap hari ada di depan mata mereka. Rakyat akan menikmati pembebasan itu kalau ia sendiri mau ikut dalam gerakan pembebasan diri mereka (bdk, Cosmao, hal. 60-73). Setelah perjalanan yang melelahkan bertahun-tahun dan dengan banyak korban, rakyat semakin terbentuk sikap imannya. Sikap ini, dibarengi dengan semangat Active Non Violence (Tranformasi Tanpa Kekerasan) akhirnya membuahkan hasil. Suatu malam di akhir Februari 1986, People Power memaksa Marcos menyerah. Setelah itu proses transformasi masih berlanjut.

Revolusi Iran lebih menekankan semangat revolusioner, akan tetapi tidak disertai keberanian untuk menerima pembaharuan yang radikal dalam diri sendiri dan dalam sistem masyarakat (bdk., Mehden, hal. 11) yang mengenai baik rakyat maupun pemimpin nasional. Sebaliknya Revolusi Filipina mencoba menafsirkan isi agama dalam realitas hidup. Manafsirkan kembali tidak sama dengan ‘memetri’ yang selalu cenderung konservatif, tetapi sambil tetap mempertahankan inti pokok sebagai sumber inspirasi, maka orientasi lebih diarahkan kepada kenyataan hidup, khususnya rakyat kecil yang tertindas (bdk., Maduro, hal. 106-109).

Menafsirkan kembali juga bukan mencari pembenaran dari kata atau kalimat Alkitab yang diucapkan dalam situasi tertentu. Tetapi kata dan kalimat atau peristiwa dalam Alkitab itu diberi konteks kongkret. Maka, diperlukan sikap kritis tetapi simpatik terhadap Alkitab. Manusia memandang Alkitab sebagai sesuatu yang mempengaruhi seluruh kemanusiaannya, akan tetapi tidak membelenggu. Meski tanpa mengucapkan teks Alkitab namun orang lain akan merasakan getaran pesan Alkitab itu dalam aksi, perilaku dan perbuatan. Dengan kata lain diperlukan sikap kritis agar para penganut agama tertentu dalam memberikan makna baru yang kontekstual (bdk., Gremillion, hal. 161-166).

Di samping itu agama perlu memperhatikan unsur humanisme dari filsafat sekular. Untuk ini diperlukan sikap terbuka seorang dewasa yang mau belajar, yaitu memakai yang baik dan membuang yang tidak bermanfaat. Masih juga baik bila agama cukup terbuka untuk belajar dari pengalaman demokrasi dan lembaga politiknya. Pengintegrasian humanisme dan penafsiran kembali ke dalam pandangan yang menyeluruh mengenai masa depan akan merupakan jawaban yang terbaik oleh agama terhadap tuntutan mutlak jaman baru.

Fajar Baru

Saat ini manusia sedang pada awal suatu fajar baru, yakni masa untuk menemukan kembali yang transenden di dalam pengalaman manusiawi (bdk., Berger, hal. 62-97). Pada masa awal belum tersedia jawaban-jawaban atas semua pertanyaan. Perlu ada pertanyaan bahkan keraguan, tetapi kemudian harus ikut ambil bagian dalam menentukan jawaban, sebab manusia adalah bagian dari pertanyaan itu sendiri. Proses ini memerlukan pendekatan induktif, yakni usaha membuka pengalaman manusiawi dalam tradisi religius. Berbeda dengan pendekatan deduktif, pendekatan induktif memakai titik tolak pengalaman manusiawi. Berbeda dengan pendekatan deduktif, pendekatan induktif yang memperlakukan pengalaman manusiawi itu sebagai pengalaman yang khas, yang menunjuk pada yang adikodrati. Pendekatan ini berusaha menggali apa yang essensial dalam pengalaman. Secara fenomenologis dikupas berbagai pengalaman manusia untuk menemukan tanda-tanda dari transendensi (adikodrati), antara lain pengalaman yang cenderung tertib itu adalah, pengalaman permainan (homo ludens dari Huizinga), pengalaman pengharapan (Ernst Bloch) dan pengalaman situasi terbatas (Karl Jaspers). Pengalaman-pengalaman itu menunjuk kepada sesuatu yang mengatasi pengalaman sehari-hari dan menjadi tanda dari yang adikodrati (bdk., Berger, hal. 99-119).

Tatangan besar pada masa awal seperti ini adalah diperlakukannya komitmen dan ketulusan hati pada manusia. Gustavo Gutierrez, yang melihat kilasan fajar baru itu menyatakan bahwa fajar baru itu akan bersifat spiritual, tetapi berbeda dari yang lama, fajar baru ini akan mengarahkan diri kepada keutuhan eksistensi manusia. Dia mengatakan, “Saat ini kita berada di ujung suatu jaman panjang dalam sejarah. Kita akan segera menyaksikan kelahiran fajar baru. Dengan menandaskan persaudaraan diantara umat manusia, maka akan muncul kemungkinan bagi kita mewartakan Injil yang akan memberi inspirasi dan membuat radikal keterlibatan orang Kristiani dalam sejarah manusia. Hanya dalam sejarah ini anugerah kasih Allah dapat diyakini, dicintai dan diharapkan. Setiap usaha yang menghindarkan diri dari perjuangan melawan keterasingan dan kekerasan, serta menghindarkan diri dari perjuangan demi dunia yang lebih adil dan manusiawi, akan merupakan pengkhianatan terhadap Allah. Mengenal Allah artinya memperjuangkan keadilan, tiada jalan lain untuk menemui Allah kecuali jalan itu”.

man lives on nature

means that nature is his body

with which he must remain ini continuous intercourse

if he is not to die

that man’s physical and spiritual life is linked to nature

means simply that nature is linked itself

for man is a part of nature

(KM)

Solo, pada hari Kesaktian Pancasila 1992

Retype, 29 Januari 2009

Daftar Pustaka

Alwi Aidit & Zainal AKSP (penyunt.)

1989 ELITE DAN MODERNISASI

Yogyakarta : Liberty.

Bauckham, Richard

1989 THE BIBLE IN POLITICS.

London: SPCK.

Berger, Peter L

1991 KABAR ANGIN DARI LANGIT.

Jakarta: LP3ES.

Cosmao, Vincent

1985 CHANGING THE WORLD

Quezon City: Claretian Publications.

George, Vic & Paul Wilding

1992 IDEOLOGI DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL.

Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Gremillion, Joseph & William Ryan (ed.)

1978 WORLD FAITHS AND THE NEW WORLD ORDER.

Washington: Interreligious Peace Colloquium.

Lamb, George L

1982 SOLIDARITY WITH VICTIMS.

New York: Crossroad.

Larson, George D

1990 MASA MENJELANG REVOLUSI.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Maduro, Otto

1982 RELIGION AND SOCIAL CONFLICTS.

New York: Orbis Books.

Mehden, Fred R. von der

1986 RELIGION AND MODERNIZATION IN SOUTHEAST ASIA.

New York: Syracuse University Press.

Neil, Robert van

1984 MUNCULNYA ELITE MODERN INDONESIA

Jakarta: Pustaka Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamus Indonesia