Kalender Liturgi

Jumat, 18 September 2009

“Sang Pendoa Cilik”

oleh

Kak Melki

“...Bapa, tolong aku. Bapa bantu aku...” permohonan Stefanus dalam hatinya dengan penuh harapan yang tak henti. Pagi itu Stefanus sangat kawatir dengan soal ulangan Matematika yang dihadapinya. Ia begitu gelisah dan takut, jangan-jangan ia tidak naik kelas jika ia tidak berhasil menjawab soal-soal ulangan itu. Maka sesekali sambil membaca soal ulangan kelas 5, Stefanus menghanturkan doa kepada Tuhan untuk meyakinkan dirinya untuk menjawab soal ulangan Matematika.

Selama seminggu berlangsung ulangan umum kenaikan kelas, ada 3 mata pelajaran penting seperti ulangan Agama Katolik, ulangan bahasa Indonesia dan matematika yang dijawab Stefanus dengan tidak benar dan asal-asalan saja.

Stefanus baru sadar, bahwa ia memang tidak belajar. Sehari sebelumnya Stefanus hanya ingat bermain dan berlarian. Ia melalaikan nasihat orang tuanya, yang mengingatkannya untuk belajar.

Setelah selesai ujian, Stefanus langsung bergegas pulang. Hari itu ia begitu menyesal karena tidak mengindahkan nasihat papa dan mamanya. Sesampai di rumah ia segera ke kamar dan menyalakan lilin doa. Ia berdoa di hadapan salib Tuhan Yesus.

Dengan penuh isak tangis, Stefanus memohon maaf. Sekali ia membersihkan air mata dari rasa kawatirnya. Ketika ia berdoa, terlintas dengan jelas dalam ingatannya, saat ulangan beberapa hari terakhir. Ada lebih sepuluh soal yang ia jawab dengan tidak benar dan asal-asalan.

Stefanus berdoa kembali memohon kepada Tuhan dengan penuh harapan. Tuhan... maafkan aku ya.. hiks..hiks..hiks.... Aku tidak mempedulikan nasihat kedua orang tuaku....hiks..hiks...hiks. Aku hanya mau bermain dan tidak mau belajar. Aku mohon Tuhan agar aku naik kelas...hiks...hiks..hiks..” keluh Stefanus dengan penuh menyesal.

Beberapa hari kemudian setelah ulangan umum selesai. Ternyata. hasil nilai ulangan-ulangan Stefanus ada yang merah. Ia sangat sedih dan mencoba menerima resikonya karena ia tidak belajar dan hanya mau bermain game-playstation, sepeda, serta tidak mau mendengarkan orang tuanya.

Stefanus penuh dengan penyesalan. Ia lalu masuk ke kamarnya. Ia kembali berdoa kepada Tuhan. Ketika berdoa Stefanus semakin sadar bahwa ia tidak mau mengulanggi perbuatannya dan ia mau berjanji akan belajar dengan giat dan penuh semangat. Stefanus juga berjanji akan selalu mendengarkan nasihat orang tuanya. Ia sangat menyesali akan perbutannya kepada Tuhan. Da penuh harapan ia memohon agar Tuhan tetap memberikan kesempatan kepadanya untuk berubah dan menjadi lebih baik lagi.

Beberapa minggu setelah ulangan umum, tibalah pembagian rapor. Stefanus pergi dengan ke dua orang tua ke sekolah. Pagi itu Stefanus masih cemas, ia mengerutu dalam hatinya,”Bagaimana ya dengan nilai-nilai raporku. Apakah aku akan naik kelas?”

Stefanus selalu komat-kamit di dalam hatinya. Ia masih berharap kepada Tuhan agar ia mendapatkan hasil rapor yang baik. Secara bergantian para orang tua dan teman-teman Stefanus menerima rapor. Ia masih kawatir karena rapor berwara biru kesukaannya itu belum berada di kedua tangannya. Sementara Stefanus duduk dengan gelisah, ia melihat beberapa teman-temannya yang menari gembira karena naik kelas.

Stefanus melihat teman-temannya, ia berdoa kembali dalam hati. Ia membuat tanda salib dengan perlahan. Ia berjanji dengan berkata kepada Tuhan,”Bapa kami yang baik, aku tahu, aku sangat bersalah karena tidak mendengarkan nasehat ke dua orang tuaku. Aku juga tidak mau belajar. Aku baru sadar karena aku menerima resikonya mendapat nilai merah. Tuhan, jika aku diberikan kesempatan sekali lagi, aku mau berjanji kepadaMu. Aku akan semakin rajin berdoa, rajin pergi gereja, dan belajar dengan giat dan tekun.”

Tiba-tiba ada suara keras terdengar di telingga Stefanus ....

“...Stefanus!” panggil Ibu Guru menggunakan mikrofon.

“...Iya Bu” jawab serempak Stefanus dan kedua orang tuanya.

“..Ini Mama Stefanus. Mengapa ya nilai raport Stefanus banyak yang turun. Stefanus tidak belajar ya di rumah?”

“...emm.. Iya bu guru, Stefanus maunya main terus. Kami sudah mengingatkannya untuk belajar dan kami sudah memberitahu resikonya jika malas belajar. Kami memberikan pilihan kepadanya, agar ia tahu resikonya itu.”

“...Apakah kamu benar malas belajar di rumah Stefanus?” tanya Ibu Wati sambil memalingkan muka ke arah Stefanus.

“..Iya bu” sahut Stefanus dengan perlahan ke arah wali kelasnya.

Setelah itu, Ibu wati menasehati Stefanus. "Stefanus, kamu harus lebih rajin belajar dan mengurangi jam mainmu. Kamu harus menjadi anak yang cerdas dan berguna bagi bagi semua orang."

Stefanus pun hanya menganguk saja. Tak lupa Stefanus dan ke dua orang tuanya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Wati. Siang itu sekaligus perpisahan kelas 5, acara yang sederhana di kelas bercampur sedih dan gembira.

Saat itu Stefanus belum juga melihat rapornya. Stefanus masih cemas pada nilai rapornya, padahal teman-temannya sudah mendesaknya untuk membuka rapornya.

Stefanus dan ke dua orang tuanya meninggalkan sekolah. Stefanus masih menundukkan kepalanya dan belum melihat hasil nilai rapornya. Sesampai di mobil ia kembali berdoa kepada Tuhan. Ia memohon kekuatan dan semangat sebelum membuka rapornya.

“.....Yee.eee.ee.ssss!!! aku naik kelas!!!” kata Stefanus dengan spontan.

“...Horeeeeeeeeeee.... aku naik kelas!!!” teriak Stefanus kegirangan.

“Mam ... Pap... aku naik kelas? Sungguh kah?” tanya Stefanus.

“Iya...kamu naik kelas” jawab mama dan papa Stefanus dengan bangga.

“..Thanks Lord... I love you....” ucapan syukur Stefanus.

Ternyata Stefanus naik kelas. Beberapa nilai ulangan umum yang turun menjadi pelajaran yang sangat berarti baginya.

Stefanus memenuhi janji-janjinya kepada Tuhan. Ketika Kelas 6, Stefanus sangat tekun belajar, ia menjadi juara kelas, dan mendapat banyak prestasi. Ia juga mendapat penghargaan dari Sekolah Cinta Kasih karena ia menjadi siswa terbaik untuk nilai kelulusannya.

Kini Stefanus bersekolah di luar negeri. Stefanus tidak pernah melupakan kebaikan Tuhan. Ia semakin rajin ke Gereja dan mengikuti Bina Iman dengan penuh semangat dan suka cita. Kini Stefanus menjadi anak cerdas dan penuh iman kepada Tuhan Yesus. Sekian.

Pesan: belajar sambil berdoa merupakan dua hal utama meraih prestasi. Percaya kepada Tuhan dan sungguh-sunnguh mau berubah akan menuai hasil yang baik dan berkelimpahan. Semangat belajar. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamus Indonesia